BLITARTIMES - Blitar adalah sebuah daerah yang berada di Jawa Timur bagian tengah. Saat ini Blitar dibagi menjadi dua yakni Kabupaten Blitar dan Kota Blitar. Berdasarkan jejak dan catatan sejarah, Blitar sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit.
Jejak peradaban di Blitar diantaranya dapat disimak dari cerita tutur yang berkembang di masyarakat. Cerita tersebut menyatakan bahwa di masa silam tepatnya di masa akhir kerajaan Majapahit di Blitar berdiri sebuah kerajaan kecil. Sebagai sebuah kerajaan swapraja, pemangku kekuasaan Blitar beberapa kali memindahkan pusat pemerintahan.
Baca Juga : RAPI Tulungagung dan Mitra Combat Khotmil Qur'an dan Berbagi Takjil di Desa Betak
Menurut cerita tutur, pusat pemerintahan Blitar saat itu berada di tempat yang saat ini bernama Desa Aryo Jeding, desa yang kini masuk wilayah Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung.
Di Desa Aryo Jeding terdapat sebuah reruntuhan candi yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai bekas pusat pemerintahan Kabupaten Blitar di masa silam. Wujud candi tersebut saat ini sudah tidak utuh lagi. Candi tersebut diberi nama Candi Aryo Jeding atau biasa juga disebut dengan nama Candi Nilosuwarno.
“Petilasan situs Aryo Jeding sendiri sangat dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Di tempat inilah diyakini sebagai tempat awal mula berdirinya Kadipaten Blitar,” ungkap Warno, juru kunci situs Aryo Jeding kepada BLITARTIMES.
Keyakinan masyarakat setempat dilandasi dengan ditemukanya sejumlah umpak yang merupakan bekas tempat menaruh soko guru pendopo Kadipaten Blitar. Sedangkan, di sebelah utaranya banyak ditemukan sumur-sumur kuno. Sumur-sumur kuno tersebut menandakan bahwa di daerah ini pada masa lampau telah terdapat pemukiman penduduk yang cukup ramai.
Situs ini memiliki banyak sebutan. Mulai dari Candi Nilo Suwarno hingga Sitihinggil. Sebutan Candi Nilo Suwarno ini didasarkan penemuan beberapa kala, yoni, arca-arca dan beberapa komponen candi lainnya di reruntuhan situs ini.
Sebutan sitinggil disematkan setelah ditemukanya bekas bangunan Kadipaten Blitar di daerah situs ini. Sitihinggil sebagai tempat yang tinggi, pada umumnya menggambarkan bahwa di daerah tersebut berdiri sebuah kerajaan besar maupun kecil. Kadipaten Blitar pada waktu itu merepresentasikan diri sebagai kerajaan kecil.
“Banyak mas yang berkunjung ke tempat ini. Para peziarah punya maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Sayangnya di jaman G30/S/PKI dulu tempat ini diserang orang dan dihancurkan, dulu di tengah situ ada pohon beringinya,” terangnya.
Menurut cerita tutur, sebagai seorang adipati, dalam menjalankan pemerintahan Adipati Aryo Blitar I dibantu oleh seorang patih bernama Ki Ageng Sengguruh. Berdasarkan cerita, Sengguruh berasal dari Lumajang dan masih satu perguruan dengan Nilo Suwarno.
Karena masih satu perguruan, Nilo Suwarno dan Sengguruh memiliki hubungan yang sangat dekat. Namun demikian di dalam politik tidak ada kawan abadi dan lawan abadi. Dari sinilah konflik perebutan kekuasaan dimulai.
Sengguruh memiliki istri bernama Dewi Sulastri. Dewi Sulastri, digambarkan sebagai sosok haus kekuasaan, melakukan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ia pun mulai menghasut suaminya untuk melakukan konspirasi menggulingkan sang adipati.
“Sengguruh itu sebenarnya orang baik, tapi istrinya yang jahat dan haus kekuasaan. Melihat istri sang adipati yakni Dewi Rayung Wulan hidup enak sebagai permaisuri dia berambisi menjadi ratu. Akhirnya Sengguruh dihasut untuk menggulingkan Adipati,” terang Warno.
