Jatim Times Network
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Ketika Sang Putra Mahkota Dianggap Pengkhianat: Krisis Politik Amangkurat I dan Ekspedisi Demung 1676

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

30 - Jun - 2025, 15:19

Placeholder
Lukisan cat minyak bergaya realis menggambarkan Sunan Amangkurat I, Raja Mataram Islam sekitar tahun 1670. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pada pertengahan tahun 1676, Kerajaan Mataram berada di ambang krisis militer dan politik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah serangkaian kekalahan dalam menghadapi pemberontakan Trunajaya, Raja Amangkurat I—yang telah menua dan kehilangan sebagian besar pengaruhnya—mencoba mempertaruhkan masa depan kerajaan dengan mengutus anak-anaknya, termasuk putra mahkota Pangeran Adipati Anom (Raden Mas Rahmat), dalam sebuah ekspedisi besar-besaran ke wilayah Demung.

Namun alih-alih membawa kemenangan, ekspedisi ini justru memperlihatkan rapuhnya kekuasaan Mataram, memperuncing konflik internal, dan membuka tabir konspirasi tingkat tinggi yang menyeret para pangeran utama kerajaan ke dalam pusaran fitnah dan pengkhianatan.

Baca Juga : Siswa MAN Kota Batu Sabet Medali Perunggu Cabor Triathlon Porprov IX Jatim 2025

Menurut sumber-sumber primer seperti Babad Bedhahing Pati (BP Jilid XI), Serat Kandha, dan Daghregister VOC tahun 1676, latar belakang ekspedisi ini adalah keputusasaan raja atas kegagalan pasukan sebelumnya dan tekanan diplomatik yang makin kuat dari Belanda. Kekalahan pasukan Mataram sebelumnya, terutama gugurnya Pangeran Prawirataruna, membuat Amangkurat I murka.

Dalam keadaan marah dan sakit hati, ia mengumpulkan para pangeran di Pancaniti dan memerintahkan pembentukan pasukan baru. Pangeran Adipati Anom ditugaskan memimpin dua pertiga kekuatan Mataram yang disertai oleh Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Aria Pamot (Pangeran Singasari), serta para panglima seperti Rajamenggala, Wirapati, dan Wirajaya.

Dari sudut historiografi, keputusan menggabungkan Adipati Anom dan Pangeran Singasari dalam satu ekspedisi adalah pilihan yang berisiko tinggi. Keduanya dikenal sebagai musuh bebuyutan dalam lingkungan istana. Sejak awal, kesatuan komando itu telah dibayangi intrik dan kompetisi internal. Namun tekanan dari pihak VOC, terutama setelah kedatangan surat tajam dari Kapten Jan Franszen Holsteyn yang menuding kelambanan militer Jawa, mendorong Sunan mengambil tindakan segera. Dalam surat tertanggal 24 Juni 1676, Holsteyn menyampaikan keluhan kepada kepala daerah Jepara, Ngabei Wangsadipa, yang kemudian diteruskan ke istana. Surat itu menjadi katalis dalam pengambilan keputusan yang mengubah konstelasi kekuasaan dalam tubuh Mataram.

Respons awal datang dari Adipati Anom sendiri. Ia mengirim surat kepada Wangsadipa bahwa Sunan Amangkurat I telah memerintahkan pengerahan seluruh kekuatan militer, termasuk angkatan laut, untuk menghancurkan musuh. Namun, secara internal, keputusan itu menimbulkan kekhawatiran. Pada tanggal 30 Juli 1676, laporan Couper dari Jepara menyebutkan bahwa meskipun pasukan telah siap bergerak, Amangkurat I menarik kembali perintah keberangkatan putra mahkota. Alasan resmi yang tercatat dalam Daghregister 13 Agustus 1676 adalah kekhawatiran bahwa Adipati Anom akan menggunakan kekuatan militer untuk merebut tahta, apalagi jika ia bersekutu dengan pemberontak Makassar dan Madura.

Desas-desus mengenai niat kudeta semakin liar setelah Pangeran Singasari melaporkan kepada Raja bahwa Adipati Anom telah menghubungi orang-orang Makassar dan menghasut mereka untuk menyerang. Sunan yang telah renta dan penuh curiga memanggil putra mahkota. Dengan sumpah paling sakral, Adipati Anom menyangkal tuduhan tersebut. Ia bahkan memerintahkan dua lurah Makassar yang dicurigai, Soutabieda dan Satang Poutangh, untuk tampil di hadapan publik sebagai bentuk klarifikasi visual atas kesetiaan mereka.

