Ribuan korban telah jatuh akibat merebaknya wabah pes di wilayah Malang.
Wilayah-wilayah lain, terutama daerah sekitar pun ketakutan jika virus itu terbawa dan ikut menyerang warga.
Baca Juga : Berkah Ramadan, BEM Unisba Blitar Aksi Sosial Berbagi Nasi Gratis kepada Masyarakat
Pada tanggal 31 Maret 1911 Residence Surabaya menutup akses jalan utama Surabaya-Malang melalui Pacet.
Kebijakan tersebut di ikuti sejumlah kota lainnya seperti Kediri dan Pasuruan.
Tak hanya penutupan akses jalan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga memerintahkan penutupan jalur KA yang melewati Malang.
Dirinya juga menerjunkan personel militer agar upaya tersebut dipatuhi oleh warga.
“Tahun 19 itu De Vogel Direktur Burgelijke Geneeskundige Dienst (BGD) Dinas Kesehatan Masyarakat yang baru didirikan bersamaan dengan wabah pes di Malang, meminta pemerintah untuk mengisolasi Kota Malang,” jelas Syefri.
Permintaan tersebut akhirnya disetujui oleh Pemerintah Kolonial.
Bahkan tak tanggung-tanggung, selama proses isolasi tersebut dijaga oleh militer di setiap pintu masuk.
Juga dilakukan upaya penyemprotan disinfektan pada setiap kereta yang tiba dan pergi dari dan ke Malang.
“Setiap orang yang masuk dan keluar tidak diizinkan, kalau memaksa ditembak oleh pihak militer,” beber Syefri.
Isolasi wilayah Malang berlaku dalam kurun waktu relatif lama, yakni selama 1 tahun mulai 1911-1912.
Saat itu, banyak pihak yang meminta agar proses isolasi dihentikan.
Seperti misalnya para pengusaha perkebunan, mereka mengeluh karena kekurangan kuli untuk mengerjakan panen tebu, tembakau dan lain-lain.
Hal tersebut akhirnya menjadi dasar untuk membuka wilayah Malang dari isolasi.
Tercatat pada 1911, korban yang berjatuhan dari wabah pes mencapai 2.000 korban.
Sedangkan pada tahun 1913, angkanya melonjak mencapai angka korban 11 ribu korban di wilayah Malang dan sekitarnya.
Dengan tidak ampuhnya cara tersebut, pemerintah Kolonial akhirnya menggunakan cara radikal dengan menerapkan karantina skala besar.
Bagi siapapun masyarakat yang terjangkit virus, harus meninggalkan rumah asalnya dan menempati barak sementara dan kompleks penampungan.
Pemerintah juga memfasilitasi masyarakat dengan memberikan pakaian baru.
Pakaian lama mereka harus ditanggalkan dan dibakar guna memutus penyebaran wabah virus tersebut.
Pemerintah Kolonial juga mendatangkan vaksin pes dari India meski belum diketahui efektivitas dari vaksin tersebut.
Baca Juga : Pastikan Pelaksanaan Protokol Kesehatan, Kapolda Jatim Sidak Kawasan Industri
Pada tahun 1911, kemunculan kasus mencapai angka 2.300 dengan 2.100 pasien meninggal dunia.
Artinya, sekitar 90 persen orang yang terjangkit pes tidak berhasil selamat.
Semakin bertambahnya angka tersebut dibarengi dengan masyarakat yang minim paham akan penanganan wabah virus di masyarakat.
Misalnya, penderita pes dikucilkan dan ada juga orang yang terjangkit malah dibiarkan tergeletak di bawah pohon hingga meregang nyawa.
Korban virus pes umumnya masyarakat Bumiputera, Arab, Tionghoa dan Eropa.
Wabah tersebut sangat ironis karena pada masa itu di Hindia Belanda sedang berlangsung Politik Etis atau Politik Balas Budi.
Sayangnya, dalam Politis Balas Budi ini tidak memasukkan kesehatan sebagai unsur pertama fokus kerja pemerintah Kolonial.
Hingga akhirnya wabah merambah ke Kediri dan Surabaya.
Pada tahun 1915, wabah menjangkit ke Solo dan Pulau Madura.
Wabah ini sempat mereda pada tahun 1916.
Namun tidak berselang lama, 3 tahun kemudian yakni tahun 1919-1928 wabah pes kembali meluas di pegunungan Ungaran, Sindoro, Sumbing dan Merapi.
Menurut Restu Gunawan, seorang sejarahwan, wabah tersebut dipengaruhi oleh urbanisasi dan pergerakan orang.
Wabah pes mengalami 4 gelombang penyebaran.
Yakni yang pertama melalui Pelabuhan Surabaya, Pelabuhan Semarang, Pelabuhan Tegal, dan pada tahun 1924 melalui Pelabuhan Cirebon.
Disebut-sebut, korban yang jatuh mencapai hampir 250 ribu orang pada waktu itu.
Lantas seperti apa pengaruh wabah ini terhadap kehidupan masyarakat dan pemerintahan?