JATIMTIMES - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi kontroversi. Sebab, terdapat pihak-pihak yang menilai aturan tersebut seakan melegalkan zina.
Mengenai Permendikbud kontroversial tersebut Rektor Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) Dr Pieter Sahertian menyampaikan, jika peraturan dibuat tentunya berbagai tahapan analisis, baik dari segi bahasa hukum dan yang lainnya telah dilakukan pembahasan.
Baca Juga : Polemik Permendikbud PPKS, Rektor Unisma: Aturan Harus Mudah Dipahami Seluruh Pihak
Pada bahasa aturan atau undang-undang, satu kata bisa mempunyai beberapa penafsiran. Seperti halnya Permendikbud 30/2021 tersebut. Menurutnya, Permendikbud itu menimbulkan multitafsir seperti yang saat tengah berkembang.
Pihaknya mengaku memang belum melakukan kajian mendalam kalimat per kalimat, pasal per pasal dari Permendikbud tersebut. Akan tetapi memang sudah waktunya jika interaksi antara dosen, mahasiswa diatur oleh sebuah aturan.
"Meskipun selama ini belum pernah ada kasus di Unikama," jelasnya.
Di sisi lain pihaknya berpendapat, jika adanya Permendikbud 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi itu bisa menimbulkan persoalan baru. Pihaknya khawatir jika pasal-pasal yang ada dalam Permendikbud dimanfaatkan oleh oknum, dalam kaitan interaksi relasi antara sesama kolega, mahasiswa maupun dosen.
"Begitu hal tersebut dieksploitasi, saya khawatirkan itu dimanfaatkan oleh orang-orang. Di mana sebenarnya perbuatan biasa menjadi tidak biasa ketika itu diatur dalam aturan. Ya misalkan dulu colekan itu dianggap biasa, tapi sekarang kalau orangnya mau mempermasalahkan, kan bisa. Itu bisa jadi persoalan baru," jelasnya.
Baca Juga : PP Muhammadiyah Lempar Kritik Keras, Kampus UMM Sambut Baik Permendikbud PPKS
Karena itu, pihaknya menyampaikan dalam pembuatan aturan, tentunya harus jelas rujukannya. Patokan moral tentunya tak bisa sembarangan. Patokan moral tentunya harus jelas, apakah itu agama, undang-undang, Pancasila atau yang lainnya.
"Tapi yang saya khawatirkan itu tadi. Khawatirnya tindakan biasa malah dimanfaatkan menjadi hal yang tidak biasa, misalnya dipolitisir mau menjatuhkan dosennya," tuturnya.
Meskipun begitu, pihaknya memilih untuk menunggu langkah dari Kemendikbud Ristek, usai Permendikbud 30 tahun 2021 menuai protes dari berbagai pihak. Pihaknya juga menyampaikan, jika kementerian perlu untuk mengkaji lagi dengan mengundang pihak-pihak terkait. Jika diperlukan tentunya dilakukan perbaikan. Bahasa hukum harus benar-benar diperhatikan betul.
"Ya karena itu tadi, menurut saya pasal itu banyak tafsirannya. Menurut saya sementara tidak dilaksanakan dulu, dilakukan kajian dulu bersama banyak pihak. Meskipun sebenarnya saat Permendikbud itu ada, kami juga sudah menyiapkan Satgasnya," pungkasnya. (Bersambung)