Selain memiliki potensi besar di sektor kebudayaan dan pariwisata, Kabupaten Malang juga memiliki banyak destinasi bersejarah. Sakah satunya Monumen Peniwen Affair yang berlokasi di Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan. Di sana, berdiri kokoh monumen bersejarah bagi perjuangan PMI (Palang Merah Indonesia).
“Monumen semacam ini hanya ada dua di dunia. Salah satunya ada di Indonesia. Tepatnya di Desa Peniwen,” kata Camat Kromengan Joanico da Costa saat ditemui usai Kegiatan Pembinaan Wisata Desa Peniwen, Selasa (14/5/2019) siang.
Monumen ini memiliki tinggi sekitar 7 meter. Tampak patung dua orang pejuang di ujungnya. Patung tersebut seolah menjadi simbol perjuangan anggota PMI di Malang, yang 12 di antaranya gugur karena dibantai Belanda saat masa perang pasca-kemerdekaan Indonesia. “Dalam perjuangannya, 12 anggota PMI dinyatakan gugur. Guna mengenangnya, dibuatlah Monumen Peniwen Affair pada 11 Agustus 1983 silam,” terang pejabat yang akrab disapa Nico ini.
Aksi pertumpaham darah tersebutterjadi sejak 16 Januari 1949. Ketika itu, Belanda masuk ke kawasan Desa Peniwen untuk kali pertama. Maksud kedatangan Belanda adalah untuk melancarkan aksi kekerasan dan kekejaman terhadap masyarakat sekitar.
Pada 31 Januari 1949, Belanda kembali ke Peniwen. Tujuannya adalah menggali informasi akan basis pertahanan negara Indonesia. Namun, meski disandera, kepala desa Peniwen kala itu memilih untuk tutup mulut.
Merasa buntu, Belanda akhirnya melakukan aksi brutal. Mereka melakukan penyisiran dari arah barat Desa Peniwen sembari memberondong senjata api. Insiden brutal yang terjadi pada 19 Februari 1949 ini juga menyasar salah satu rumah sakit di Peniwen.
Akibat peristiwa tersebut, 12 remaja anggota PMI gugur. Mereka adalah Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, J. W. Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Soewan, Nakrowi, dan Soedonono. Lima warga sipil bernama Wagimo, Rantiman, Twiandoyo, Sriadji, dan Kemis juga meninggal dunia karena aksi brutal Belanda.
Tidak berhenti di situ. Perbuatan tidak manusiawi juga menimpa tiga perempuan umat Kristiani di Peniwen. Mereka adalah Inwinarni, Tremini, Supriyanti. Ketiganya menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Aksi teror yang dilakukan Belanda ini terus berlangsung hingga November 1949.
“Monumen yang memiliki nilai sejarah panjang ini bakal lebih dikembangkan potensinya untuk dijadikan objek wisata,” sambung Nico kepada MalangTIMES.
Nico mengaku sudah menjalin kerja sama dengan beberapa instansi pendidikan. Salah satunya dengan perguruan tinggi yang ada di Surabaya dan Malang. “Kami juga sudah berkolaborasi dengan Disparbud (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) Kabupaten Malang guna memaksimalkan potensi wisata yang ada di Kecamatan Kromengan,” imbuh Nico.
Sejauh ini, jika di rata-rata, dalam satu pekannya, ada lebih dari 100 wisatawan yang berkunjung ke Peniwen. Selain berkunjung ke Monumen Peniwen Affair, para wisatawan juga menyempatkan diri ke GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) di Desa Peniwen. “Jumlah pengunjung paling banyak saat memasuki akhir pekan. Bahkan ratusan home stay yang disediakan masyarakat juga selalu ramai dijadikan jujukan peristirahatan bagi wisatawan,” ungkap Nico.