free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Gabung Channel WhatsApp
Peristiwa

Syekh Ibrahim Asmarakandi: Ulama Samarkand, Bapak Dakwah Gisik, Ayah Sunan Ampel

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

27 - Jun - 2025, 16:52

Placeholder
Lukisan cat minyak bergaya realis menggambarkan Syekh Ibrahim Asmarakandi, ulama penyebar Islam di tanah Jawa pada abad ke-15. (Foto: Dibuat dengan AI oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Di antara lembaran awal sejarah dakwah Islam di tanah Jawa, nama Syekh Ibrahim Asmarakandi menjulang sebagai salah satu figur sentral yang terlupakan, namun tak tergantikan. Jejaknya tidak hanya berbekas dalam makam tua di Desa Gisikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, tetapi juga terpahat dalam naskah-naskah babad, manuskrip, dan tradisi lisan yang bertahan berabad-abad. Dialah ulama pendatang dari Asia Tengah yang membuka jalan bagi dakwah Islam di pesisir utara Jawa menjelang keruntuhan Majapahit. Lebih dari itu, ia adalah ayah dari Sunan Ampel, tokoh penting dalam formasi spiritual dan institusional Walisongo.

Syekh Ibrahim Asmarakandi, sebagaimana disebut dalam sejumlah sumber historiografi, termasuk Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Babad Risaking Majapahit, hingga Serat Walisana dan Nagarakretabhumi sarga IV, diyakini berasal dari Samarkand. Namun, akar silsilahnya mungkin lebih kompleks. Dalam Babad Cerbon, disebutkan bahwa Ibrahim adalah putra dari Syekh Karnen dan berasal dari "negeri Tulen," yang merujuk pada wilayah Tyulen, gugusan pulau kecil di pesisir timur Laut Kaspia, kini masuk wilayah Kazakhstan. Artinya, Syekh Ibrahim merupakan bagian dari migrasi ulama Asia Tengah yang telah mengalami transkulturasi sebelum tiba di Jawa.

Baca Juga : Viral Dugaan Anggota TNI Dikeroyok di Terminal Arjosari, Ini Kronologinya  

Sebutan Asmarakandi adalah adaptasi fonetik dari "as-Samarkandy," mengikuti lidah Jawa yang melafalkan bahasa Arab dan Persia. Ia dikenal pula sebagai Maulana Ibrahim Asmara atau Makdum Brahim Asmara. Dalam Nagarakretabhumi, nama Ibrahim bahkan bergelar Molana Ibrahim Akbar dan Syaikh Jatiswara, ayah dari Ali Musada (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Sumber-sumber ini secara konsisten menunjukkan peran Ibrahim sebagai figur patriarkal dalam genealogi Walisongo.

Sebelum tiba di Jawa, Syekh Ibrahim bermukim di negeri Champa, yang secara geografis terletak di wilayah Vietnam tengah kini. Babad Ngampeldenta dan Serat Walisana mengisahkan bahwa di Gunung Sukasari, ia berdakwah dan berhasil mengislamkan Raja Champa, bahkan dinikahkan dengan puteri kerajaan bernama Dewi Candrawulan. Dari pernikahan ini lahirlah dua anak: Ali Murtadho dan Ali Rahmatullah—yang kelak dikenal sebagai Raja Pandhita dan Sunan Ampel. Kedua nama ini penting karena mereka menjadi generasi penerus utama dakwah Islam di tanah Jawa.

Namun, dakwah Ibrahim di Champa tak selalu mulus. Dalam beberapa versi babad, disebutkan bahwa raja pertama yang menolak Islam memerintahkan pembunuhan terhadap Ibrahim dan para mualaf. Namun raja tersebut wafat sebelum melaksanakan niatnya. Raja pengganti, justru terbuka menerima Islam dan menjalin hubungan kekerabatan dengan Ibrahim.

