JATIMTIMES - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengatakan, selama ini memang tidak ada payung hukum yang mengatur pencegahan dan penindakan kejahatan terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Padahal, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Nizam berpandangan, kekerasan seksual merupakan suatu masalah yang sangat mengkhawatirkan.
Baca Juga : Kekerasan Seksual di Kampus Nyata Adanya Tuan dan Nyonya!
"Selama ini tidak ada payung hukum bagi pencegahan dan penindakan atas kejahatan atau kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus," kata Nizam.
Menurutnya, selama ini para korban, khususnya mahasiswa, takut untuk melaporkan kekerasan yang dialami mereka. Para korban, juga tidak tahu ke mana harus melapor, serta tidak yakin akan mendapat perlindungan dan tindak lanjut jika melaporkan kasus tersebut.
Lebih lanjut Nizam mengatakan, salah satu alasan pimpinan perguruan tinggi tidak menindaklanjuti laporan kekerasan seksual yakni disebabkan tidak adanya payung hukum.
"Banyak adik-adik BEM dan organisasi mahasiswa lainnya menyampaikan laporan serta kajian tentang hal ini dan meminta kementerian untuk memberikan payung hukum yang jelas," ucap Nizam.
Oleh sebab itu, Kemendikbud Ristek kini menerbitkan aturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Aturan tersebut tertera melalui Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diterbitkan pada 31 Agustus 2021.
Asa kekerasan seksual di kampus pupus dengan senjata Permendikbud ini, ternyata mendapat pandangan lain dari berbagai pihak. Kritik atas isi klausul pasal dilontarkan dari berbagai kalangan, walaupun yang mendukungnya pun mulai melakukan gerakan.
Kritik datang salah satunya dari Ormas Muhammadiyah yang menilai aturan itu memiliki masalah dari sisi formil dan materiil. Hal itu disebakan karena adanya pasal yang dianggap bermakna legalisasi seks bebas di kampus.
Penolakan juga datang dari Majelis Ormas Islam yang meminta agar Permendikbud tersebut dicabut. Majelis Ormas Islam menilai secara tidak langsung aturan tersebut telah melegalisasikan perzinaan.
Kritik lain datang dari MUI yang meminta pasal bermasalah dalam Permendikbud soal kekerasan seks dicabut. Ia menjelaskan bahwa Pasal 5 ayat 2 Permendikbudristek itu bermasalah karena didasarkan pada 'dengan atau persetujuan korban'.
"Permendikbudristek No.30 thn 2021 pasal 5 ayat 2 tentang kekerasan seksual memang bermasalah karena tolak ukurnya persetujuan (consent) korban. ... Cabut," kata Cholil dalam akun Twitter pribadinya @cholilnafis.
Diketahui, Pasal 5 dalam aturan tersebut mengatur rumusan norma kekerasan seksual. Di antaranya yakni mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, non-fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Baca Juga : Data Kekerasan Seks di Kampus dan Lahirnya Permendikbud
Sementara di Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut dijelaskan terdapat beberapa poin bentuk kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan 'tanpa persetujuan'. Lebih lanjut, Cholil menilai kejahatan seksual menurut norma Pancasila adalah berdasarkan agama atau kepercayaan.
"Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi karena dihalalkan. Cabut," kata Cholil.
Permintaan serupa disampaikan oleh Muhammadiyah. Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menilai aturan tersebut memiliki masalah dari sisi formil dan materiil.
Salah satunya, karena adanya pasal yang dianggap bermakna legalisasi seks bebas di kampus.
"Sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permen Dikbudristek No. 30 Tahun 2021," kata Arsyad dalam keterangan resminya.
Arsyad lantas berharap perumusan Permendikbud diatur sesuai ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, secara materiil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, maupun nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Di sisi lain, kebijakan Nadiem terkait Permendikbud PPKS mendapat pembelaan dari PDIP hingga Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP, My Esti Wijayati, membela Nadiem Makarim dengan adanya Permendikbud tersebut.
"Bahwa pada saat ini sedang dilakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Badan Legislasi DPR RI yang tentu saja membutuhkan waktu di dalam pembahasannya. Karena masih berupa RUU, maka belum bisa diimplementasikan sehingga langkah Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim di dalam mengeluarkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi mestinya harus diapresiasi," kata My Esti.
"Sebagai langkah cepat agar kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi bisa dicegah lebih dini dan bisa dilakukan penanganan sesegera mungkin jika itu terjadi," imbuh Esti.
Esti menepis anggapan jika Permendikbud PPKS sebagai upaya pelegalan hubungan seks di kampus. Permendikbud PPKS ini juga tidak bisa secara mudah dimaksudkan untuk menyuburkan LGBT. Dukungan serupa juga disampaikan oleh Menag Yaqut saat bertemu Nadiem di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Senin (8/11/2021).
"Kami mendukung kebijakan yang telah dikeluarkan Mas Menteri. Karenanya, kami segera mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk mendukung pemberlakuan Permendikbud tersebut di PTKN (Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri)," ungkap Yaqut, dikutip dari laman Kemenag (Bersambung).