MALANGTIMES - Makin gencar saja penolakan terhadap wacana pengembangan perkebunan kelapa sawit di Malang Selatan. Setelah sejumlah aktivis lingkungan maupun masyarakat, giliran pakar hukum lingkungan yang menolak keras rencana tersebut, yakni Prof Dr Rachmad Safa'at.
Guru besar Fakuktas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) tersebut menegaskan Pulau Jawa ,khususnya daerah Malang, tidak membutuhkan komoditas sawit. Dia menilai kebun sawit hanya akan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dari berbagai faktor.
Baca Juga : Warga Wonokromo Belum Tersosialisasikan Aplikasi Wargaku, Pimpinan Dewan Luncurkan 'Wadul Bu Reni'
"Jawa itu tanahnya sudah dilindungi, jadi jangan digunakan untuk hal yang tidak penting. Saya melihat tidak penting itu mengembangkan sawit di Jawa," ungkap dosen hukum lingkungan dan sumber daya alam Universitas Brawijaya itu..
Rachmad mengaku ikut mengamati wacana pengembangan sawit di Malang Selatan itu. Ada campur tangan investor swasta yang ikut memengaruhi keputusan dalam rencana Pemkab Malang dalam mengalihfungsikan lahan dari Perhutani tersebut.
Menurut Rachmad, lahan yang akan ditanami sawit itu harusnya tetap dibiarkan begitu saja. Sebab, dari sisi penilaiannya, alih fungsi lahan hanya akan memberikan keuntungan yang tidak seberapa dan cuma dalam jangka pendek saja.
"Itu salah. Lima puluh tahun lagi kalau dibiarkan menjadi lahan sawit, maka akan rusak. Jadi, saya mengimbau agar pemerintah menghentikan wacana itu," tandasnya.
Menanggapi soal sikap Pemkab Malang dalam isu ini, Rachmad mengimbau Perhutani juga ikut andil dan aktif berkoordinasi dan memberikan masukan tentang pengalihfungsian hutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia menilai jika Perhutani lebih memiliki wewenang dalam mengelola hutan dibandingkan dengan Pemkab karena Perhutani berada dibawah langsung payung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca Juga : Geger Kabar Novel Baswedan dan 70 Pegawai Terancam Dipecat, Ini Respons KPK
"Jadi, Perhutani yang harus berkoordinasi dengan kementerian. Perhutani kan di bawah payung Kemenhut. Apalagi sekarang planologi Kemenhut masuk ke ranah Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Mestinya lebih kuat (posisinya, red). Saya yakin usul Perhutani dalam pembatalan wacana tersebut juga akan disetujui Kemenhut. Jika tidak disetujui, saya kira alangkah naifnya pemerintah tidak berhati-hati dalam mengelola hutan," ungkapnya.
Rachmad juga memberikan beberapa solusi terkait isu itu. Salah satunya adalah solusi mengenai perhutanan sosial. Di sini masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaannya. Dan hal tersebut dinilai lebih bermanfaat untuk masyarakat dan tidak merusak lingkungan yang ada.
"Ajak masyarakat untuk mengelola dengan baik, untuk kesehjateraan mereka. Masyarakat kita ini kekurangan lahan. Kalau ada hutan, ya kerjakan bersama masyarakat. Konsepnya sudah banyak. Konsep sela tumpangsari kan bisa dipakai masyarakat untuk ketahanan pangan," bebernya.
Menurut dia, masyarakat di Malang Selatan tidak membutuhkan penghasilan dari komoditas sawit. Terlebih lagi jika pengelolaannya melibatkan investor swasta. Rachmad menilai masyarakat sekarang butuh ketahanan pangan yang bagus agar pemerintah tidak perlu lagi melakukan impor produk pangan yang hanya akan merugikan ketahanan pangan masyarakat.