JATIMTIMES - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 30 tahun 2021 memicu polemik. Permendikbud tersebut dinilai mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan di kampus. Pasalnya, perbuatan asusila yang diatur dalam Permendikbud dinilai tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka atau pelaku mendapat persetujuan dari korban.
Menanggapi hal itu, Rektor Universitas Islam Negeri (Unisma) Prf Dr H Maskuri MSi mengatakan, terlepas dari itu (Permendikbud 30 tahun 2021), di lingkungan kampus Nahdlatul Ulama telah memiliki etika-etika tersendiri, baik untuk etika pergaulan dan etika berpakaian di dalam kampus. Hal ini tentunya sebagai bagian dari upaya untuk mencegah aksi-aksi kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Baca Juga : PP Muhammadiyah Lempar Kritik Keras, Kampus UMM Sambut Baik Permendikbud PPKS
"Yang muslim harus berpakaian yang islami, yang non muslim harus berpakaian sopan, celana gak boleh sobek-sobek dan harus juga menutup aurat," jelasnya saat ditemui beberapa waktu lalu.
Dari sini, lanjut Maskuri, hubungan antara mahasiswa satu dan yang lainnya diatur agar tidak sampai melanggar etika di kampus maupun etika hukum. Sehingga meskipun suka sama suka, dalam tanda petik aksi zina, tentunya tetap tidak boleh dilakukan.
Jika memang dalam isi Permendikbud 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi menimbulkan multi tafsir berbagai pihak dan terus bergulir, tentunya justru akan berbahaya.
"Bagaimana untuk memayungi harkat dan martabat manusia itu menjadi tidak ada. Sehingga, apa artinya pendidikan yang memberikan norma-norma kehidupan itu, itu menjadi tidak ada artinya," jelas Maskuri.
Karena itu, menurut Maskuri, aturan-aturan yang ada harus bisa dengan mudah atau secara eksplisit bisa dipahami oleh seluruh pihak, sehingga tidak sampai menimbulkan kontroversi.
Seperti diketahui sebelumnya, Permendikbud 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi menuai polemik. Banyak pihak menyoroti terkait Permendikbud yang dinilai justru melegalkan kasus perzinahan itu.
Dalam Permendikbudristek tersebut tercantum frasa 'tanpa persetujuan korban' yang mengacu kepada definisi kekerasan seksual, seperti yang tertera pada pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m.
Dalam frasa 'tanpa persetujuan korban' terkandung makna persetujuan seksual atau sexual consent. Sehingga, hal ini dinilai membahayakan lantaran menimbulkan penafsiran selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Baca Juga : RUU PKS (Masih) Mandek, Permendikbud 30/2021 Lahir
Dalam Permendikbud tersebut juga disoroti, jika itu standar benar dan salah aktivitas seksual tidak lagi berdasar pada nilai-nilai agama dan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, namun hanya berdasar pada persetujuan dari pihak tertentu.
Hal ini tak pelak memicu polemik berbagai kalangan, baik akademisi hingga ormas keagamaan. Walaupun yang mendukung pun terus mengalir di berbagai kalangan dengan adanya Permendikbud itu (Bersambung).