Sarekat Islam dan Pers sebagai Alat Perjuangan Melawan Belanda
Reporter
Aunur Rofiq
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
25 - Oct - 2023, 12:15
JATIMTIMES - Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada 1830, para pasukannya yang terdiri dari bangsawan, prajurit dan abdi keraton, ulama, santri dan rakyat jelata memisahkan diri dan menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Strategi ini dipilih karena pasukan Diponegoro merasa perang melawan penjajah bangsa Eropa belum selesai.
Baca Juga : Jokowi Hingga Ketua MK Dilaporkan ke KPK, Begini Tanggapan MPR
Upaya santri dan ulama dalam melanjutkan perjuangan sang pangeran terus dilakuan dengan menyebarkan doktrin spirit perlawanan dari dalam pondok pesantren dengan cara sembunyi-sembunyi. Upaya tersebut tidak sia-sia, puluhan tahun kemudian lahir sejumlah tokoh pejuang dari rahim pondok pesantren, salah satunya Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah pemimpin pertama Sarekat Islam. Sebagai pemimpin dan tokoh berpengaruh, Tjokroaminoto banyak berhubungan dan bertukar pikiran dengan Pakubuwono X, Raja Surakarta yang mendukung Sarekat Islam sebagai alat perjuangan mewujudkan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Salah satu yang sering dibahas oleh dua tokoh ini adalah tentang strategi perjuangan kemerdekaan.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto lahir pada 16 Agustus 1882 di Ponorogo. Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Kabupaten Magetan pada saat itu.
Kakek Tjokroaminoto yaitu R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Dari garis silsilah, Tjokronegoro adalah putra dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo dengan Bra. Murtosyah, putri Sunan Pakubuwono IV.
Dari garis silsilah ini jelas, Tjokroaminoto masih punya hubungan kekerabatan dengan Pakubuwono X. Nenek Tjokroaminoto masih bagian dari keluarga keraton. Tjokroaminoto juga adalah santri dan keturunan langsung dari Kiai yang memimpin pesantren terbesar dari Ponorogo.
Setelah lulus dari sekolah rendah, Tjokroaminoto melanjutkan pendidikannya di sekolah pamong praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtrnaren (OSVIA) di Magelang. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi.
Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Tjokromaninoto pindah dan menetap di Surabaya pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin...