MALANGTIMES - Langkah hukum yang diambil raja dangdut Rhoma Irama atas gugatan yang dilayangkan kepada PT Sandi Record berakhir buntu. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Niaga Surabaya, majelis hakim menilai PT Sandi Record tidak melakukan pelanggaran hak cipta sebagaimana yang dituduhkan.
Sebelumnya, pihak Rhoma Irama memang telah melayangkan gugatan kepada PT Sandi Record. Dikarenakan, perusahaan musik tersebut dianggap telah mengunggah 30 lagu sang Raja Dangdut ke YouTube tanpa izin. Akibatnya, pihak dari ayah Ridho Rhoma itu menggugat pihak PT Sandi Record sebesar Rp 1 Miliar.
"Mengadili, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini ditetapkan sejumlah Rp 539.000," ucap majelis hakim sebagaimana dilansir Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, Senin (19/4/2021).
Baca Juga : Viral TikTokers Buang-Buang Duit Saking Kayanya, Dulu Disukai Kini Dihujat
Menurut Majelis Hakim, gugatan hak cipta Rhoma Irama tidak memiliki landasan hukum. Pasalnya, PT Sandi Record dinilai telah membayar izin pakai lagu senilai Rp 533 juta untuk izin pakai 72 lagu. Rata-rata harga lagu Rp 7,5 juta per paket yang betisi 10 buah lagi. Jumlah tersebut telah selesai dibayarkan Sandi sejak 2007 sampai 2011, sebelum Sandi memproduksi dan mengunggahnya ke YouTube.
”Oleh karena gugatan penggugat tidak beralasan hukum, maka harus ditolak,” kata hakim.
Kuasa Hukum Hak Cipta PT Sandi Record Rachmat Idisetyo mengungkapkan, kasus Rhoma Irama ini bisa menjadi pembelajaran bagi insan musik Indonesia dan masyarakat. Menurutnya, UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada dasarnya sudah jelas dan lengkap. Namun, terdapat permasalahan berupa kekurangan dalam hal peraturan pelaksana yang ada di peraturan Pemerintah maupun Menteri, dalam hal ini adalah Kemenkumham.
“UU ini mengalami banyak multitafsir terkait hak cipta. Dalam hal ini contohnya fiksasi atau sering disebut mastering pada label musik,” jelas alumni S1 Ilmu Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya itu.
Fiksasi yang tertulis di UU Hak Cipta adalah perekaman suara yang dapat didengar, perekaman gambar atau keduanya yang dapat dilihat, didengar, digandakan atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun.
Pihak Rhoma Irama dalam kasus ini berpendapat, jika Sandi Record telah merekam atau membuat konten fiksasi atas VCD, maka masternya hanya diperbolehkan untuk VCD, tidak untuk platform lainnya karena termasuk dalam mechanical rights.
Namun, Rachmat memaparkan, fiksasi sudah mencakup mechanical rights, performing rights, dan platform digital dan hak ekonomi pencipta adalah hal yang berbeda.
“Itu yang membedakan pendapat antara tim kuasa hukum Sandi Record dan tim Rhoma Irama,” tegas Rachmat.
Baca Juga : Pria asal Batu Ini Diringkus Usai Curi Barang di 9 Lokasi Wilayah Jatim
Untuk hak performing rights, pencipta bisa meminta lewat Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan untuk komunikasi digital baru berbeda. Dalam kasus ini, Rhoma Irama telah menguasakan hak ekonominya lewat PT. Arga Swara Kencana Musik.
”Saya bersyukur hakim sudah memberikan putusan yang adil,” ujar pria yang mengaku sebagai penggemar berat Rhoma Irama ini.
Secara pribadi, Rachmat mengalami dilema besar. Pasalnya, ia berhadapan dengan idolanya, namun dalam kondisi yang tidak ideal. Kendati demikian, ia berupaya tetap profesional. Rachmat menegaskan, pengetahuan dan pemahaman tentang hak cipta harus diluruskan.
“Permasalahan ini harus dipahami publik secara luas sebagai pembelajaran, khususnya para pegiat industri musik supaya tidak terulang kembali kejadian serupan dikemudian hari,” tegas dia.
Sementara itu, Pengacara Hak Cipta Rhoma Irama, Hulviam Pratama, yang hadir di persidangan belum dapat berkomentar ketika dikonfirmasi seusai sidang. Dia harus berkoordinasi dengan timnya dan belum memastikan apakah akan mengajukan kasasi atau tidak.