Sekitar tahun 1362 Hijriah atau bertepatan dengan 1440 Masehi, Syekh Ibrahim memulai perjalanan ke tanah Jawa. Ia tidak datang sendiri. Bersamanya ikut dua putra kandung, seorang keponakan bernama Raden Burereh (atau Abu Hurairah), dan beberapa kerabat dari Champa. Mereka singgah di Palembang dan berdakwah di sana. Adipati Palembang, Arya Damar, diyakini memeluk Islam berkat pengaruh Ibrahim. Dalam beberapa versi, nama Arya Damar kemudian berubah menjadi Ario Abdillah sebagai simbol transformasi spiritualnya.

Perjalanan dakwah Ibrahim berlanjut ke pesisir utara Jawa. Rombongan mendarat di sebuah wilayah timur pelabuhan Tuban, yang dikenal sebagai Gisik—kini Desa Gisikharjo. Tidak memilih Tuban yang merupakan pelabuhan utama Majapahit, Ibrahim tampaknya mengambil sikap kehati-hatian. Di Gisik inilah ia menetap dan mulai berdakwah di tengah masyarakat lokal.

Penting dicatat, dalam pengamatan arkeologis dan epigrafi, keberadaan situs makam Syekh Ibrahim Asmarakandi di Gisik berbeda secara spasial dan temporal dari makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ini menjadi bukti bahwa keduanya adalah dua figur yang berbeda, kendati selama bertahun-tahun identitas mereka sering disamakan. Mihrab masjid dan gerbang batu bata merah yang masih berdiri di kompleks makam Gisik adalah warisan arsitektural dari abad ke-15 yang dikuatkan oleh Dinas Purbakala.

Karya intelektual Ibrahim juga tercatat dalam sebuah manuskrip kuno bernama Usul Nem Bis, kitab tulisan tangan yang berisi enam teks dengan enam basmalah, yang menurut tradisi pesantren ditulis atas nama Syekh Ibrahim sendiri. Ini menandakan bahwa dakwahnya tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga literer dan sistematis.

Sayangnya, perjalanan dakwah Ibrahim di tanah Jawa tak berlangsung lama. Sebelum berhasil mencapai pusat kerajaan Majapahit untuk menemui iparnya—Dewi Dwarawati, istri dari Raja Majapahit Brawijaya V (Prabu Kertawijaya) —Syekh Ibrahim wafat di Gisik. Ia dimakamkan tak jauh dari garis pantai. Masyarakat sekitar menyebut makamnya dengan nama Sunan Gisik atau Sunan Gesik. Gelar ini menjadi bentuk penghormatan masyarakat atas peran Ibrahim sebagai penyebar Islam pertama di kawasan itu.

Setelah wafatnya Syekh Ibrahim, perjuangan dakwah dilanjutkan oleh dua putranya dan Raden Burereh. Mereka meneruskan perjalanan menuju ibu kota Majapahit, berjalan darat dari Tuban ke arah timur melalui jalur-jalur pedalaman. Mereka menemui Dewi Darawati, yang menjadi penghubung strategis dalam membuka akses dakwah ke lingkungan kerajaan.

Dalam konteks historiografi Islam di Nusantara, Syekh Ibrahim Asmarakandi berdiri sebagai figur yang melintasi batas geografis, kultural, dan spiritual. Ia bukan hanya penyambung antara Samarkand dan Gisik, antara Laut Kaspia dan Laut Jawa, tetapi juga antara fase awal Islamisasi dan generasi penerusnya yang institusional. Hubungan darah antara dirinya dan Sunan Ampel menempatkannya sebagai simpul penting dalam silsilah wali dan jaringan ulama yang membentuk wajah Islam Indonesia.

Penting pula dicatat, bahwa berbagai naskah babad dan historiografi lokal seringkali mengandung lapisan-lapisan simbolik dan mitologis. Maka dari itu, pembacaan terhadap kisah Syekh Ibrahim harus dibarengi pendekatan kritis dan kontekstual. Sebagai contoh, meski beberapa babad menyamakan Ibrahim dengan Maulana Malik Ibrahim, bukti topografi, tradisi lokal, dan perbedaan narasi genealogi membantah penyatuan identitas ini.