Dengan tipu muslihatnya, Sengguruh akhirnya berhasil membunuh Adipati Aryo Blitar I di Malang. Dengan segala tipu muslihatnya, Patih Sengguruh merencanakan pembunuhan Adipati Aryo Blitar I dengan cara memperdayai permaisuri yang saat itu sedang hamil. Dengan dilandasi niat buruk, Sengguruh menyarankan kepada permaisuri untuk memakan ikan emas bader bang sisik kencana untuk kebaikan si jabang bayi. Permaisuri terpancing dengan hasutan Sengguruh dan meminta dicarikan ikan tersebut.
“Permaisuri Adipati Aryo Blitar I bernama Dewi Rayung Wulan putri dari kerajaan Kartasura. Kalau Nilo Suwarno menurut kepercayaan adalah putra dari Ronggo Lawe,” jlentrehnya.
Permintaan permaisuri itu disetujui oleh Adipati Aryo Blitar. Adipati kemudian memerintahkan kepada orang kepercayaanya untuk mencarikan ikan tersebut. Namun dengan segala tipu muslihatnya Patih menggelabui sang Adipati bahwa sebaiknya jika anak pertama biarlah romonya sendiri yang mencarinya. Adipati percaya dan langsung bergegas menuju ke Kedung Gayaran, Malang untuk mencari ikan emas bader bang sisik kencana itu.
Setibanya di kedung Gayaran, adipati langsung memutuskan untuk mencari ikan tersebut. Saat itu, ditengah-tengah pencarian ikan, ia tidak mengetahui bahwa nyawanya akan terancam. Ikan yang dicarinya tersebut hanyalah sumping emas milik patih yang dilempar ke dalam kedung sehingga dari permukaan terlihat seperti ikan emas. Jebakan ini telah disiapkan oleh abdi sang patih, Simolurik dan Macanlurik.
Ketika Ki Ageng Nilosuwarno tengah asyik menjala ikan, naas sekali, jala yang ada di sana tersangkut, ini merupakan strategi sang patih. Kemudian ia langsung menyelam untuk membenarkan jalanya. Di tempat tersebut sang raja dibunuh dengan dilempari batu oleh abdi Ki Ageng Sengguruh dan konon Ki Ageng Nilosuwarno akhirnya moksa.
“Adipati Nilo Suwarno moksa, hilang bersama raganya,” paparnya.
Setelah pembunuhan Adipati Nilo Suwarno berhasil, Sengguruh kemudian naik tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Dewi Rayung Wulan kemudian keluar dari keraton dan melahirkan anak bernama Joko Kandung. Setelah dewasa Joko Kandung balas dendam dan berhasil membunuh Sengguruh.
“Sengguruh saat itu ketakutan dengan perlawanan Joko Kandung. Dia lalu lari ke Kepatihan dan berhasil dibunuh disana. Istri dan anak Sengguruh juga dibunuh oleh Joko Kandung karena mbelani. Anaknya Sengguruh bernama Joko Plontang,” imbuhnya.
Setelah membunuh Sengguruh, Joko Kandung kemudian merebut kekuasaan dan bergelar Adipati Aryo Blitar III. Dia kemudian mengosongkan pusat pemerintahan Kadipaten Blitar dan memindahkan kerajaan ke tempat yang saat ini dikenal dengan nama Kelurahan Blitar yang berada di pusat Kota Blitar.
“Pusat pemerintahan kadipaten dipindahkan atas perintah dari Keraton Surakarta. Saat itu Kadipaten Blitar berada dibawah kekuasaan Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Sunan Pakubuwono meminta Joko Kandung memindahkan pusat kadipaten karena di kadipaten lama telah terjadi pertumpahan darah. Dalam perkembanganya Desa Aryo Jeding kemudian masuk dalam wilayah Kabupaten Tulungagung setelah ada pemekaran wilayah,” pungkas Warno.
