free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Gabung Channel WhatsApp
Ruang Sastra

Prajurit Jawa Modern: Sekolah Serdadu Mangkunegara IV dan Warisan Carl Winter

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

26 - Jun - 2025, 09:58

Placeholder
Lukisan realis Mangkunegara IV (RM Sudiro), penggagas Soldat Sekul 1855. (Foto: Ilustrasi AI oleh JatimTIMES)

JATIMTIMES - Pertengahan abad ke-19 menjadi saksi transformasi besar dalam tatanan militer dan budaya di wilayah Mangkunegaran. Saat Eropa sedang merayakan era kemajuan industri dan militer, di jantung Jawa, seorang adipati yang visioner mengukuhkan jalur modernisasi melalui langkah tak terduga: mendirikan "Sekolah Serdadu" (Soldat Sekul) dengan tata ajar militer Eropa yang diterjemahkan ke dalam bahasa dan semangat Jawa. 

Dialah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (berkuasa 1853–1881), pemimpin cemerlang yang dikenal tidak hanya sebagai raja priyayi tetapi juga reformis dan pujangga.

Baca Juga : SPMB Jatim 2025 Tahap 3: SMA Prioritas Nilai, SMK Murni Jarak 

Sekolah Serdadu atau Soldat Sekul 1855 merupakan lembaga militer modern pertama yang dikelola oleh penguasa pribumi, berbasis pada disiplin militer Eropa dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Peran utama dalam penerjemahan dan pembentukan kurikulum militer ini dipegang oleh seorang tokoh Belanda yang sangat mengenal Jawa: Carl Friedrich Winter (1799–1859), anak seorang penerjemah resmi dari Yogyakarta, Johannes Wilhelmus Winter.

Carl Friedrich Winter dan Jembatan Bahasa Militer

Carl Winter bukan sekadar ahli bahasa; ia adalah penghubung dua dunia: Barat dan Jawa. Lahir dari keluarga Belanda yang telah lama menetap di Hindia, Winter tumbuh dalam kultur Jawa. Ketika ayahnya hijrah ke Surakarta pada saat Carl berusia tujuh tahun, ia mulai bergaul dengan kalangan istana dan keraton. Tidak mengikuti pendidikan formal, Carl dididik langsung oleh ayahnya dan pada usia 19 tahun telah menjadi asisten penerjemah di Surakarta.

Kariernya melesat saat ia diangkat menjadi Direktur Institut Bahasa Jawa di Surakarta pada 1829. Di sana, Winter melatih pegawai Binnenlandsch Bestuur (Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda) dalam berbahasa Jawa. Setelah penutupan institut tersebut pada 1843, Carl diminta Profesor Taco Roorda untuk menjadi mitra ahli bahasa di Delft, Belanda. Namun, dedikasinya terhadap Jawa tetap berakar kuat.

Persahabatannya dengan Raden Mas Ario Gondokusumo—yang kelak menjadi Mangkunegara IV—memberikan dimensi lain dalam sejarah Jawa. Mereka tidak hanya berbagi ketertarikan terhadap sastra dan bahasa, tetapi juga visi tentang pendidikan dan modernisasi.

Soldat Sekul: Tradisi Militer dan Bahasa Ibu

Pada tahun 1855, Mangkunegara IV mendirikan institusi pendidikan militer bernama Soldat Sekul (Sekolah Serdadu). Sekolah ini bertujuan melatih Legiun Mangkunegaran dalam disiplin ala barat, namun seluruh tata ajar dan instruksi ditulis dan diajarkan dalam bahasa Jawa. Langkah ini tidak hanya menunjukkan rasa percaya diri budaya, tetapi juga menjadi penanda awal pembentukan nasionalisme lokal yang modern.

Kitab ajar yang digunakan di sekolah ini dikenal sebagai Layang Pranatan Soldat Sel. Dalam buku ini, terdapat wulang-wulang atau pelajaran mengenai sikap dan gerak seorang prajurit, mulai dari cara berdiri, menghadapkan kepala, hingga prosedur menggunakan dan mengisi senapan. Misalnya: 

“Tungkak gathuk tunggal sagaris, sikil benggang sathithik lan kaethokake mangarep karo pisan... supaya sikute rapeta tumempel ing awak sarta pundhak didhethengake.”

Penggunaan bahasa Jawa yang halus dan teknis ini menjadi contoh bagaimana perangkat budaya lokal dapat digunakan untuk mentransmisikan teknologi dan disiplin militer modern.

Ideologi Militer dan Nasionalisme Kultural

Penting untuk memahami bahwa pendirian Soldat Sekul bukan semata-mata upaya teknokratik. Ia adalah manifestasi dari semangat Mangkunegara IV dalam membentuk kelas prajurit terdidik yang loyal kepada tanah air dan budayanya. Ini adalah langkah strategis dalam menghadapi dominasi kolonial dengan jalan membentuk kemandirian institusional.

Mangkunegara IV paham bahwa kekuatan politik tidak bisa dilepaskan dari kekuatan militer. Oleh sebab itu, ia memperkuat Legiun Mangkunegaran, yang telah berdiri sejak 1808, dengan pendidikan terstruktur, pemahaman doktrin militer modern, serta pembentukan etika prajurit melalui naskah-naskah moralistik dan spiritual seperti Serat Tripama dan Serat Piwulang.