Jejak Ibrahim Asmarakandi tidak hanya terbatas pada sisi spiritual. Ia juga berkontribusi terhadap formasi peradaban pesisir utara Jawa. Pilihan tempat tinggal di Gisik, pengislaman tokoh Palembang, penulisan kitab, serta peran sebagai ayah dari Sunan Ampel memperlihatkan spektrum luas kiprah dakwahnya. Tak berlebihan bila ia disebut sebagai bapak dakwah Gisik dan patriark spiritual Walisongo.

Sebagai penutup, kompleks makam Syekh Ibrahim Asmarakandi di Gisikharjo kini menjadi situs ziarah yang ramai. Para peziarah menempuh perjalanan melalui jalur pesisir utara Pulau Jawa, menyusuri Jalan Raya Daendels. Dari Tuban ke arah timur, ke Paciran hingga Gresik, makam itu terletak sekitar 200 meter di selatan jalan raya. Di sana, para peziarah tak hanya berdoa, tetapi juga menyaksikan sisa-sisa kebesaran tokoh penyambung dua dunia: Asia Tengah dan Jawa, Samarkand dan Gisik, tradisi ulama dan kerajaan, yang menjelma dalam sosok Ibrahim Asmarakandi.

Dalam kebisingan zaman yang seringkali melupakan akar, kisah Syekh Ibrahim Asmarakandi adalah pengingat akan tapak-tapak sunyi yang membangun peradaban. Tapak seorang ayah, seorang ulama, seorang penulis, dan seorang mujahid dakwah di batas samudera dan sejarah.

Warisan Champa: Jalan Sunan Ampel Merawat Dakwah Sang Ayah

Perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari jejak panjang spiritualitas lintas kawasan, salah satunya dari Syekh Ibrahim Asmarakandi, seorang ulama besar asal Asia Daratan yang menyemai benih Islam melalui pendekatan sufistik dan kultural. Warisan besar itu tak luntur begitu ia wafat, sebab tongkat estafet dakwah dilanjutkan oleh puteranya, Raden Rahmat—kelak dikenal sebagai Sunan Ampel. Melalui jalan dakwah yang ditempuh sang ayah, Sunan Ampel mewarisi sekaligus merawat tradisi keagamaan Champa, menjadikannya fondasi penting dalam transformasi Islam di pesisir utara Jawa. Sejak saat itu, jalan Sunan Ampel bukan sekadar jalan dakwah, melainkan jalan pewarisan peradaban.

Sekitar awal dekade 1430-an, sebuah rombongan kecil tiba di pesisir utara Jawa, membawa serta bukan hanya semangat dakwah Islam, tetapi juga warisan intelektual dan budaya dari dunia Melayu-Champa yang telah lama tumbuh di kawasan Asia Tenggara. Tokoh sentral dalam rombongan itu adalah Raden Rahmat—yang kelak dikenal sebagai Sunan Ampel—didampingi oleh saudaranya, Ali Musada (atau Ali Murtadho), serta sepupu mereka, Abu Hurairah (dikenal pula sebagai Raden Burereh). Mereka tidak datang sendirian. Di antara para pengemban misi dakwah itu terdapat pula Syekh Ibrahim Asmarakandi, ulama besar yang disebut sebagai ayahanda Raden Rahmat dan Ali Murtadho. Namun, belum lama setelah tiba di Tuban—pelabuhan penting Majapahit—Syekh Ibrahim wafat dan dimakamkan di wilayah tersebut. Peristiwa ini menandai estafet dakwah dari sang ayah kepada sang putra, yang kemudian melanjutkan misi penyebaran Islam ke jantung tanah Jawa.