Dari uraian diatas dapat dipetik kesimpulan jika cerita tutur dari Aryo Jeding memberikan bukti-bukti jika ibukota Blitar di masa lampau adalah tempat saat ini dikenal dengan Desa Aryojeding. Namun benarkah demikian?.
Menanggapi cerita tutur yang bersumber dan berkembang di kalangan masyarakat, Aryo Jeding terkait dengan Aryo Blitar dan Candi Nilosuwarno.
Sejarahwan Blitar Ferry Riyandika mengatakan, dari berbagai sumber sejarah, sejak dahulu kala, Blitar terletak di selatannya daerah selatan Kahuripan. Daerah yang dimaksud adalah Kadiri. Sejarah juga mencatat jika Blitar terletak di utara Sungai Ciranobaya atau Sungai Brantas sesuai uraian perjalanan Bujanggamanik, naskah Sunda yang dijadikan rujukan sumber primen saat Majapahit mulai tenggelam.
Sumber primer lain pun menyebutkan, pusat pemerintahan Blitar di zaman kuno letaknya tidak berubah dari Blitar yang dikenal saat ini. Kitab Negarakertagama menurut Ferry, mengisahkan perjalanan Raja Hayam Wuruk selalu bermula di Candi Palah (Candi Penataran) yang letaknya di Blitar utara. Setelah dari Candi Palah, melanjutkan perjalananya ke arah barat daya dan wilayah selatan dengan mengujungi beberapa tempat. Diantaranya Candi Lwang Wentar, Jimbe dan Lodoyo.
“Kitab yang bernama lain Desawarnana, melanjutkan uraian jalannya rombongan Raja Hayam Wuruk selalu dilakukan di musim kemarau. Beliau tidak berani melaksanakan perjalanan di musim penghujan. Dalam perjalanan ini, Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi Candi Simping. Kemudian tamasya ke pantai selatan dan kembali lagi ke Candi Simping yang kala itu tengah direnovasi. Setelah itu Raja pulang ke pusat pemerintahan di Trowulan karena Patih Gajah Mada sedang sakit,” terang Ferry.
Namun demikian, Ferry menyatakan, cerita rakyat tentang sejarah Blitar yang dipercaya oleh masyarakat Aryo Jeding sah-sah saja. Masyarakat Aryo Jeding percaya desa mereka dahulu adalah pusat pemerintahan dan ibukota Blitar di masa lampau.
“Cerita tutur itu sudah berkembang di masyarakat sejak lama dan sah-sah saja untuk dijadikan referensi sumber sejarah,” tegasnya.
Namun demikian, Ferry memberikan sejumlah kritisi terkait dengan situs Aryo Jeding. Menurutnya, berdasarkan tinggalan arkeologi di tempat, Candi Nilosuwarno, dari segi arsitekturnya mirip dengan lainnya, yaitu candi masa Hindhu-Budha sebagai tempat peribadatan. Selain candi yang sudah runtuh, ditemui tinggalan lain, beberapa sumur kuno dan komplek makam kuno yang terletak di sebelah timur yang sama-sama berada di tepi brantas.
“Biasanya daerah yang terletak di pinggir sungai besar umumnya dipergunakan sebagai lalu lintas perdagangan. Termuat dalam prasasti Pertapan atau Shubasita yang menerangkan bahwa Padlegan berada di pinggir sungai (...Padlengan ring pinggir Tasik..). Menariknya Padlegan yang berarti tempat ikan (Deleg),” urainya.
Besar kemungkinan lanjut dia, daerah Aryo Jeding atau Nilasuwarno sekitarnya yang berbatasan langsung dengan wilayah Blitar (utara) sebagai penghasil atau pemeliharaan ikan bahkan dahulunya penyuplai ikan sungai.
“Tidak mengherankan apabila cerita tutur turun temurun berkembang di masyarakat sekitar adanya penangkapan ikan oleh Nilosuwarno yang kemudian di lempari batu oleh Sengguruh dan meninggal,” pungkas Ferry.