JATIMTIMES - Dalam sejarah pers Indonesia, nama Carl Friedrich Winter bukanlah sosok yang populer di arus utama, namun posisinya sangat strategis. Ia bukan sekadar penerbit, tetapi juga intelektual kolonial yang memilih bahasa Jawa sebagai alat perlawanan kultural terhadap dominasi Belanda.
Kiprah Winter melalui koran Bromartani, yang terbit pertama kali pada 25 Januari 1855, merupakan tonggak penting dalam perkembangan pers lokal dan nasionalisme berbasis budaya di tanah Jawa.
Baca Juga : WOODZ Dijadwalkan Selesai Wamil 21 Juli, MOODZ Bersiap Sambut Kembalinya Sang Idola
Surakarta sebagai Ruang Politik Kultural
Pada pertengahan abad ke-19, Surakarta menempati posisi unik sebagai pusat kebudayaan Jawa sekaligus tempat eksperimen kolonial dalam bidang administrasi, pendidikan, dan media. Ditetapkannya Undang-Undang Pers tahun 1854 oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi titik awal pelonggaran sensor, yang memberi ruang lahirnya media lokal. Dalam konteks inilah Carl Friedrich Winter dan putranya, Gustaaf Winter, menerbitkan Bromartani dengan bahasa krama inggil—tingkatan tertinggi dalam strata linguistik Jawa.
Pilihan bahasa tersebut bukan keputusan netral. Di tengah maraknya koran berbahasa Belanda seperti De Locomotief atau De Nieuwe Vorstenlanden, Bromartani tampil sebagai suara tandingan yang memperkuat wacana lokal dan memperluas ruang artikulasi budaya Jawa. Dalam pengantar edisi perdana, disebutkan bahwa Bromartani bertujuan menyampaikan berita, pengetahuan alam, cerita, serta pengumuman resmi kepada para bangsawan dan masyarakat Jawa yang memiliki kemampuan baca-tulis.
Ideologi di Balik Bahasa
Carl Friedrich Winter memahami bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga medan ideologis. Dengan memilih bahasa Jawa, ia turut menanamkan identitas dan kebanggaan lokal di tengah tekanan kolonial. Pers Jawa menjadi semacam bentuk diplomasi kultural, yang memungkinkan elite lokal dan pujangga keraton menyalurkan gagasan mereka tanpa harus tunduk pada format narasi kolonial.
Tak heran jika Bromartani mendapatkan apresiasi dari Keraton Surakarta, terutama pada masa Pakubuwono VII dan kemudian Pakubuwono X. Dalam catatan Margana (2004), pihak keraton bahkan menempatkan Carl Friedrich Winter dan Gustaaf Winter sejajar dengan pujangga kraton seperti Ranggawarsita. Keduanya dianggap sebagai "Javanisi"—orang non-Jawa yang fasih dan loyal terhadap kebudayaan Jawa.
Masa Sulit dan Reinkarnasi Bromartani
Namun perjalanan Bromartani tidak selalu mulus. Pada 23 Desember 1856, redaksi mengumumkan penghentian sementara penerbitan karena keterbatasan pembaca dan masalah produksi. Tingkat buta huruf yang masih tinggi di kalangan masyarakat menyebabkan distribusi berita belum sepenuhnya efektif. Baru pada tahun 1865, Bromartani lahir kembali setelah sebelumnya sempat berganti nama menjadi Joeroe Martani pada 1864.
Fase baru Bromartani ini menandai ekspansi modal dan strategi bisnis media. Carl Friedrich Winter Jr. menjalin kongsi dengan pemodal dari Semarang, yang sebelumnya menerbitkan De Locomotief. Hubungan ini memungkinkan Bromartani bertahan hingga 1932. Reinkarnasi ini pun terjadi atas anjuran Pakubuwono X yang melihat pentingnya media dalam menyebarluaskan ide "nasionalisme Jawa"—yakni semangat kebangsaan yang berakar pada budaya dan sejarah lokal.
Simbolisme Politik dan Jaringan Kekuasaan
Dalam beberapa edisi, Bromartani memuat laporan mendalam mengenai prosesi pengukuhan Sultan Hamengkubuwono VI di Yogyakarta, yang tidak hanya bernilai berita, tetapi juga simbolik. Dengan menyebarkan prosesi ini, Bromartani turut mengonstruksi narasi kebangsawanan Jawa sebagai kekuatan politik dan spiritual yang berkelanjutan.
Pers ini juga berfungsi sebagai instrumen diplomasi antara keraton dan pemerintah kolonial. Pakubuwono X secara sadar memanfaatkan media ini untuk membangun citra sebagai raja modern yang melek teknologi dan komunikasi. Di sisi lain, redaksi Bromartani memperoleh akses eksklusif terhadap informasi-informasi penting, termasuk keputusan politik dan peristiwa budaya yang bernilai strategis.
