Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Makna "Brekat" dalam Selamatan Pasca Kematian yang Dipercaya Masyarakat Tulungagung

Penulis : Anang Basso - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

16 - Feb - 2021, 20:58

Placeholder
Brekat yang diberikan sebagai bentuk sedekah pasca kematian di Tulungagung (Foto: Anang Basso / TulungagungTIMES)

TULUNGAGUNGTIMES - Setelah seseorang telah dimakamkan, adat di Tulungagung atau di Jawa pada umumnya pada malam harinya banyak orang yang berkumpul untuk tahlilan ataupun sekedar menghibur keluarga yang ditinggalkan.

Bagi keluarga yang ditinggalkan akan mengadakan acara slametan atau jika diambil dari bahasa empunya berarti mendoakan agar jenazah diberi keselamatan menuju alam barzah hingga akhirat kelak.

Baca Juga : Temuan Sampah di Saluran Drainase Buat Petugas DPUPRPKP Kota Malang Geleng Kepala

"Biasanya ada sedekahan dengan harapan dijauhkan dari hal-hal yang membahayakan baik untuk keluarga yang ditinggalkan ataupun bagi ahli kubur," kata Abas, penganut budaya dan adat istiadat setempat.

Karena sebagian besar masyarakat di Tulungagung adalah Islam, mereka akan mendoakan ahli kubur dengan membaca surat Yasin dan bacaan tahlil.

"Yasinan dan tahlilan ini dilaksanakan sampai tujuh hari pasca kematian," tambahnya.

Brekat (makanan khas selamatan) biasanya diberikan pada peringatan tiga hari pertama, kemudian ketika pada waktu tujuh hari warga yang di undang juga akan mendapatkannya.

Dirangkum dari berbagai sumber dan kebiasaan yang terjadi di Tulungagung, selamatan biasanya berlanjut sampai pada hari ke 40 (matang puluh), pada hari ke 100 (nyatus), pada hari peringatan genap tahun pertama (mendak pisan), pada peringatan genap tahun kedua (mendak pindo), pada peringatan genap tahun ke tiga (mendak ping telu) atau slametan terahir yang menandai telah 1000 hari.

Peringatan ini diyakini warga secara turun temurun adalah proses pembusukan tubuh yang mati sebelum pada ahirnya melebur dengan tanah. Dalam kondisi normal, proses peleburan jasad manusia berlangsung dalam tujuh tahap.

Tahap pertama disebutkan Abas, adalah tiga hari setelah jasad dimakamkan ketika diyakini jasad mulai membengkak. Kemudian berlanjut hari ketujuh, ketika pembengkakan menuju puncaknya dan akhirnya daging hancur, terurai dan membusuk.

Baca Juga : PPKM Mikro Tulungagung, Zona Kuning Terbanyak di Kecamatan Kedungwaru

Empat puluh hari adalah proses pembusukan ini diikuti dengan pergerakan tubuh secara perlahan mulai dari kepala perlahan mulai tegak seperti halnya lutut. Sementara pada hari ke-100 yang menjadi kebiasaan nyatus ini diyakini saat tubuh yang membusuk berubah menjadi seperti orang duduk tegak dengan lutut tertekuk keatas.

Setahun setelah kematian, lambat laun kepala akan mencapai lutut. Lalu pada jasad usia dua tahun semua daging sudah hancur tak tersisa, kaki jenazah akan tertekuk sampai kebawah pantat, sedangkan kepala menyatu dengan lutut. 

Ahirnya pada waktu tahun ke tiga atau 1000 hari, semua tulang akan terkumpul bersama sebelum kemudian akhirnya melebur dengan tanah.

"Jika diamati gerakan tulang dalam proses pembusukan ini akan sama dengan gerakan pertumbuhan jabang bayi dalam alam kandungan namun dengan arah yang terbalik," terangnya. 
 

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anang Basso

Editor

Sri Kurnia Mahiruni