Menurut catatan Thomas W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1977), sebelum tiba di Jawa, rombongan ini sempat singgah di Palembang dan diterima dengan baik oleh Arya Damar, penguasa lokal yang telah mulai tertarik pada Islam. Dalam hikayat yang dikaji oleh J. Edel pada 1938, disebutkan bahwa setelah memeluk Islam, Arya Damar mengganti namanya menjadi Ario Abdillah—sebuah indikasi bahwa pengaruh Islam telah mulai menembus kalangan aristokrat lokal sebelum tampil terbuka di pusat kekuasaan Majapahit.

Kedatangan rombongan Raden Rahmat bertepatan dengan gejolak besar di tanah asal mereka: runtuhnya Kerajaan Champa pada 1446 akibat serangan dari dinasti Vietnam (Koci). Dalam Serat Walisana disebutkan bahwa karena kondisi politik yang memburuk di Champa, Raja Majapahit melarang Raden Rahmat kembali ke negerinya. Larangan itu bukan semata keputusan politik, melainkan juga bentuk pengakuan terhadap potensi Raden Rahmat sebagai penggerak transformasi sosial-keagamaan di tanah Jawa, yang saat itu tengah berada dalam masa transisi budaya pasca-kejayaan Hindu-Buddha.

Tuban, tempat rombongan ini pertama kali mendarat, merupakan pelabuhan internasional yang menjadi simpul perdagangan dan pertukaran gagasan di pesisir utara Jawa. Kota ini bukan sekadar pintu masuk secara geografis, tetapi juga menjadi gerbang kultural penting bagi para penyebar Islam. Setelah memakamkan ayahnya, Syekh Ibrahim Asmarakandi, Raden Rahmat melanjutkan perjalanan menuju Trowulan, pusat pemerintahan Majapahit, untuk menemui bibinya, Ratu Dwarawati, permaisuri Prabu Kertawijaya alias Brawijaya V. Hubungan kekerabatan ini memberinya akses istimewa untuk memahami struktur kekuasaan, adat istiadat, dan etiket budaya Jawa dari dalam lingkaran istana.

Baca Juga : 1.000 Tukik Dilepas di Pantai Modangan Malang, Wisata dan Konservasi Jalan Bersama

Strategi dakwah yang dijalankan Raden Rahmat pun menunjukkan kecermatan dan kelenturan. Alih-alih mengonfrontasi budaya lokal, ia meresapi dan menyusupi struktur sosial melalui jejaring keluarga dan diplomasi kultural. Cara ini terbukti ampuh: Islam tidak hadir sebagai ancaman, melainkan sebagai solusi spiritual yang melembut dan menyatu dalam denyut masyarakat Majapahit yang mulai retak oleh krisis legitimasi dan perubahan zaman.

Perjalanan spiritual dan politik Raden Rahmat tidak berhenti di istana. Ia kemudian ditugaskan menjadi imam di Masjid Surabaya. Dalam versi yang ditulis dalam Babad Ngampeldenta, ia diangkat oleh Arya Lembusura, seorang Adipati Surabaya yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Versi lain menyebutkan bahwa penugasan itu datang dari Arya Sena, pejabat tinggi bergelar Pecat Tandha dari Terung. Sementara itu, saudara kandungnya, Ali Murtadho, ditempatkan di Gresik dengan gelar Raja Pendita Agung—menandakan bahwa proses dakwah pada masa itu tidak hanya berupa penyebaran agama, tetapi juga penataan ulang struktur sosial dan kepemimpinan berbasis spiritualitas Islam.

Kawasan Ampeldenta, yang terletak di Surabaya, menjadi pusat dari segala transformasi itu. Di sinilah Raden Rahmat mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang kelak menjadi cikal bakal sistem pesantren Jawa. Pesantren ini bukan hanya mencetak kader dakwah, tetapi juga pemimpin masa depan. Murid-murid utamanya mencerminkan kualitas institusi ini: Sunan Bonang (putranya), Sunan Giri, Sunan Drajat, Raden Patah, Raden Kusen—tokoh-tokoh sentral yang kemudian menjadi aktor utama dalam gelombang Islamisasi pesisir utara Jawa dan berdirinya Kesultanan Demak.

