INDONESIATIMES - Pemerintah China, saat ini juga sama seperti negara lain yang menghadapi pandemi virus Covid-19 varian Delta, yang lebih cepat menular. Namun China dianggap berhasil dalam menekan laju penularan Covid-19 varian delta ini.
Hal itu disebabkan, Pemerintah China cepat bertindak dengan melakukan sebanyak 9 juta tes di Nanjing hanya dalam waktu beberapa hari. China memang menjadi salah satu negara yang relatif berhasil menanggulangi pandemi dibanding beberapa negara besar lain sejak awal pandemi di kota Wuhan akhir tahun 2019 lalu.
Baca Juga : Cara Mengatasi Sertifikat Vaksin yang Tidak Muncul di Aplikasi PeduliLindungi
Beberapa daerah di China mendapatkan penularan dari kedatangan warga dari luar negeri, namun situasi itu berhasil ditangani dengan baik dalam hitungan pekan atau bahkan hari. Banyak negara di Asia sudah menerapkan pembatasan, termasuk lockdown serta pembatasan lainnya.
Namun langkah yang dilakukan China dinilai yang paling terkoordinir dan paling ketat. Bahkan, China dianggap berhasil menahan bertambahnya kasus varian Delta, dengan melihat angka penularan baru pada Kamis (29/7/2021) sebanyak 24 kasus, turun dari 31 kasus di hari Rabu.
Tes yang banyak jadi bagian penting
Media pemerintah China mengatakan kasus Covid-19 dari varian Delta di Nanjing ini, mungkin sudah terjadi sejak 10 Juli, meski kasus pertama baru dilaporkan pekan lalu. Kebanyakan kasus positif yang muncul dari gelombang tes pertama di Nanjing berasal dari kawasan pemukiman tidak jauh dari Bandara Internasional Lukou, yang sekarang sudah ditutup.
Zhang Nuo, seorang warga Nanjing, mengatakan ia terpaksa membatalkan perjalanan bersama keluarganya ke Beijing karena lockdown.
"Bila mereka menutup seluruh kota tidak ada yang bisa saya lakukan, kami semua mengerti mengapa ini harus dilakukan dan tidak seorang pun mau virus ini menyebar ke mana-mana," kata Zhang.
Melakukan tes dengan cepat dalam jumlah yang besar saat ada kasus penularan baru sudah jadi hal yang biasa dilakukan oleh China sejak awal pandemi. Pemerintah China dengan cepat mengerahkan sumber daya, staf, lab, dan meminta jutaan warga dites tanpa mendapat banyak penolakan.
Namun, upaya itu tetap saja ada kendalanya. "Semuanya cepat sekali. Pemerintah mengumumkan adanya kasus, dan pengelola perumahan kami kemudian mengatakan semua harus dites," katanya dikutip dari ABC.
"Mereka kemudian memfasilitasi tes, namun di tempat tes suasananya kacau."
"Mereka tidak bisa membuat semua orang antre dengan menjaga jarak, banyak orang memotong antrean, yang lain memesan makanan ketika antre."
"Dan ketika antre, kami diberitahu bahwa alat tes habis, jadi kami kesal sekali."
Seorang warga Nanjing lainnya, Zhiming Yan, mengatakan pemerintahan setempat mengirimkan staf medis untuk melakukan 3 kali tes massal sejak munculnya kasus baru.
"Pada umumnya warga mematuhi seruan untuk dites," kata Zhiming.
"Seluruh fasilitas pendidikan ditutup."
"Sekolah dan taman kanak-kanak harus mendaftarkan rincian perjalanan, hasil tes PCR anak-anak dan orang tua mereka."
Pengawasan yang ketat dan pembatasan wilayah
Baca Juga : Rumah Digital Indonesia, Wadah Virtual untuk Perayaan HUT Ke-76 RI
Selain itu, China juga mendapat banyak pujian setelah memberlakukan lockdown ketat selama 76 hari di kota Wuhan di awal tahun 2020. Saat itu seluruh warga di kota tidak diizinkan meninggalkan apartemen mereka.
Pemerintah China juga menutup hampir seluruh kota di provinsi Hubei, yang berdekatan dengan Wuhan dan melarang semua jenis perjalanan. Model lockdown ini yang kemudian diterapkan juga di Australia.
Sama seperti di Melbourne, lockdown ini berhasil menurunkan angka penularan, sementara kota-kota lain tidak mencatat lagi kasus penularan baru. Kalau pun masih ada penularan, penanganannya sangat cepat.
Karena itu perekonomian di China bisa kembali pulih dengan cepat, terlihat dari harga biji besi ekspor dari Australia yang naik tajam di China. Sejak itu bentuk lockdown berubah-ubah, Pemerintah tidak lagi menutup seluruh kota, namun hanya menutup beberapa kompleks perumahan tertentu.
"Pemantauan dan pengawasan lebih baik di China dibandingkan di Australia, khususnya karena kebanyakan warga tinggal di kompleks apartemen," kata Profesor John Nicholls dari University of Hong Kong.
"Ini berbeda dengan Australia di mana kawasan pemukiman terdiri dari rumah-rumah yang terpisah dan berjarak tanpa adanya kamera pemantau atau pengurus apartemen."
Model karantina hotel yang diterapkan di China ini bagi mereka yang datang dari luar negeri, yang juga diikuti banyak negara termasuk Australia, sekarang juga berubah. Masa karantina diperpanjang menjadi 3 minggu, dari sebelumnya 2 minggu.
Setelah menjalani karantina selama 21 hari, beberapa kota di China bahkan mengharuskan warganya untuk menjalani karantina tambahan 1 minggu di rumah.
Untuk penerapan pembatasan ini, dan upaya untuk menekan laju penularan Covid-19 tentunya akan berbeda di setiap negara, termasuk Indonesia.