JATIMTIMES - Belakangan ini publik dihebohkan dengan Partai Berkarya yang diperebutkan oleh kubu Tommy Soeharto dan Muchdi Pr. Diketahui, Tommy kembali memenangkan gugatan kepengurusan Partai Berkarya atas keputusan Menkumham Yasonna H. Laoly di tingkat banding Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).
Putusan PT TUN itu menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM terkait kepengurusan Partai Berkarya dengan Ketua Umum Muchdi Pr.
Baca Juga : Perkuat Sinergitas Dengan Aparat, DPD PKS Kota Malang Silaturahmi Kebangsaan ke Polresta Malang Kota
"Menerima permohonan banding dari Pembanding/Tergugat dan Pembanding Tergugat II Intervensi tersebut. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 182/G/2020/PTUN. JKT.tanggal 16 Februari 2021 yang dimohonkan banding tersebut," demikian dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PT TUN Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Seakan tak sudi Partai Berkarya direbut oleh Tommy, pihak Muchdi Pr pun siap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hal itu dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Partai Berkarya kubu Muchdi Pr, Badaruddin Andi Picunang.
"Itu putusan sementara, belum putusan hukum tetap (inkrah), masih ada kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung," kata Picunang.
Picunang mengklaim Kemenkumham akan membela Surat Keputusan yang mereka keluarkan. Pasalnya, SK Kemenkumham mengakui kepengurusan Berkarya pimpinan Muchdi Pr.
Menurutnya, putusan PT TUN Jakarta tidak otomatis langsung membatalkan SK Kemenkumham yang telah dimiliki oleh pihaknya saat ini.
"Masalah hukum ini diharap tidak mengganggu dan prosesnya masih panjang, bisa setelah Pemilu 2024 baru selesai. Insya Allah Selasa 7 September 2021 Ketum Muchdi dan pimpinan DPP/DPW/DPD akan rapat menyampaikan sikap untuk lanjut ke kasasi," ujarnya.
Perebutan partai politik di Indonesia memang bukan kali pertama terjadi. Beberapa peristiwa pun sempat mewarnai dunia perpolitikan di negeri ini. Hal itu secara tak langsung menunjukkan parpol memiliki peran yang cukup besar di masyarakat. Lantas seperti apa sejarah berdirinya partai politik di Indonesia?
Sejarah partai politik di Indonesia adalah salah satu hal menarik untuk diketahui. Partai politik Indonesia diketahui sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Secara garis besar, sejarah politik di Tanah Air bisa dibagi menjadi 3 periode. Ketiga periode itu yakni pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan setelah kemerdekaan Indonesia.
1. Masa penjajahan Belanda
Pada tahun 1908, berdirilah sebuah organisasi pergerakan nasional eksklusif untuk priyayi yang bernama Boedi Oetomo. Organisasi tersebut lalu menjadi embrio pergerakan organisasi lainnya.
Hal ini menyebabkan bermunculannya organisasi-organisasi kemerdekaan lainnya. Hingga akhirnya, partai modern pertama yang secara tegas memperjuangkan Hindia bagi orang Hindia adalah organisasi Indische Partij (Desember 1912).
Setelah itu berdirilah partai politik lainnya seperti ISDV (Indische Sosial Democratishe Vereniging) pada Mei 1914, Indische Katholike Partij pada November 1918, PKI (Mei 1920), PNI (Juli 1924), Partai Rakyat Indonesia (September 1930), Parindra (Januari 1931), Partai Indonesia (April 1931), dan Gerindo (Mei 1937). Organisasi tersebut berasal dari bermacam-macam ideologi seperti Islam, sekuler, nasionalis, dan komunis.
Tahun 1939, Belanda kemudian membentuk dewan rakyat (Volksraad) yang merupakan badan seperti DPR. Oleh sebab itu, pada tahun tersebut di Hindia Belanda sudah terdapat beberapa fraksi yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera (PPBB) di bawah Prawoto, dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.
