JATIMTIMES – Di tengah kemarau panjang yang mencekam, dunia kelak akan menghadapi masa-masa paling genting dalam sejarah kemanusiaan. Menjelang kemunculan Dajjal, umat manusia tak hanya diuji keimanannya, tapi juga kemampuan bertahan hidup di tengah bencana kelaparan global.
Fenomena ini bukan sekadar spekulasi. Dalam berbagai riwayat yang disampaikan Rasulullah SAW, kondisi itu dijelaskan secara rinci: resesi dunia, gagal panen, dan kematian massal ternak akibat ketiadaan air. Namun, di tengah kegentingan itu, kaum mukmin disebut tetap mampu bertahan hidup, bukan dengan makanan fisik, melainkan lewat kekuatan dzikir.
Baca Juga : Samin Surosentiko: Hikayat Sang Petani Penolak Pajak
Dalam buku Asyarah Yantazhiruhal ‘Aalam ‘Indal Muslimin wal Yahuud wan Nashaara karya Manshur Abdul Hakim, dijelaskan bahwa salah satu tanda besar sebelum munculnya Dajjal adalah memburuknya kondisi perekonomian dunia. Krisis tersebut berdampak langsung pada kehidupan manusia: hujan tak lagi turun, tanah enggan menumbuhkan tanaman, dan kelaparan pun merajalela di berbagai penjuru bumi.
Rasulullah SAW menyampaikan gambaran yang sangat kuat tentang situasi ini melalui sabda beliau yang diriwayatkan oleh Asma binti Yazid Al-Anshariyah. Beliau menjelaskan bahwa dalam tiga tahun sebelum kemunculan Dajjal, langit akan secara bertahap menahan turunnya hujan dan bumi tidak menumbuhkan hasil. Di tahun ketiga, seluruh sumber penghidupan nyaris musnah. Semua hewan ternak mati, dan manusia dilanda keputusasaan yang luar biasa.
Di tengah kelaparan hebat, Dajjal muncul membawa tipu daya. Ia menawarkan keajaiban semu yang membuat sebagian manusia tunduk, mengakuinya sebagai Tuhan. Dalam kondisi sangat lapar, siapa yang tak tergoda jika ditawari "menghidupkan" kembali orang tercinta atau ternak kesayangan?
Namun semua itu hanyalah ilusi. Dajjal memanfaatkan bantuan setan yang menyamar sebagai sosok-sosok yang dirindukan manusia. Ketika iman melemah, itulah saat paling rentan bagi manusia untuk tersesat. Di tengah rasa takut yang meliputi hati para sahabat setelah mendengar penjelasan Nabi SAW, Asma pun bertanya: “Jika makanan tak tersedia, bagaimana kaum mukmin bisa bertahan hidup?”
Rasulullah SAW menjawab, “Mereka akan cukup kenyang dengan apa yang mencukupi para penghuni langit, yaitu tasbih dan taqdis.” (HR Ahmad)
Itulah jawaban spiritual atas krisis fisik: dzikir menjadi pengganti energi, ketenangan menjadi pengganti pangan. Allah SWT memberi kemampuan kepada orang-orang beriman untuk tetap bertahan hidup hanya dengan kekuatan spiritual mereka: membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan taqdis.
Hal ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Masih Al-Muntazhar wa Nihayah Al-‘Alam karya Abdul Wahab Abdussalam Tawilah. Dalam riwayat yang dikutip, Rasulullah SAW menyebut lima bentuk dzikir sebagai “makanan” bagi kaum mukmin di masa fitnah besar tersebut.
Baca Juga : Mengejutkan, AFK Malang Terima Kekalahan dari Surabaya
Aisyah RA meriwayatkan bahwa saat para sahabat bertanya tentang “harta terbaik” dalam kondisi kelaparan di masa Dajjal, Rasulullah menjawab, “Anak yang kuat dan bisa memberi minum kepada keluarganya, karena tidak ada makanan.” Saat ditanya lebih lanjut tentang makanan kaum mukmin, beliau menjawab, “Tasbih, takbir, dan tahlil.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Hasan, Rasulullah kembali menegaskan, “Makanan kaum mukmin pada hari itu adalah tasbih, tahmid, tahlil, taqdis, dan takbir.” (HR Nu’aim bin Hammad)
Kisah ini bukan sekadar cerita apokaliptik. Ia mengandung pesan kuat tentang pentingnya membangun keteguhan iman dan keintiman spiritual dalam menghadapi masa-masa sulit. Ketika dunia fisik tak lagi memberi harapan, satu-satunya sandaran adalah kedekatan kepada Allah.
Bagi kaum mukminin, masa krisis bukan sekadar ujian kesabaran, melainkan juga kesempatan untuk meraih derajat tertinggi dalam iman. Dan ketika makanan tak lagi tersedia, kekuatan dzikir menjadi penopang utama untuk bertahan hidup dan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani.