Kediri Bukan Hanya Gudang Garam, Warisan Tan Khoen Swie dalam Dunia Sastra Jawa
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Yunan Helmy
26 - Sep - 2024, 08:25
JATIMTIMES - Ketika berbicara tentang Kediri, sebagian besar orang mungkin langsung teringat pada nama besar Gudang Garam, perusahaan rokok yang menjadi ikon kota ini.
Namun, jauh sebelum nama tersebut dikenal luas, ada sosok lain yang turut memberikan kontribusi besar terhadap kebudayaan Jawa, khususnya melalui sastra. Dia adalah Tan Khoen Swie, seorang penerbit buku yang tidak hanya berbisnis, tetapi juga merawat dan menyebarkan kekayaan budaya Jawa melalui literasi.
Baca Juga : Tips Umur Panjang ala Dokter Hans Tranda, Ternyata Cukup Gunakan Rumus 4J
Kisahnya merupakan bukti bahwa Kediri bukan hanya dikenal karena rokok, tetapi juga berkat kontribusi intelektual yang begitu berharga.
Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar Indonesia, pernah menulis: “Kamu boleh pintar setinggi langit, tapi kalau kamu tidak menulis, maka kamu akan hilang dari ingatan masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ungkapan tersebut menggambarkan pentingnya menulis untuk menjaga ingatan, sejarah, dan warisan budaya.
Namun, menulis saja tidak cukup. Tulisan-tulisan itu harus diterbitkan dan disebarluaskan agar dapat mencapai khalayak yang lebih luas, dan di sinilah peran penerbit menjadi penting. Pada masa kolonial Hindia Belanda, penerbitan buku bukanlah hal yang mudah, apalagi bersaing dengan Penerbit Balai Pustaka yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah kolonial. Namun, seorang Tionghoa bernama Tan Khoen Swie memberanikan diri untuk terjun ke dunia penerbitan, tidak dengan kata-kata sok nasionalis, tetapi dengan tindakan nyata.
Awal Perjalanan: Dari Wonogiri Hingga Kediri
Tan Khoen Swie lahir di Wonogiri pada tahun 1884. Konon, masa kecilnya dihabiskan di kota kelahirannya dengan bekerja sebagai tukang rakit yang membantu penyeberangan di Sungai Bengawan Solo. Kehidupan sederhana di tepian sungai menjadi bagian awal dari perjalanan panjang seorang Tan Khoen Swie sebelum akhirnya menemukan takdirnya sebagai penerbit besar di Kediri. Seiring waktu, ia mulai mengembara ke berbagai kota, belajar banyak hal, termasuk menguasai bahasa Hakka, bahasa yang umum digunakan oleh komunitas Tionghoa di berbagai kota di Hindia Belanda.
Dari pengembaraan tersebut, ia bertemu dengan Liem Gio Nio, seorang gadis dari Surabaya yang kemudian menjadi istrinya. Dari pernikahan ini, Tan Khoen Swie dikaruniai tiga anak. Namun, hidupnya tidak berhenti sebagai seorang suami dan ayah...