Tiga Tahun Duet Kepemimpinan Khofifah dan Emil, Akademisi dan Jurnalis Nilai Plus Gaya Komunikasi Keduanya
Reporter
M. Bahrul Marzuki
Editor
Yunan Helmy
14 - Feb - 2022, 04:56
JATIMTIMES - Duet kepemimpinan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan wakilnya, Emil Elestianto Dardak, telah menginjak tahun ketiga. Sejak dilantik 12 Februari 2019 lalu, keduanya memiliki janji politik yang terangkum dalam Nawa Bhakti Satya.
Tiga tahun kepemimpinan Khofifah dan Emil, menurut pakar komunikasi politik Universitas Airlangga (Unair) Dr Suko Widodo, dinilai memiliki gaya yang ekselen. Hal ini dilihat dari konteks dinamika sosial. Tidak ada konflik sosial yang besar. Dan jika terjadi demonstrasi, relatif muncul karena isu dari pusat serta bukan kebijakan daerah.
Baca Juga : Ungkap Kasus Tabrak Lari, Lima Anggota Satlantas Polres Sumenep Dapat Reward
Lebih lanjut Suko menjelaskan, Gubernur Khofifah mampu hadir di tengah masyarakat yang beragam. Komunikasinya yang tegas dan argumentatif menjadikan Khofifah dianggap sosok pemimpin yang dibutuhkan. "Komunikasinya tidak mleyak-mleyok, memiliki karakter pemimpin jalan tengah," tegas pengajar di Unair ini.
Suko melanjutkan, sejauh ini Khofifah cukup aspiratif saat menjadi pemimpin. Filsafatnya mikul duwur mendem jeru selalu mendengar sekecil apa pun suara dan merefleksikannya.
"Dia aspiratif, mampu menjaga harmonisasi dengan manajemen yang dengan baik dengan cara adil. Seperti cara Islam, tidak mempermalukan orang, tidak menghina orang. Itu style-nya. Jadi, yang diterima publik seperti itu," tegas Suko.
Sementara itu, Khofifah Indar Parawansa menuturkan, untuk menjaga harmonisasi antara media dan pemerintah dalam mendukung kinerja pembangunan di Jawa Timur, diperlukan kesamaan agenda pada ketiganya. Jika agenda pemerintah, agenda media dan agenda rakyat ini dapat dipertemukan dalam satu kepentingan bersama, maka dampaknya akan sangat luar biasa.
“Misalnya ketika kita mendorong terwujudnya desa devisa. Kalau kita tidak menemukenali satu per satu, tidak akan terjadi akselerasi. Karena desa devisa itu harus memiliki produk sendiri, memiliki keunikan, potensial marketnya besar dan harus ada kelompok,” tutur dia.
Karena potensial marketnya harus besar, lanjut Khofifah, maka di desa itu harus ada penghasil yang sama dan dalam jumlah banyak. Sehingga baru bisa diajukan ke Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“Kita punya sangat banyak keunikan itu di desa-desa. Tapi, tidak semua bisa tercover oleh pemerintah. Dan kita tahu, jejaring media ini sangat luar biasa...