JATIMTIMES - Tugas seorang ulama sejatinya membimbing dan memandu umat Islam dalam permasalahan agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan dari sisi keagamaan ataupun sosial masyarakat. Meski mereka berpengetahuan tinggi dan dihormati, ulama juga manusia biasa yang tak luput dari kekilafan atau terlibat dengan berbagai kontroversi.
Seorang ulama yang terkenal di abad ke-20 ini, dianggap sebagai ulama yang paling kontroversi hingga kini. Bahkan, ia juga dianggap murtad.
Baca Juga : Urus Aset NU Tak Berserifikat, LWPNU Mulai Lakukan Pendataan
Ulama yang dimaksud ialah Abdullah Qasemi. Abdullah Qasemi lahir pada tahun 1907 di Bandar Buraydah, wilayah Qassim di Arab Saudi.
Namun, ia bukanlah keturunan Qasemi atau bahkan Saudi. Banyak perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Menurut Syeikh Abu Abd al-Rahman Ibnu Aqil al-Zahiri, yang pernah berdebat dengan Qasemi mengatakan bahwa ayah Abdullah adalah seorang keturunan Mesir dari Sa’id yang datang ke Qasim untuk bekerja. Syeikh juga menyebutkan bahwa Qasemi benci saat orang berbicara tentang warisan budaya Mesir.
Abdullah Qasemi merupakan seorang mahasiswa teladan. Ia merupakan orang pertama di era modern yang menulis kritikan terhadap Universitas Azhar.
Abdullah juga menulis kritikan-kritikan baik tentang ateis dan sekuler berkaitan dengan pembenaran hadits tentang geografi dan obat-obatan dan hal-hal seperti itu. Ia diketahui memiliki 1 masalah awal.
Abdullah selalu menulis puisi tentang dirinya di sampul dalam buku-bukunya dengan bahasa yang benar-benar megah dan mandiri. Tak cuma dikenal karena kecerdasan dan ketekunannya sebagai mahasiswa, ia juga dikenal dengan kepura-puraan dan narsisme.
Abdullah disebut-sebut sebagai Ibnu Taimiyah di zamannya karena ia dianggap ahli dalam setiap bidang ilmu-ilmu agama, seorang mufassir, muhaddits, faqih, sekaligus mu’arrikh. Tapi ia sering mengatakan hal-hal yang aneh.
Bahkan ia pernah menanyakan mengapa salat itu diwajibkan dan pertanyaan aneh tentang apa saja cacat/kekurangan dari agama Islam? Pertanyaan itu tentu tidak biasa diajukan oleh mahasiswa.
Ia kemudian menghilang dari peradaban menuntut ilmu untuk sementara waktu. Abdullah berpindah mempelajari buku-buku filsafat dan beberapa tahun kemudian, menulis beberapa buku modernis yang ‘aneh’.
Saat para syeikh di Saudi mencoba untuk membuatnya diam, ia justru mengeluh kepada Syekh Sayyid Quthb. Quthb pada awalnya membela Abdullah untuk berbicara.
Namun saat Abdullah mengirim salinan buku dan artikel barunya kepada Quthb, Quthb panik dan menganggapnya mencoba untuk menghancurkan Islam. Hingga akhirnya Abdullah keluar dari agama Islam dan salah seorang putranya murtad bersamanya.
Baca Juga : Antisipasi Overload dan Kurangi Dampak Bau, DLHKP Normalisasi Kolam Air Lindi TPA Kota Kediri
Mereka lantas memutuskan untuk tinggal di Mesir. Abdullah mencoba untuk membentuk gerakan politik ateis di sana, tapi Jamal Abdel Naser menemukannya dan ia dipenjara lebih dari sekali.
Abdullah juga menghabiskan waktu di Libanon dan terlibat dengan Literary Society, mereka memperlakukannya seperti pejabat kelas 1.
Akhirnya, Syeikh Ibnu Aqil al-Zahiri dengan berbagai keahliannya bertemu Abdullah di Garden City. Mereka berdebat setiap malam, dan Syekh Ibnu Aqil menghabiskan sisa malam dengan menulis buku menceritakan kembali perdebatannya dengan Abdullah.
Buku itu selesai dalam semalam tepat sebelum fajar dengan judul “A Night in Garden City.” Menurut Syeikh Ibnu Aqil, secara lisan Abdullah mirip dengan Immanuel Kant dan John Stuart Mill, dan setiap kali Syeikh Ibnu Aqil mengutip pernyataan filsuf sekuler kafir, Abdullah akan mengganti topik pembicaraan.
Pada dasarnya, ia akan membuat tuduhan mengenai keberadaan Allah SWT secara harfiah pada buku Pencerahan dan filsuf pasca-Pencerahan. Ia merupakan seorang yang arogan sepanjang hidupnya dan tidak mau bertobat sampai akhir hayatnya.
Hingga dia pun meninggal karena kanker di rumah sakit ‘Ain Syams Kairo-Mesir pada tanggal 1 September 1996, menuju kematian yang panjang dan lambat.
Jadi, mengapa ia murtad jika disebut Ibnu Taimiyah era baru? Tak hanya karena filsafat, karena banyak sarjana Muslim yang menyelidiki ilmu ini tapi tidak sampai murtad.
Tampaknya hatinya selalu sakit, mengingat sikapnya yang sombong, narsis dan sebagian besar hidupnya selalu mencari kekurangan segala sesuatu hal bahkan setelah menjadi seorang ‘alim.