JATIMTIMES - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, menyoroti keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan tetap Ketua dan Anggota KPU Kota Palopo. Dalam rapat kerja dan dengar pendapat Komisi II dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, Ahmad Irawan mempertanyakan dasar putusan tersebut dan menyinggung pentingnya rasionalitas hukum dalam menjatuhkan sanksi etik.
Dalam rapat yang digelar Senin, 14 Juli 2025 itu Ahmad Irawan memberikan perhatian khusus terhadap putusan DKPP terkait KPU Palopo dan juga menyoroti teknis daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pilkada ulang.
Baca Juga : Kerajaan Surabaya 1620: 30 Ribu Prajurit, Benteng Wali Songo dan Meriam Buatan Sendiri
Ia mengkritisi keputusan DKPP yang memberhentikan tiga komisioner KPU Palopo secara tetap karena dianggap tidak profesional dalam memverifikasi syarat calon wali kota.
"Mengenai dewan kehormatan Pak... Bapak memutus misalnya Bapak menyampaikan 3 anggota KPU Kota Palopo ini, kaitannya dengan... dianggap tidak profesional melakukan verifikasi syarat calon walikota yang dilakukan karena keaslian ijazahnya," ujar Irawan, dikutip YouTube resmi TVR Parlemen, Selasa (15/7/2025).
Ia mempertanyakan apakah DKPP sudah benar-benar yakin dengan pelanggaran yang terjadi dan menekankan bahwa pemutusan keabsahan dokumen seperti ijazah harus berdasarkan pembuktian hukum, bukan sekadar asumsi.
"Jangan sampai dijatuhi sanksi kode etik bersifat tetap tapi sebenarnya terhadap permasalahan yang tidak memiliki rasio legis, tidak memiliki alasan hukum yang cukup untuk diberhentikan. Karena mereka ini kan administratur pemerintahan," tegasnya.
Menurutnya, status verifikasi syarat calon seperti ijazah harus didasarkan pada keputusan hukum tetap, bukan sekadar penilaian subjektif.
Selain menyoroti putusan DKPP, Irawan juga menyinggung masalah daftar pemilih dalam Pilkada ulang di beberapa daerah. Ia mempertanyakan penyesuaian jumlah pemilih di daerah seperti Bangka dan Pangkalpinang, yang tidak sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut daftar pemilih harus mengacu pada DPT Pilkada 27 November 2024.
"Kalau kita ikut putusan Mahkamah Konstitusi amarnya yang 27 November, seharusnya daftar pemilih tetapnya sekitar 164.330. Yang terbaru, sesuai berita acara yang Bapak Ibu sampaikan kepada kami, itu sekitar 159.016," ujarnya.
Ia juga meminta kejelasan apakah data tersebut sudah dikonsultasikan kepada MK agar tidak memicu persoalan hukum baru di kemudian hari.
"Karena jangan sampai Mahkamah Konstitusi nanti mengatakan ini pelaksanaan Pilkada-nya tidak sesuai dengan amar putusannya karena daftar pemilihnya berbeda," lanjutnya.
Namun, Irawan juga memahami adanya dinamika kependudukan yang bisa menyebabkan perubahan DPT.
"Karena logika aja, tidak mungkin tidak ada pertambahan atau perubahan data pemilih yang sifatnya dinamis... yang umur 16 tahun kan nggak mungkin umurnya berhenti dari putusan MK. Bisa bertambah jadi 17 tahun, ada juga penduduk yang menikah pasca putusan MK yang secara undang-undang itu memenuhi syarat sebagai pemilih," jelasnya.
Baca Juga : Bus Sugeng Rahayu Tabrak Pantat Truk di Jombang, Sopir Terjepit
Dalam rapat tersebut, Irawan juga mengingatkan potensi kericuhan di lapangan jika terjadi perbedaan data pemilih di TPS.
"Kalau kompetisinya panas, pertambahan 1-2 pemilih saja di setiap TPS, orang bisa bertengkar Pak. Karena bisa jadi yang satu bilang begini, 'Kan ini bukan Pilkada reguler, tapi putusan MK, jadi harus berpegang pada DPT lama'," ujarnya.
Menurutnya, selisih daftar pemilih sekecil apa pun dapat menimbulkan konflik jika tak dijelaskan secara transparan sejak awal. Karena itu, Irawan menekankan pentingnya koordinasi antarlembaga penyelenggara pemilu.
Irawan juga menyoroti kasus di Barito Utara di mana Ketua PPK Teweh Tengah dijatuhi sanksi peringatan akibat adanya pemilih yang menggunakan hak suara lebih dari satu kali.
"Saya memahami PPK itu melakukan rekapitulasi tingkat kecamatan. Yang ada di TPS itu adalah KPPS atau pengawas TPS. Kalau dia memilih lebih dari satu kali, berarti yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah yang di TPS itu, KPPS yang melaksanakan absensi misalnya dan bisa meloloskan lebih dari satu kali," jelasnya.
Ia mempertanyakan logika DKPP memberikan sanksi kepada PPK, padahal kesalahan terjadi di tingkat TPS.
Di akhir pernyataannya, Ahmad Irawan menambahkan satu catatan penting dan mempertanyakan lingkup kewenangan DKPP.
"Apakah benar dewan kehormatan juga menangani pengaduan PPPK? Jangan-jangan sampai KPPS juga masuk," ujarnya.
Pertanyaan itu menunjukkan keprihatinan Ahmad atas kemungkinan pelebaran wewenang DKPP yang bisa berujung pada ketidakjelasan peran antarpenyelenggara teknis di lapangan.