INDONESIATIMES - Belakangan ini, tripsin babi banyak disebut-sebut dalam produksi vaksin covid-19, khususnya "AstraZeneca". Pemakaian bahan itu mendasari munculnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus memantik kontroversi halal dan haram.
Di satu sisi, MUI menilai ada persinggungan dengan unsur haram dalam pembuatan vaksin tersebut. Namun, para pakar menilai persinggungan dengan tripsin babi itu tak membuat produk akhirnya mengandung bahan itu.
Baca Juga : Bupati Banyuwangi Sesalkan Oknum yang Cat Cabai
Lantas apa sebenarnya tripsin babi itu? Dilansir melalui wawancara eksklusif detik.com, pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo memberikan penjelasan. "Tripsin rekombinan yang digunakan AstraZeneca dalam produksi vaksin skala industri berasal dari fusarium sejenis jamur," jelasnya.
Melalui tahap engineering good manufacturing practice (GMP), jelas Ahmad, enzim tripsin babi dipakai untuk membuat pakan bakteri.
Nah, bakteri itulah yang nantinya diperlukan biomol untuk merekayasa gen. Kendati demikian, Ahmad menekankan enzim dari babi ini tidak lagi dikandung dalam vaksin yang disuntikkan ke masyarakat.
"Setelah produk berhasil, maka selanjutnya akan dibiakkan di sel dan dalam proses pemijahan sel tidak lagi menggunakan tripsin babi, tapi tripsin rekombinan," bebernya.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan, tren penggunaan tripsin babi dalam vaksin ini sebenarnya mulai ditinggalkan dalam prosedur pembuatan vaksin. Hal itu disebabkan bahan dari sumber hewan dikhawatirkan membawa penyakit.
Baca Juga : Masuk Zona Kuning, Ratusan Pasien Covid-19 di Kabupaten Malang Sembuh Selama PPKM Mikro
Kini tripsin babi banyak dipakai untuk kepentingan penelitian karena harganya lebih murah. Ahmad meyakini vaksin AstraZeneca yang akan disuntikkan ke masyarakat sudah aman dari risiko bahaya akibat bahan hewani.
"Dari sisi keamanan sudah dikawal ketat (kemurnian dari zat yang membahayakan) sebelum masuk ke proses produksi," pungkasnya.