Dari Bromartani ke Konstelasi Media Surakarta
Bromartani bukanlah satu-satunya media berbahasa Jawa yang eksis di Surakarta. Dalam periode 1855–1932, kota ini menjadi lumbung media lokal yang berkembang pesat. Nama-nama seperti Jawi Kandha, Jawi Hiswara, Cakrawarti, hingga Sesuluh menjadi bagian dari konstelasi media yang membentuk kesadaran kritis masyarakat Jawa.
Media-media tersebut, meski didirikan oleh orang Eropa seperti Albert Rusche & Co, kerap dikelola oleh intelektual lokal seperti Ki Padmasusastra dan Raden Dirja Atmaja. Bahkan, keterlibatan pujangga dan elite keraton menegaskan bahwa media bukan sekadar usaha dagang, melainkan wahana intelektual yang turut membentuk arah gerakan kebudayaan dan politik masyarakat Jawa.
Kebangkitan Nasional dan Warisan Media
Memasuki awal abad ke-20, terutama antara 1905–1930, Bromartani mengalami revitalisasi. Masa ini bertepatan dengan tumbuhnya kesadaran nasional di kalangan pribumi. Pers lokal menjadi wahana efektif dalam membangun opini, menyampaikan kritik, dan menyuarakan aspirasi. Meskipun Bromartani tetap memakai bahasa Jawa, dampaknya merambah ke seluruh lapisan masyarakat elit dan menengah yang sedang menggali kembali identitas kulturalnya.
Menurut riset Anindityo Wicaksono, pada masa kepemimpinan Pakubuwono X jumlah media di Surakarta mencapai 110, dan 69 di antaranya tercatat aktif antara 1858–1939. Ini menunjukkan betapa besar peran kota ini sebagai pusat dinamika intelektual dan kultural, yang salah satu lokomotif awalnya adalah Carl Friedrich Winter.
Warisan Kultural dan Historiografi Kritis
Dari sudut pandang historiografi kritis, peran Carl Friedrich Winter patut diletakkan dalam kerangka resistensi kultural terhadap kolonialisme. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi menulis dalam bahasa Jawa untuk melawan dominasi budaya dan epistemologi Barat. Pilihan ini bukan tindakan pasif, melainkan strategi subtil yang berdampak panjang dalam formasi identitas kolektif bangsa.
Dalam narasi besar perjuangan Indonesia, sering kali hanya mereka yang bersenjata yang dikenang sebagai pahlawan. Namun sejarah juga ditulis oleh mereka yang memilih huruf sebagai senjata dan koran sebagai medan perang. Carl Friedrich Winter adalah satu di antaranya.
Baca Juga : Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Ngawi Menumbuhkan Literasi Budaya Lokal Lewat Bimtek
Melalui Bromartani, ia memberi tempat bagi suara-suara yang tak terdengar, membangun jembatan antar-elite Jawa, dan memperluas horizon budaya nasional. Jejaknya melintasi abad dan menjadi fondasi penting bagi perkembangan pers, kebudayaan, dan nasionalisme di Indonesia.
Carl Friedrich Winter: Jembatan Jawa–Belanda di Balik Legiun Mangkunegaran
Pada paruh kedua abad ke-19, sejarah Mangkunegaran mencatat kemunculan sebuah model modernitas militer yang unik: Legiun Mangkunegaran, pasukan elite bercorak disiplin Eropa namun dibingkai dalam bahasa, tembang, dan pranata Jawa. Di balik barisan serdadu yang berbaris tegap di alun-alun istana, berdiri sosok yang nyaris dilupakan dalam arus besar sejarah kolonial: Carl Friedrich Winter (1799–1859).
Carl bukan bangsawan Jawa, melainkan putra Johannes Wilhelmus Winter, penerjemah resmi bahasa Jawa di Kesultanan Yogyakarta yang kemudian hijrah ke Surakarta pada awal abad ke-19. Sejak kecil Carl dididik langsung oleh ayahnya, tanpa sekolah formal Eropa, tetapi justru mengakrabi naskah Kawi, tutur lisan priyayi, dan kosa kata keraton. Catatan menyebut, pada usia 19 tahun — sekitar 1818 — Carl sudah diangkat sebagai asisten penerjemah resmi di Surakarta. Sejak itu, aksesnya pada naskah kuno dan diskursus para pangeran Jawa terbuka lebar.