Langkah ini berhasil memulihkan kepercayaan ayahandanya untuk sementara waktu. Pada akhirnya, Adipati Anom tetap diperintahkan memimpin pasukan besar ke Demung bersama saudara-saudaranya. Namun, sebagai bentuk kontrol, hak-haknya dibatasi secara ketat. Meskipun ia diberi wewenang atas rakyat di luar gerbang Mataram dan bahkan memiliki hak menjatuhkan hukuman mati, gerak-geriknya senantiasa diawasi.

Pasukan besar ini, yang jumlahnya dilaporkan mencapai 40.000 orang lengkap dengan 15 meriam dan kapal-kapal besar yang dapat menampung 100 prajurit, baru benar-benar bergerak pada awal Agustus 1676. Namun perjalanan menuju pantai utara Jawa lambat dan tersendat. Baru pada pertengahan September, mereka mencapai daerah Jepara dan Gresik. Kedatangan barisan raksasa ini justru menimbulkan krisis logistik: sawah dan ladang rusak karena diinjak-injak pasukan, dan Jepara mengalami ancaman kekurangan bahan pangan.

Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, dan Pangeran Singasari tiba lebih dahulu di Jepara pada 11 September, sementara keberadaan Adipati Anom masih belum jelas. Ketidakpastian ini kembali memunculkan spekulasi: apakah ia sengaja menunda kehadiran, atau justru menunggu waktu yang tepat untuk melakukan manuver politik?

Dari catatan Belanda dan berbagai narasi tutur, terlihat bahwa ekspedisi ini gagal mencapai tujuan strategisnya. Trunajaya tidak berhasil dilumpuhkan, sementara dinamika internal Mataram semakin keruh. Penempatan tokoh-tokoh dengan afiliasi dan agenda pribadi yang bertentangan dalam satu barisan pasukan ternyata lebih banyak menghadirkan perpecahan daripada sinergi. Secara simbolik, kegagalan ini menjadi metafora atas kegagalan sistem monarki Mataram dalam mengatasi krisis warisan dan suksesi.

Historiografi Jawa mencatat peristiwa ini bukan hanya sebagai kegagalan militer, tetapi juga sebagai momen puncak dari ketegangan istana yang kronis. Amangkurat I yang paranoid dan putra-putranya yang ambisius menciptakan panggung politik penuh jebakan. Tuduhan kudeta terhadap Adipati Anom, yang bisa jadi tidak berdasar, menjadi cerminan dari budaya politik Mataram yang sarat fitnah dan dendam turun-temurun.

Dari kacamata penulis, peristiwa ini dapat dibaca sebagai preseden yang menjelaskan bagaimana pola relasi kekuasaan dan pengkhianatan di kalangan elite Jawa telah menjadi bagian integral dari dinamika istana. Tidak ada kepercayaan mutlak antara raja dan anak-anaknya; yang ada hanya upaya saling menjatuhkan demi mempertahankan atau merebut kekuasaan. Politik dinasti yang rapuh ini pula yang kelak menjadi salah satu penyebab kehancuran Mataram dalam dekade-dekade berikutnya.

Ekspedisi Demung tahun 1676 adalah sebuah kudeta yang tertunda. Sebuah konspirasi yang tidak pernah tuntas, namun meninggalkan luka panjang dalam sejarah kerajaan Jawa. Peristiwa ini menjadi catatan penting bagaimana sistem politik feodal yang dibungkus dalam sakralitas kerajaan justru menjadi arena konflik internal yang menggerogoti wibawa dan otoritas negara dari dalam.

Dengan demikian, peristiwa ini bukan hanya soal militer, tetapi menyangkut esensi politik suksesi, legitimasi kekuasaan, dan kelindan intrik istana yang terus menghantui sejarah Mataram hingga keruntuhannya. Kudeta itu mungkin tidak terjadi secara terbuka, tetapi telah dimulai dari dalam hati para pangeran, dari dalam keraguan sang raja tua, dan dari ketakutan istana terhadap darah dagingnya sendiri.

Sunan Amangkurat I: Antara Pencerahan, Tirani, dan Kejatuhan

Baca Juga : Billiar Kota Batu Sumbangkan Medali Emas dan Perunggu

Dalam narasi sejarah Jawa abad ke-17, Sunan Amangkurat I adalah sosok yang memikul paradoks besar: ia adalah raja yang berpendidikan luas, bercita-cita menjadikan Mataram sebagai pusat peradaban, tetapi juga pemimpin yang menebar ketakutan, memenjarakan kepercayaan, dan akhirnya terseret oleh badai pemberontakan yang meluluhlantakkan kerajaannya sendiri. Ia lahir dengan nama Raden Mas Sayidin pada 24 Juni 1619, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Ratu Mas Batang, cucu dari Ki Ageng Juru Martani. Namanya kelak menjadi simbol ambisi absolut, keterputusan dari akar rakyat, dan akhir dari kejayaan Mataram lama.

