free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Gabung Channel WhatsApp
Politik

Putusan MK Pisahkan Pemilu: Solusi Demokrasi atau Sumber Masalah Baru?

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : A Yahya

28 - Jun - 2025, 13:42

Placeholder
Ilustrasi pemisahan pemilu (Anggara/MalangTimes)

JATIMTIMES – Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini resmi memutuskan bahwa mulai Pemilu 2029, pemilu nasional dan pemilu lokal tidak lagi diselenggarakan secara serentak. Dalam putusannya, MK menyatakan pemilu lokal baru dapat diselenggarakan paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun setelah pemilu nasional berlangsung. Keputusan ini menandai berakhirnya sistem “Pemilu 5 Kotak” yang selama ini diterapkan, sekaligus membuka babak baru dalam desain demokrasi elektoral Indonesia.

Namun, di balik langkah yang disebut-sebut sebagai upaya penyempurnaan demokrasi itu, sejumlah kekhawatiran muncul dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Pakar Politik Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin, yang menilai bahwa putusan ini menyimpan tantangan besar, bahkan bisa menjadi bumerang jika tidak disiapkan secara matang.

Baca Juga : Syekh Ibrahim Asmarakandi: Ulama Samarkand, Bapak Dakwah Gisik, Ayah Sunan Ampel

Menurut Andhyka, keputusan MK ini memunculkan pertanyaan serius tentang konsistensi dan kepastian hukum. Pasalnya, Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini justru menekankan pentingnya pemilu serentak demi efisiensi dan konsolidasi demokrasi. Tanpa revisi cepat terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, ada potensi kekacauan dalam tahapan penyelenggaraan.

"Putusan MK memang final, tapi belum tentu final dari segi kesiapan hukum. Jika regulasi belum menyesuaikan, maka akan ada ruang abu-abu yang bisa memicu kebingungan dan bahkan konflik administrasi," ujar Andhyka saat dihubungi melalui WhatsApp beberapa saat lalu.

Andhyka juga menyoroti aspek logistik dan anggaran. Memisahkan pemilu berarti menggandakan proses: distribusi logistik, pengamanan, hingga tahapan teknis. Ini tentu menjadi beban berat, apalagi bagi daerah dengan keterbatasan anggaran.

Selain itu, kesiapan penyelenggara pemilu seperti KPU juga menjadi sorotan. Jika sistem informasi, SDM, dan infrastruktur kelembagaan tak diperkuat sejak awal, risiko kekacauan administratif sangat mungkin terjadi.

“Jangan sampai niat menyempurnakan pemilu justru berujung pada tumpang tindih teknis di lapangan,” tegasnya.

MK menyebut pemisahan pemilu akan meningkatkan kualitas partisipasi pemilih, karena isu nasional dan lokal bisa difokuskan secara terpisah. Namun, Andhyka mengingatkan adanya potensi "kelelahan demokrasi" di masyarakat. Menghadapi dua pemilu besar dalam rentang waktu hanya 2–2,5 tahun bisa membuat pemilih jenuh dan abai terhadap kontestasi lokal.

“Yang dibutuhkan bukan hanya penjadwalan ulang, tapi edukasi pemilih yang cerdas, menyeluruh, dan berkelanjutan,” katanya.

Implikasi politik dari pemisahan pemilu juga tak bisa dianggap enteng. Salah satu risiko paling nyata adalah munculnya ruang intervensi dari pusat terhadap daerah. Sebab, dengan banyaknya kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum Pilkada 2029, akan ada gelombang besar penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah.

"Inilah celah sentralisasi kekuasaan secara halus. Jika pengawasan tidak ketat, pemerintah pusat bisa terlalu dominan dalam menentukan arah kebijakan lokal," jelas Andhyka.

Baca Juga : Rektor PTN-PTKIN Jatim dan Pemkot Batu Sepakat MoU, Dukung Pencapaian SDGs Menuju Indonesia Emas 2045

Ia juga mengingatkan bahwa posisi Pj yang diisi oleh aparatur pusat bisa berpotensi melemahkan independensi pemerintahan daerah dan mengganggu dinamika demokrasi lokal.

Andhyka menilai bahwa ketidaksamaan siklus politik antara pusat dan daerah bisa menciptakan tantangan baru dalam sinkronisasi kebijakan pembangunan. Jika kepala daerah baru dilantik saat masa jabatan presiden hampir berakhir, atau sebaliknya, maka program pembangunan bisa berjalan tak selaras.

"Demokrasi bukan hanya tentang memilih, tapi juga tentang menyatukan langkah pembangunan. Jika ritmenya berbeda, bisa-bisa pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri,” paparnya.

Di akhir pernyataannya, Andhyka mengingatkan bahwa putusan MK ini harus direspons dengan kesiapan menyeluruh: mulai dari revisi hukum, penguatan lembaga penyelenggara, hingga strategi komunikasi publik.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini memang bisa menjadi peluang untuk memperbaiki demokrasi elektoral di Indonesia. Namun tanpa langkah-langkah konkret dan kesiapan lintas sektor, justru bisa menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks. Yang dipertaruhkan bukan sekadar dua kali pemilu, tapi juga masa depan kualitas demokrasi di negeri ini.

“Pemisahan pemilu bisa jadi terobosan, tapi juga bisa menjadi jebakan. Semua tergantung pada bagaimana negara menyiapkan diri,” pungkasnya.

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Politik pemilu serentak mk mahkamah konstitusi andhyka muttaqin



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

A Yahya

--- Iklan Sponsor ---