JATIMTIMES - Doktor Koralogi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Ruly Isfatul Khasanah menegaskan bahwa belum ada kajian ilmiah yang benar-benar bisa memastikan penyebab kerusakan terumbu karang di perairan Watu Kenong Situbondo.
Namun demikian ia mendorong adanya kolaborasi antara Komunitas Misi Bahari Situbondo dan pemerintah daerah dalam melakukan uji laboratorium terhadap kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan di kawasan Wisata Bahari Pasir Putih, Situbondo.
Baca Juga : Jadi Target Operasi, Pengedar Narkoba Didapati Bawa Jimat dan Tisu Magic
Dorongan tersebut disampaikan Ruly saat menjadi narasumber dalam seminar lingkungan bertajuk "Bersama Menjaga Laut Warisan Biru untuk Generasi Mendatang", yang digelar di Pendapa Kabupaten Situbondo, Kamis (26/6/2025).
Dalam kesempatan itu, Ruly mengungkapkan adanya indikasi kerusakan parah pada terumbu karang seluas sekitar 13 hektare di sisi timur Pasir Putih, tepatnya di kawasan Watu Kenong.
"Kalau untuk sekarang ini kami baru bisa menduga-duga karena lokasinya (lokasi 13 hektare terumbu karang mati) dan kami berasumsi ini akibat bahan kimia. Sifat kematiannya pun secara biologi maupun fisika menunjukkan ciri-ciri yang mengarah ke bahan kimia," ujar Ruly.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa belum ada kajian ilmiah yang benar-benar bisa memastikan penyebab kerusakan tersebut. Menurutnya, pengambilan sampel baru dilakukan satu kali, dan tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa kerusakan disebabkan oleh zat kimia tertentu seperti kaporit dari limbah kolam renang di sekitar pantai.
"Terumbu karang kan berada di laut lepas. Kondisinya dinamis, bisa saja saat pengambilan sampel tidak ada limbah yang sedang mengalir. Karena itu, kita butuh pengambilan sampel berulang agar hasilnya lebih akurat dan bisa dijadikan dasar ilmiah," imbuh dosen Prodi Ilmu Kelautan UINSA itu.
Ia juga menjelaskan bahwa ada perbedaan gejala antara kerusakan akibat bahan kimia dan akibat pemanasan global. “Kalau dampak pemanasan global biasanya ditandai dengan bleaching atau pemutihan. Tapi itu masih ada kemungkinan hidup kembali, asalkan suhu kembali normal dalam waktu enam minggu,” terangnya.
Solusi terbaik menurutnya adalah kolaborasi lintas pihak. "Harus ada duduk bersama antara komunitas, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan semua pemangku kepentingan. Kemudian membuat langkah nyata, seperti uji laboratorium berkelanjutan dan pemantauan lingkungan," ujarnya menegaskan.
Baca Juga : Kapan Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah Dibaca? Ini Waktu dan Bacaan Lengkapnya
Sementara itu, Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Situbondo, Ranti Seta Ayu Pratiwi, mengakui bahwa pihaknya telah melakukan pemantauan sejak September 2024 hingga Juni 2025. Namun, uji laboratorium yang dilakukan masih terbatas pada parameter Total Suspended Solid (TSS), Potensial Oksigen Demand (POD), pH, dan salinitas.
"Baku mutu parameter untuk air laut itu banyak, dan yang kami bisa uji saat ini hanya sebagian. Yang melebihi baku mutu dihasil uji kami itu adalah sedimentasi atau TSS. Untuk data yang lebih komprehensif memang perlu penelitian lanjutan," jelas Ranti.
Menanggapi hal itu, Ketua Komunitas Misi Bahari Situbondo, Aglendy RO, menyatakan pihaknya siap bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melakukan uji laboratorium lanjutan. Ia juga menyebut bahwa tujuan utama dari kegiatan seminar ini telah tercapai.
"Tadi para pemateri sudah menyampaikan pentingnya kolaborasi untuk melakukan uji laboratorium terhadap terumbu karang yang rusak. Dan itu yang akan kami tindak lanjuti," katanya.