Wabah pes menjadi salah satu penyakit paling mematikan di Jawa selama masa pendudukan Hindia Belanda.
Penyakit yang menyebar akibat bangkai kutu tikus yang ada di beras impor dari Myanmar itu menewaskan ribuan orang dalam kurun satu tahun.
Baca Juga : Selebtweet Ikram Marki Kritik Masyarakat yang Bandel Keluar Rumah buat Beli Baju Lebaran
Wilayah Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur menjadi kluster pertama mewabahnya virus pes di Pulau Jawa.
Awalnya, penyakit ini diketahui setelah ada sebanyak 17 orang terinfeksi pes hingga meninggal dunia.
“Karena wilayah Malang saat itu udara lebih dingin. Menurut catatan saya, kalau malam hari saja bisa sampai 14-16 derajat,” ujar Syefri Luwis, seorang peneliti alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI).
Syefri menjelaskan, bahwa suhu dingin tersebut menyebabkan tikus-tikus yang bersembunyi dalam beras impor Myanmar justru menjadi semakin sehat.
Ditambah dengan perumahan masyarakat yang saat itu masih berdinding bambu atau gedek.
Dinding bambu itu dimanfaatkan oleh tikus-tikus untuk membuat sarang.
“Ketika tikus mati kemudian kutu tikus jatuh atau mencari inang baru, menggigit manusia yang kemudian tersebarlah penyakit pes,” beber Syefri.
Akibat minimnya informasi mengenai pes, pemerintah Kolonial tidak mempercayai bahwa virus tersebut sudah merebak di Malang.
Hingga pada akhir Maret 1911, sebuh laboratorium medis Kolonial menerima sampel darah korban yang meninggal akibat virus pes.
Setelah diteliti, ternyata sampel darah tersebut terkontaminasi bakteri Yersinia Pesis.
Guna memutus persebaran virus pes, Inspektur Kepala Dinas Kesehatan Sipil Hindia Belanda Dr. The Vogel, The Vogel merumuskan panduan memberantas pes di Malang.
Panduan itu tertuang dalam Journal of Hygine.
Panduan tersebut di antaranya perburuan tikus, pengawasan lalu lintas, isolasi penderita pes, hingga sterilisasi atau pembakaran rumah warga yang terjangkit penyakit pes.
Untuk memaksimalkan pemberantasan virus di Malang, pemerintah juga melakukan sterilisasi rumah warga yang terjangkit pes dengan melakukan penyemprotan disinfektan dan pengasapan dengan belerang.
Baca Juga : Masih Ngotot dan Bandel Buka, Petugas PSBB Siap Tindak Toko di Kota Malang
Dinas Kesehatan Sipil juga sempat mengkampanyekan Gerakan Perburuan Tikus dengan iming-iming imbalan.
Namun, gerakan tersebut tidak cukup berhasil karena virus sudah merebak begitu luas.
Bahkan, barak yang digunakan untuk isolasi masyarakat yang terjangkit virus pes sudah menjadi pemandangan umum di Malang.
Fx Domini BB Hera, peneliti di Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya berpendapat bahwa saat terjadinya wabah pes di Malang tersebut, kehidupan pemerintahan yang berlangsung pada masa itu sangat elitis.
“Ketika wabah pes terjadi, cara komunikasi pemerintah terhadap masyarakat umum bisa dikatakan itu adalah pemerintahan yang berbasis kehidupan yang elitis,” tuturnya.
Elitis karena yang bisa menebus pendidikan, termasuk untuk menjadi seorang dokter hanyalah mereka yang memiliki latar belakang ekonomi berkecukupan.
Sedangkan yang menjadi korban dari virus tersebut kebanyakan adalah masyarakat umum dari golongan ekonomi rendah.
Mereka umumnya tidak memiliki penghasilan tetap, seperti kaum tani dan kaum buruh.
Sehingga, dari segi bahasa maupun pengertian mengenai dunia kesehatan masih sangat minim.
Pada saat itu, jumlah warga yang meninggal akibat pes hampir mencapai 250 ribu orang.