Petani di Tulungagung mengeluhkan harga cabai yang mandek di angka Rp 9 ribu per kilogram yang diduga dampak panjang Covid-19. Petani membandingkan, di bulan yang sama yakni bulan Agustus hingga Desember 2019, harga cabai di kisaran Rp 60 - Rp 80 ribu rupiah.
Seorang pentani di desa Wates Kecamatan Sumbergempol, Turmudi (42) mengatakan turunnya harga cabai tersebut sudah berlangsung sejak tiga bulan yang lalu secara bertahap. "Tiga bulan lalu masih di kisaran Rp 20 ribu, biasanya di bulan begini hingga tahun baru terus merangkak naik. Namun, ternyata harga mandek di angka Rp 10 ribuan," ujarnya.
Baca Juga : Punya Kopi Songgoriti, Dinas Pariwisata Launching Kopi Ceret Ireng, Ngopi Asyik di Kebun
Selain harga yang murah, perawatan cabai rawit juga susah dan membutuhkan biaya yang mahal. "Iklim yang kurang bersahabat, banyak daun cabai menjadi keriting. Tapi harus bagaimana lagi petani tak bisa berbuat apa-apa," kata Turmudi, Selasa (01/09/2020).
Ia mengaku mengalami kerugian yang cukup besar dengan penjualan cabai yang hanya Rp 9.000 tersebut. Karena biaya perawatan dan ongkos kerja panen yang cukup mahal.
Senada dengan Turmudi, Kolisan (40) warga desa Mirigambar Kecamatan Sumbergempol juga mengeluh akibat harga yang tak kunjung berubah selama tiga bulan terakhir. "Ya merugi, nanti kalau unduh bayar tukang unduh juga, dapatnya petani apa?," keluhnya.
Harga yang ideal bagi petani di atas Rp 20 ribu rupiah per kilogram, agar biaya tanam, perawatan dan panen dapat memadai dan tidak merugi.
Baca Juga : 50 Koperasi Dapat Bantuan Rp 750 Juta, 1.274 Koperasi Lain Cuma Bisa Gigit Jari
Jika dalam situasi cabai mahal, pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar para petani berharap sebaliknya jika harga murah pemerintah harus mampu mengupayakan harga yang ideal agar petani tidak mengalami kerugian.