Para perajin tahu dan tempe di Kediri Jawa Timur tengah mengeluhkan kenaikan harga kedelai yang terbilang cukup tinggi. Sontak, hal ini berdampak pada bisnis tahu dan tempe mereka yang bergantung pada bahan baku kedelai.
Berbagai cara dilakukan untuk menyiasati, mulai mengurangi ukuran sampai mengurangi jumlah pekerja. Dampak pandemi yang masih belum berakhir ditambah kenaikan harga kedelai membuat produsen ini menjerit.
Baca Juga : Harga Tahu-Tempe Naik Per Hari Ini, Berikut Penjelasan Kemendag
Sementara itu, atas melambungnya harga kedelai ini dirasakan benar oleh pemilik industri tahu populer di Kampung Tahu Kelurahan Tinalan, Kota Kediri, Jawa Timur, Slamet Widodo (30). Ia mengaku peningkatan harga dirasakan pada akhir tahun 2020. Saat libur Hari Raya Natal dimulai harga sudah melonjak mencapai Rp 8.300 dan akhirnya mencapai Rp 9.100 pada libur Pergantian Tahun 2021.
Agar tidak terlalu merugi, dia mengurangi takaran kedelai dalam pembuatan tahunya. Peningkatan harga kedelai ini menurutnya sudah menurunkan pendapatan sekitar 50 persen lebih jika dilihat dari kapasitas produksi yang berkurang dalam beberapa pekan terakhir.
"Dulu saat keadaan normal untuk memproduksi, kami bisa mengolah sekitar 2,5 ton dalam sepekan, sekarang hanya 1,5 ton saja. Kami memasok kedelai sesuai dengan pendapatan yang diterima dan permintaan pasar. Sekarang hanya memproduksi sekitar separuh dari hari biasa," katanya.
Selain itu limbah atau ampas tahu masih menjadi andalan produsen untuk menutupi sedikit biaya produksi. Hasil penjualan limbah bisa membantu mengurai beban bahan bakar kayu, listrik, dan gaji buruh pembuat tahu. "Ampas per masakan kami jual Rp 13.500 ribu, itu sekitar 10 sampai 11 kilogram. Cukup membantu tapi tidak terlalu banyak," tuturnya.
Sementara itu, Produsen Tempe dari Kelurahan Tempurejo Kota Kediri, Ropingi (48) menjelaskan, kenaikan harga kedelai terjadi secara bertahap. Menurut pria yang juga menjual bahan baku tahu dan tempe kenaikan mulai bulan Oktober 2020 lalu.
Kenaikan terjadi sedikit demi sedikit hingga mengalami lonjakan secara spontan pada akhir tahun 2020. "Kalau normal dulu Rp 6.800 sampai Rp 6.900, lalu meningkat perlahan dan akhir Desember 2020 melonjak sampai Rp 9.100 sampai Rp 9.200 perkilogram," paparnya.
Kenaikan terjadi karena pasokan yang semakin menipis, bahkan pasokan sempat terhenti karena distribusi dari pelabuhan terganggu. Akibat kenaikan dan dampak pandemi dia harus mengurangi karyawan agar beban produksi tidak terlalu besar.
Baca Juga : Kedelai Impor Naik, Disperindag Kabupaten Malang Pastikan Stok Masih Aman
"Ketika tidak ada pandemi kami bisa mempekerjakan 4 orang, lalu kami kurangi 1 pada saat awal pandemi lalu. Sekarang tinggal 2 pekerja saja, 1 orang harus berhenti untuk menekan pengeluaran," pungkasnya.
Pada awal tahun ini Ropingi bersama istrinya harus turun tangan pada produksi untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Dia juga harus mengurangi sekitar 50 persen produksinya untuk meminimalisir kerugian.
Diketahui, kenaikan harga komoditi kedelai global ini terjadi dikarenakan mengikuti harga pasar internasional. Sebab, sekitar 80 persen lebih kebutuhan kedelai di Indonesia ditutup oleh impor seperti Amerika Serikat hingga negara seperti Brasil.
Di sisi lain, pemicu yang membuat harga kedelai ini meroket yakni dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan kedelai Cina dari Amerika Serikat, seiring meredanya perang dagang kedua negara. Ketegangan hubungan dagang antara AS dan negeri tirai bambu yang telah mulai mereda tersebut membuat Cina kembali memborong produk-produk kedelai dari negeri Paman Sam.
Ibarat saat perang dagang, pembelian berkurang, jadi stok melimpah dan harga murah. Sekarang stok sedikit membuat harga kedelai membumbung tinggi.