Terdapat pula usaha untuk mengadakan gabungan dari partai-partai politik di luar Volksraad dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Ada juga Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelisul Islami A’laa Indonesia (MIAI), dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI) di dalam K.R.I.
2. Masa penjajahan Jepang
Berbeda dari masa penjajahan Belanda, selama Jepang berkuasa di Indonesia kegiatan partai politik justru dilarang. Namun, hal ini tidak berlaku untuk golongan Islam yang saat itu membentuk Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Sejarah Partai MASYUMI).
3. Setelah Kemerdekaan
Pada masa setelah kemerdekaan, Moh. Hatta selaku Wakil Presiden RI mengeluarkan Maklumat No X tanggal 16 Oktober 1945. Hal itu menyebabkan mulai banyak bermunculan partai di Indonesia.
Inilah multisistem partai pertama di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
4. Masa orde lama
Masa parlementer marak terjadi di Indonesia pada tahun 1950-1959 yang merupakan titik kejayaan partai politik di Tanah Air. Kala itu, muncul 4 partai besar yakni Sejarah Partai PNI (Partai Nasional Indonesia), NU, Masyumi, dan Sejarah PKI.
Namun kabinet berjalan tidak mulus karena banyaknya partai politik pada masa parlementer. Kabinet yang sering berganti-ganti dan pembangunan yang gagal menyebabkan dikeluarkannya dekrit presiden pada 5 Juli 1959 yang menyatakan berakhirnya masa parlementer di Indonesia.
Dekrit Presiden itu lantas menjadi jalan keluar dari kemelut Konstituante yang gagal mencapai kata sepakat mengenai Dasar Negara. Konstituante adalah hasil Pemilu 1955 yang melahirkan konfigurasi ideologis antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai dasar negara.
Saat itu anggota Konstituante berjumlah 544 yang berasal dari 34 parpol. Pendukung Pancasila berjumlah 274, Islam 230, dan pendukung gagasan ideologi sosial-ekonomi 10.
Selain sebagai respon atas kegagalan Konstituante, Dekrit ini juga mencerminkan kekecewaan yang luas mengenai perilaku partai politik selama periode Demokrasi Liberal (1945-1957). Setelah Dekrit, Presiden Soekarno kemudian mulai mengambil langkah penting ke arah penataan partai politik hingga dikeluarkannya Perpres No. 7 Tahun 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian.
Baca Juga : SBS Ungkap Rencana Produksi Drama Korea Dr. Romantic 3
Hal itu juga diikuti oleh dikeluarkannya Perpres No.13 yang mengatur pengakuan, pengawasan, dan pembubaran beberapa partai. Karena keterlibatan sejumlah tokoh utamanya dalam pembentukan PRRI/Permesta maka PSI dan Masyumi dibubarkan melalui Kepres 128/61.
Pengakuan lalu diberikan kepada partai politik yaitu PNI, NU, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IP-KI, dan PKI. Parkindo dan Perti diakui melalui Kepres 440/61.
Melalui Kepres 129/61 partai PSSI Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusomo tidak diakui. Tanggal 14 April 1961 pemerintah kemudian mengeluarkan pengumuman yang hanya mengakui 10 parpol.
Kesepuluh partai politik tersebut yaitu PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, Murba, dan IPKI. Namun hanya PKI yang secara efektif bisa menjalankan fungsinya sebagai parpol selama periode ini karena digunakan Soekarno sebagai kekuatan penyeimbang AD yang sudah menjadi kekuatan politik yang utama.
Berbagai permasalahan terjadi sehingga Soekarno membubarkan parleman pada 5 Maret 1960 karena adanya penolakan parlemen atas rencana anggaran yang diajukan pemerintah. Selanjutnya dibentuk DPR-GR pada Juli 1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan tokoh yang mendirikan “liga demokrasi”.