Dalam menjalankan misinya, Raden Rahmat menyusun strategi dakwah yang sinergis dengan budaya lokal. Ia menikahi Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja, Bupati Tuban yang masih merupakan cucu Arya Lembusura. Pernikahan ini memperkokoh jejaring kekuasaan Islam melalui pertautan keluarga bangsawan dan ulama. Versi lain menyebutkan ia juga menikahi putri dari Ki Bang Kuning, seorang tokoh lokal dari Kembang Kuning yang kemudian memeluk Islam. Dari pernikahan itu lahirlah dua putra: Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah, yang kelak juga menjadi bagian dari jaringan penyebar Islam Nusantara.

Narasi historiografi ini memperlihatkan bahwa proses dakwah Raden Rahmat bukan hanya misi keagamaan dalam pengertian sempit, tetapi merupakan upaya besar dalam rekonstruksi sosial dan budaya Jawa. Dengan menyusup ke dalam struktur kekuasaan dan jaringan sosial, ia membangun fondasi dakwah yang lentur namun mengakar kuat. Jalan yang dilaluinya adalah lanjutan dari visi besar sang ayah, Syekh Ibrahim Asmarakandi—yang membekali anaknya dengan ilmu keagamaan dan kecerdasan budaya. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa jalan dakwah Sunan Ampel adalah kelanjutan dari jalan peradaban Islam Champa, yang dirawat dengan sabar dan disemai melalui generasi yang terdidik, berjejaring kuat, dan berpandangan jauh ke depan.

Dalam sejarah Islamisasi Nusantara, kisah Raden Rahmat, yang lebih dikenal sebagai Sunan Ampel, selalu menempati ruang istimewa. Ia bukan hanya seorang pendakwah ulung di tengah transisi Majapahit menuju Islam, melainkan juga penerus jejak sejarah yang lebih tua dan lintas kawasan: warisan keislaman Champa. Jejak-jejak tradisi religius yang ia tanamkan di tanah Jawa bukan sekadar adaptasi lokal terhadap ajaran Islam, tetapi merupakan buah dari sintesis panjang antara kebudayaan Champa dan strategi dakwah sufistik yang membumi.

Historiografi Jawa dan cerita-cerita tutur menyebut bahwa Sunan Ampel berasal dari negeri Champa—wilayah yang kini mencakup Vietnam tengah dan selatan, yang pernah menjadi pusat kerajaan maritim kuat bercorak Hindu-Buddha, lalu pelan-pelan bertransformasi menjadi komunitas muslim. Kedatangan Islam ke Champa, menurut catatan Islam Comes to Malaysia karya S.Q. Fatimy (1963), turut membawa mazhab Syiah, khususnya Zaidiyah. Di titik inilah pengaruh Champa dalam dakwah Sunan Ampel menjadi sangat signifikan.

Salah satu pengaruh paling kentara adalah tradisi kenduri kematian. Sebelum kedatangan para dai Champa, masyarakat Majapahit mengenal upacara sroddha sebagai ritual ruatan arwah yang dilakukan 12 tahun setelah kematian seseorang. Namun, pasca dakwah Sunan Ampel, masyarakat mulai mempraktikkan peringatan kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000—ritus yang jelas berasal dari tradisi Champa muslim. Tradisi ini terekam dalam Kerajaan Champa terbitan EFEO (1981), yang menyebutkan bahwa kaum muslim Champa men-talqin jenazah, memperingati haul, dan menyajikan bubur Asyura setiap 10 Muharram.

Pengaruh Champa bukan hanya berhenti di ranah ritual. Dalam keseharian, kata "mak" sebagai panggilan ibu—yang lazim digunakan orang Champa—tampak menggeser istilah Majapahit seperti “ina” atau “ibu”. Pengaruh ini berkembang di Surabaya—pusat dakwah Sunan Ampel—lalu menjalar ke Mojokerto, Jombang, Kediri, dan pesisir utara Jawa hingga ke Cirebon dan Jawa Barat. Bahkan, saudara dan murid-murid Sunan Ampel seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Giri turut menyebarkan kebiasaan ini.

