Siapa tak kenal dengan kopi? Minuman berwarna hitam dengan cita rasa pahit. Namun pahitnya kopi justru sangat dinikmati dan banyak dicari hingga saat ini. Tak ayal, kopi pun telah menjadi gaya hidup. Berbagai kreasi dari kopi pun, baik berupa makanan dan minuman, saat ini mudah ditemukan. Pun dengan berbagai campuran minuman kopi, seperti susu atau krimer untuk memberikan rasa berbeda.
Beragam kreasi dan campuran kopi ini pun terjadi di Tulungagung. Selain kopi ijo yang menjadi minuman khas Tulungagung, kini muncul jenis nama kopi lainnya yang tak kalah unik dan tentunya bercita rasa lebih ‘nendang’.
Baca Juga : Warung Mbok Udi, Obati Rindu Kuliner Khas Jogja
Kopi Tulungagung ini disebut kopi kayu. Tentunya, sebutan kopi khas Tulungagung satu ini bukan karena kopi yang dicampur dengan kayu atau arang kayu.
Kopi kayu disini adalah kopi yang seluruh prosesnya dibuat dengan peralatan kayu. Mulai dari memasaknya hingga menumbuknya.
Proses menyanggrai kopi dilakukan dengan cara tradisional, dengan wajan dari tanah liat. Api untuk menyanggrai juga berasal dari tungku kayu bakar, bukan dengan kompor gas. Selanjutnya kopi yang sudah disangrai ditumbuk dengan lumpang dan alu yang juga terbuat dari kayu.
Berbeda dengan kopi yang biasanya halus, proses penumbukan kopi dibuat agak kasar, demi alasan mempertahankan cita rasa tradisional atau kopi tubruk.
Uniknya lagi, air untuk kopi dimasak dalam panci tembaga di atas tungku dengan bahan bakar kayu.
“Pancinya harus dari tembaga, pakai kayu bakar, rasanya beda,” ujar Siti Marsiah, penjual kopi kayu yang berada di Jalan Raya Tulungagung-Trenggalek, di Desa Jarakan, Kecamatan Gondang.
Alasan penggunaan panci tembaga dan kayu bakar menurut Siti air lebih masak sehingga cita rasa kopi lebih “nyampleng” atau terasa.
Setiap hari, Siti mengaku bisa menjual ratusan cangkir kopi kayu dengan harga 3 ribu per cangkir.
“Ratusan cangkir setiap harinya,” tuturnya.
Baca Juga : Lezatnya Kudapan Manis Donat Italia, Bomboloni
Usaha kopi kayu merupakan usaha turun-temurun dari neneknya. Usaha ini dimulai tahun 1991 oleh neneknya Mbah Mukin. Lalu berlanjut ke anaknya Suparmi yang merupakan ibu dari Siti.
Salah satu pengunjung warung kopi, Nasrul warga Ngantru mengaku sering ngopi di tempat ini. Selain harganya murah, cita rasa kopi kayu berbeda dengan kopi lainnya.
“Kalau bisa dibilang rasa dan aromanya lebih nendang,” ujar Nasrul.
Sementara itu Kades Jarakan, Suad Bagio menuturkan, usaha warung ini merupakan salah satu potensi desanya.
Sebagai Kades, dirinya mendukung berkembangnya usaha warung kopi ini. “Kita bisanya mendukung agar potensi yang ada bisa berkembang,” pungkasnya.