Pendidikan Raden Sayidin mencerminkan obsesi Sultan Agung untuk melahirkan pewaris unggul. Ia digembleng di berbagai pesantren dan padepokan – dari Kayen Pati hingga Tegal, dari Kadilangu hingga Grobogan. Bahkan ia dikirim menuntut ilmu ke Istanbul dan Paris, menjadikannya satu-satunya raja Jawa pada masanya yang terpapar filsafat Eropa dan sosiologi Islam Ottoman. Ia sempat menunaikan haji bersama rombongan ulama dari Sumenep. Dalam kaca sejarah, Sayidin bukan putra mahkota sembarangan—ia adalah proyek peradaban Sultan Agung.

Namun setelah naik takhta tahun 1646, gelar panjangnya, Susuhunan Prabu Amangkurat Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I, justru menjadi awal dari ironi besar. Alih-alih memelihara warisan toleransi spiritual ayahnya, Amangkurat I malah memulai konsolidasi kekuasaan yang brutal. Ia memindahkan pusat kerajaan dari Karta ke Plered pada 1647, membangun istana dengan danau buatan bernama Segarayasa, parit, dan benteng setinggi tiga depa—bukan sekadar pertahanan, tapi juga simbol isolasi dari rakyatnya sendiri.

Bersamaan dengan modernisasi birokrasi dan pembangunan industri—dari pabrik trasi di Lasem hingga pelabuhan-pelabuhan di pantura—ia juga menyapu bersih para bangsawan yang dianggap membahayakan. Pangeran Alit, adik tirinya, dibunuh bersama ribuan pengikutnya. Pangeran Pekik, mertuanya, dihukum mati. Perselingkuhan politik dan intrik keluarga mewarnai masa pemerintahannya, membuat keraton Pleret menjadi semacam Versailles Jawa—megah namun penuh racun.

Namun sejarah mencatat, kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan tidak pernah bertahan lama. Raden Mas Rahmat, putranya sendiri, yang pernah dipaksa membunuh Rara Hoyi karena perintah ayahnya, kelak menjadi benih perlawanan. Rahmat, dengan dukungan Panembahan Kajoran, merancang sebuah konspirasi spiritual dan politis: mengangkat Trunajaya, menantu Kajoran dan cucu Cakraningrat I, sebagai alat untuk menghancurkan ayahnya.

Dari sumber-sumber Jawa seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, serta laporan-laporan kolonial Belanda seperti Jonge dan Meinsma, diketahui bahwa pemberontakan Trunajaya bukanlah semata-mata letupan amarah rakyat terhadap tirani. Ia adalah buah dari persekutuan elite dalam istana sendiri. Raden Rahmat, putra mahkota yang terluka oleh trauma keluarga, menjadi arsitek diam-diam dari perlawanan ini. Dendam atas kematian kakeknya, Pangeran Pekik—yang dieksekusi atas perintah Amangkurat I—mendorong Rahmat merancang konspirasi penggulingan ayahnya sendiri. Trunajaya, menantu Kajoran dan cucu Cakraningrat I, diberi dukungan dana, senjata, dan restu politik oleh Rahmat untuk menaklukkan pesisir utara, membangun basis logistik, dan mengguncang pusat kekuasaan di Pleret dari luar dan dalam.

Pada 28 Juni 1677, istana Plered jatuh. Amangkurat I melarikan diri malam itu juga, menuju barat, ditemani Rahmat yang telah membalik arah. Di perjalanan, ia sempat singgah di makam ayahnya di Imogiri, lalu diterima Ki Gede Panjer di Ambal. Di sinilah terjadi peristiwa spiritual kecil tapi penting: air kelapa tua yang diberikan oleh Ki Gede Panjer menyelamatkan nyawa sang raja. Sebagai balasan, Amangkurat I menikahkan putrinya dengan Ki Gede, mengangkatnya sebagai Kolopaking I.

Namun ajal tak bisa ditawar. Dalam pelarian menuju Batavia, Sunan Amangkurat I wafat di Desa Pasiraman, Wanayasa, pada 13 Juli 1677. Ia dimakamkan di Tegalwangi, berdampingan dengan gurunya, Ki Ageng Lembah Manah. Rahmat, yang saat itu telah menjadi Sunan Amangkurat II, kemudian menganugerahkan gelar "Prabu Amangkurat Agung" bagi ayahnya.

Warisan Amangkurat I tetap kompleks: seorang raja cerdas yang ingin membentuk nagari bahari, namun melupakan suara hati rakyat. Ia membangun sistem, namun meluluhlantakkan kepercayaan. Ia adalah penjelmaan dari raja ideal yang tersesat dalam labirin kekuasaan—dan akhirnya, justru dilahirkan kembali oleh anak yang pernah disakitinya sendiri.

 

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Serba Serbi kerajaan mataram islam sunan amangkurat 1 mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy

--- Iklan Sponsor ---