Liga Demokrasi terdiri dari Partai Katolik, Masyumi, PSI, dan IPKI yang mendapatkan dukungan TNI AD, Moh. Hatta, dan sejumlah tokoh PNI dan NU. DPR-GR memiliki anggota sebanyak 263 orang, yaitu 132 berasal dari golongan fungsional (7 wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan selebihnya dari organisasi seperti Sobsi, Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda Rakyat, dan sebagainya).
Berakhirnya masa parlementer di Indonesia menandakan dimulainya sistem baru di negara ini, yaitu masa demokrasi terpimpin. Masa ini merupakan masa dimana presiden sangat kuat yang terbukti dengan slogan NASAKOM-ya.
Soekarno memperkuat 3 partai yaitu NU, PNI, dan PKI sebagai inti dari slogan tersebut. PKI saat itu paling menonjol karena menguasai mayoritas suara rakyat Indonesia.
Namun setelah Peristiwa G30S/PKI, PKI dicap sebagai partai terlarang karena mencoba mengambil alih pemerintahan. Kudeta PKI diredam oleh Soeharto yang kala itu mendapat mandate berupa Supersemar untuk menumpas PKI dan kroni-kroninya.
5. Masa orde baru
Masa orde baru ditandai dengan Soeharto yang menggantikan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada masa Orde Baru munculah organisasi non-partai bernama Golongan Karya.
Golkar mendapat suara terbanyak mengalahkan NU, Parmusi, dan PNI pada Pemilu 1971. Lalu pada tahun 1973, Indonesia mulai menyederhanakan partai politik menjadi 3 yakni 2 partai politik dan 1 golongan.
Partai beraliran nasionalis dan beberapa partai non-Islam yaitu PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik dijadikan satu menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973.
Sedangkan partai politik yang berideologi Islam yaitu NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI digabungkan menjadi Partai Perstauan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Satu golongan non-partai adalah Golkar yang merupakan penyokong Soeharto dalam menguasai Indonesia.
Dua partai politik dan golongan karya mengikuti sejarah Pemilu di Indonesia pada tahun 1977, 192, 1987, 1992, dan 1997. Rezim Orde Baru pun berakhir dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 karena diduga banyak melakukan Kolus, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
6. Masa Reformasi
Setelah rezim Soeharto berhasil ditumbangkan, pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia. Sejak tahun 2004 hingga saat ini peserta Pemilihan Umum muncul tak terbendung.
Fenomena ini merupakan gambaran euphoria demokrasi Indonesia yang dulu sangat dikekang, namun kemudian dilepaskan begitu saja. Selain banyaknya jumlah partai politik peserta Pemilu, perubahan yang menonjol ialah besarnya peran partai politik dalam pemerintahan.
Keberadaan partai politik sangat erat dengan kiprah para elit politik, mengerahkan massa politik, dan semakin mengkristalnya kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Tak cuma itu, keberadaan hakikat reformasi di Indonesia adalah terampilnya partisipasi penuh kekuatan, yaitu kekuatan-kekuatan masyarakat yang disalurkan melalui partai-partai politik sebagai pilar demokrasi.
Hal ini menyebabkan munculnya UU No. 2 Tahun 1999 yang selanjutnya disempurnakan dengan UU No. 31 Tahun 2002 yang memungkinkan lahirnya partai-partai baru di Tanah Air. Namun dari sekian banyak partai yang muncul di era reformasi, hanya ada 5 partai yang memperoleh suara signifikan yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Kehadiran banyak partai politik di Indonesia saat ini diharapakan bisa menjadi wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kemajuan NKRI. Pasal 1 ayat 2 Amandemen UUD 1945 berisi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut Ketentuan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden Langsung disusun untuk menindaklanjuti Pasal 1 Ayat 2 Amandemen UUD 1945.
Pada penjelasannya undang-undang tersebut diuraikan bahwa salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum baik untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang seluruhnya dilaksanakan menurut Undang-Undang sebagai perwujudan negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dinyatakan dalam Pasal 6A UUD 1945, yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik gabungan-gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum”.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang dilaksanakan secara LUBER serta JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil) yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang nasional, tetap, dan mandiri.