Kariernya menanjak pesat. Tahun 1828 ia tercatat bekerja di catatan sipil Surakarta, lalu setahun kemudian menjabat Direktur Institut Bahasa Jawa. Lembaga ini mendidik para pegawai Binnenlands Bestuur — birokrat Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda — agar fasih berbahasa Jawa sebelum diterjunkan ke lapangan. Namun pada 1843, institut ini ditutup. Pemerintah kolonial lalu memindahkan pelatihan ke Delft, Belanda. Ironisnya, Profesor Taco Roorda di Delft pun tetap meminta bantuan Carl sebagai narasumber lokal. Di sinilah Carl menunjukkan posisinya sebagai jembatan pengetahuan Jawa–Belanda yang tidak tergantikan.
Persahabatan Carl dengan Raden Mas Ario Gondokusumo — kelak dikenal sebagai Mangkunegara IV — adalah simpul penting yang menandai peralihan Mangkunegaran ke era modern. Sumber mencatat, Gondokusumo kerap mendatangi kediaman Carl tanpa perjanjian resmi (aafspraak). Di ruang tamu sederhana itulah Carl kerap membentangkan kamus Bahasa Jawa karyanya, mendiskusikan aksara Kawi, atau membacakan tembang lawas. Gondokusumo terpesona, menilai Carl layaknya pujangga Jawa tulen meski berkulit Eropa.
Persahabatan lintas ras dan status sosial ini berbuah karya monumental: Serat Panji Wulung. Menurut catatan Mangkunegara V, naskah ini ditulis atas permintaan Carl agar dapat dijadikan tembang pegangan di sekolah-sekolah Mangkunegaran. Di bawah kepemimpinan Gondokusumo, sastra dan spiritualitas Jawa melebur dengan visi modernitas — menghasilkan puluhan karya lain seperti Serat Wedhatama, Babad Wanagiri, hingga Piwulang Wirawiyata. Sebagian besar muncul dalam dekade persahabatan mereka, menunjukkan bagaimana etos kejawaan justru dirangkai melalui dialog lintas budaya.
Karya Carl yang paling berdampak adalah Layang Pranatan Soldat Sekul, sebuah buku panduan militer yang mendasari pendirian Sekolah Serdadu (Soldat Sekul) Legiun Mangkunegaran pada 1855. Pada masa keemasan Mangkunegara IV, legiun ini berdiri sebagai pasukan tangguh, memadukan baris-berbaris ala Eropa dengan nilai wirya Jawa. Carl menerjemahkan instruksi Belanda secara cermat ke dalam Jawa, bahkan menuliskannya dengan gaya tembang agar mudah dihafal para prajurit.
Dalam Soldat Sekul, tertulis detail cara berdiri prajurit (Adege Saradhadhu), posisi kepala (anggone endhas nengen utawa ngiwa), cara memegang senapan, hingga prosedur mengisi peluru dalam dua belas langkah (Ngiseni bedhil iki kaprinci ing laku 12). Tiap gerakan diiringi terminologi Eropa yang diterjemahkan secara fonetik: Hup rekes, Setat, Gip ah (Geef Acht). Bagi Legiun Mangkunegaran, teks ini menjadi standar kedisiplinan, sekaligus penanda bagaimana instrumen militer Barat dijiwai roh prajurit Sambernyawa.
Sistem lungguh pun diberlakukan: para perwira legiun diberi tanah satu jung dan gaji sepuluh gulden per bulan. Namun tanah ini tidak diwariskan. Kebijakan ini menjaga loyalitas prajurit pada Mangkunegara, bukan pada garis keturunan semata.
Kontribusi Carl Friedrich Winter tak hanya teknis, melainkan ideologis. Ia menjadi perantara gagasan Barat yang tidak membunuh identitas Jawa, melainkan memodifikasinya agar sanggup bernegosiasi dengan kolonialisme. Dari Bromartani — koran Jawa pertama yang digagasnya bersama Susuhunan Surakarta — sampai teks militer Soldat Sekul, Carl menegaskan bahwa aksara dan tembang dapat meredam dominasi senapan.
Sejarah mencatat Carl meninggal pada 1859, nyaris tak tercatat dalam literatur kolonial. Namun naskah-naskahnya hidup di antara prajurit Legiun Mangkunegaran hingga masa pendudukan Jepang. Di balik barisan bedhil, ada dendam sejarah, etos spiritual, dan strategi kebudayaan: membungkus disiplin Eropa dalam tembang Jawa agar prajurit tak sekadar menjadi tentara sewaan, tetapi perisai martabat Sambernyawa.
Carl Friedrich Winter, dengan pena dan kamusnya, menjelma jembatan sunyi — jembatan yang merangkai Jawa dan Belanda di medan disiplin, sastra, dan ideologi.