Sebutan “kak” dan “kang” untuk kakak, “adhy” untuk adik, serta panggilan “kachoa” atau “kachong” untuk anak laki-laki juga berasal dari kosakata Champa. Kata-kata ini menggantikan istilah Jawa Kuno seperti “raka”, “rayi”, dan “rare”, dan menyiratkan pergeseran sosial-linguistik akibat intensitas dakwah Wali Songo berbasis tradisi Champa.

Islam yang dibawa Sunan Ampel tidak menabrak budaya setempat, melainkan mengakomodasi anasir lama dan menyuntikkannya dengan semangat sufistik. Konsep wahdatul wujud, tradisi Rebo Wekasan, dan perayaan Nisfu Sya’ban adalah contoh lain pengaruh Syiah Zaidiyah yang diadaptasi ke dalam spiritualitas masyarakat Jawa. Bahkan pembacaan kasidah untuk Nabi dan ahlul bait, si’iran pujian untuk Ali bin Abi Thalib dan zikir wirid yang populer di pesantren Jawa merupakan kelanjutan dari pola spiritualitas Champa yang berakar Syiah tetapi diformat ulang dalam kultur tasawuf Sunni.

Proses akulturasi ini menunjukkan jalan dakwah yang sangat canggih. Dakwah Sunan Ampel tampak sebagai hasil formulasi kreatif yang tidak hanya mempertahankan unsur-unsur kepercayaan lama seperti Kapitayan, tetapi juga memperkenalkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat Hindu-Buddha Majapahit. Islamisasi tidak dijalankan melalui konfrontasi, melainkan integrasi budaya yang lentur namun efektif.

Kepercayaan terhadap makhluk halus dalam tradisi Jawa pasca-Majapahit juga mencerminkan pengaruh Champa. Bila masyarakat Majapahit mengenal entitas mitologis seperti yaksha, raksasa, gandharwa, dan pretasura, maka orang Champa mempercayai makhluk-makhluk seperti kalap, silurmar, wewe, dan jin Islam. Mereka juga mengenal berbagai pantangan dan isyarat seperti hitungan suara tokek dan tabu menyebut harimau dengan nama langsung—kebiasaan yang masih ditemukan dalam kultur pesisir Jawa hingga kini.

Islam dalam versi Sunan Ampel dan para pengikutnya di Wali Songo adalah Islam yang tidak menghapus budaya lama secara total, melainkan menafsirkannya ulang dalam kerangka tauhid. Tradisi “kenduri”, istilah dari bahasa Persia “kandur”, digunakan dalam rangka penghormatan kepada Nabi Muhammad dan Fatimah az-Zahra, menjadi simbol Islamisasi yang lembut, bersifat kultural dan sufistik.

Mengenai wafatnya, sumber-sumber berbeda memberikan tanggal yang tidak seragam. Babad Gresik menyebut Sunan Ampel wafat pada tahun 1479 M (1401 Saka), sedangkan Serat Kandha menyatakan tahun 1406 M (1328 Saka). Walaupun tidak ada titik pasti mengenai tahun wafatnya, makamnya di samping Masjid Agung Ampel di Surabaya tetap menjadi situs penting dalam peta spiritual umat Islam Nusantara.

Melalui dakwah yang berbasis tradisi Champa, Sunan Ampel telah menciptakan pondasi peradaban Islam yang khas di tanah Jawa: tradisi keagamaan yang menyatu dengan budaya lokal, berakar dari warisan ayahnya dan ditumbuhkan dalam semangat sufistik yang penuh kasih. Warisan itulah yang menjadikan jalan Sunan Ampel bukan sekadar jalan dakwah, melainkan jalan sejarah panjang akulturasi spiritual dari Champa ke Nusantara.

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Peristiwa syekh ibrahim asmarakandi islam kabupaten tuban sunan ampel walisongo



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya

Peristiwa

Artikel terkait di Peristiwa

--- Iklan Sponsor ---