Persahabatan Carl dan RMA Gondokusumo: Sastra dan Koran sebagai Medium Reformasi

Carl Winter bukan sekadar mentor bahasa bagi RMA Gondokusumo. Dari hubungan inilah lahir karya besar seperti Serat Panji Wulung, yang menjadi tembang ajar dalam kurikulum keraton. Bahkan hingga masa pemerintahannya sebagai Mangkunegara V, Gondokusumo menyatakan bahwa Serat Panji Wulung disusun atas permintaan Carl agar tembang Jawa dapat dipelajari oleh generasi muda Eropa dan Indo-Belanda.

Lebih dari itu, karya-karya Mangkunegara IV yang melimpah—tercatat lebih dari 50 judul—memiliki benang merah antara spiritualitas, etika, dan nasionalisme. Sastra menjadi alat politik lunak untuk menanamkan etos keprajuritan, kerja keras, dan keberpihakan pada rakyat kecil.

Kontribusi Carl Winter tak berhenti pada dunia militer dan sastra. Ia juga menggagas terbitnya koran berbahasa Jawa pertama di Hindia: Bromartani. Surat kabar ini bukan hanya memuat berita kelahiran dan kematian, tapi juga menyajikan artikel ekonomi, iklan, dan pemikiran ilmiah. Dengan izin dari Susuhunan Surakarta, Bromartani menjadi sarana edukasi kelas priyayi dan elite baru Jawa.

Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana jaringan Carl Winter tidak hanya menghubungkan orang-orang, tapi juga mempertemukan dunia gagasan. Ia membantu membentuk kosmopolitanisme Jawa yang khas—bukan imitasi Eropa, tetapi adaptasi cerdas yang tetap berpijak pada jati diri lokal.

Militer, Tanah, dan Kekuasaan

Dalam struktur militer Legiun Mangkunegaran, prajurit dan perwira tidak hanya diberi pelatihan tempur, tetapi juga diberi tanah lungguh—hak guna lahan seluas satu jung (sekitar 0,7 hektare) serta gaji tetap sebesar 10 gulden per bulan. Namun, sistem ini dirancang agar tidak dapat diwariskan, sebagai bentuk kontrol hierarki kekuasaan istana terhadap loyalitas prajurit.

Model ini mencerminkan sintesis antara nilai feodal Jawa dan sistem administratif kolonial. Disiplin prajurit dibentuk oleh kombinasi antara doktrin moralistik, insentif ekonomi, dan keterikatan spiritual pada penguasa sebagai ratu adil.

Dalam konteks historiografi kolonial, pendirian Soldat Sekul dan seluruh karya intelektual Mangkunegara IV sering dianggap subordinat terhadap kebijakan kolonial. Namun dari perspektif sejarah tandingan (counter-history), kita dapat membaca gerakan ini sebagai bentuk perlawanan sunyi—di mana bahasa, sastra, dan organisasi militer dijadikan alat perlawanan budaya terhadap dominasi Barat.

Baca Juga : Perang dan Problematika Nilai Kemanusiaan

Apa yang dilakukan oleh Mangkunegara IV dan Carl Winter adalah menegaskan bahwa modernisasi tidak berarti westernisasi total. Mereka menunjukkan bahwa militerisme bisa diadaptasi ke dalam struktur kebudayaan Jawa dan sekaligus memperkuat identitas lokal.

Prajurit Jawa modern bukan sekadar serdadu berseragam. Ia adalah simbol transformasi zaman yang ditopang oleh visi budaya, keteguhan politik, dan spiritualitas lokal. Sekolah Serdadu Mangkunegara IV adalah salah satu tonggak sejarah yang memperlihatkan bagaimana elite Jawa menciptakan ruang-ruang resistensi dan inovasi dalam bayang kekuasaan kolonial.

Warisan Carl Winter dan Mangkunegara IV bukan hanya terlihat dalam kitab ajar atau koran Bromartani, tetapi juga dalam jejak intelektual dan militer yang terus bergaung hingga masa kemerdekaan. Inilah sejarah yang lahir dari keterlibatan mendalam, dari mereka yang tahu bahwa kemenangan tidak selalu ditentukan oleh peluru, tetapi juga oleh pena, bahasa, dan kepercayaan pada jati diri sendiri.

Mangkunegara IV: Pangeran Reformis di Antara Tinta, Senapan, dan Tanah Tebu

Dalam sejarah panjang Mangkunegaran, satu nama mencuat bukan semata karena silsilahnya, tetapi karena gagasan-gagasannya yang melampaui zamannya: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV. Lahir dengan nama Raden Mas Sudiro pada 3 Maret 1811 (1 Sapar 1736 Jimakir), di tengah pusaran elite bangsawan Jawa abad ke-19, ia menjadi figur kunci dalam mendorong otonomi dan modernisasi Jawa di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda.

Sudiro bukan bangsawan biasa. Ayahnya, KPH Hadiwijaya I, adalah cucu dari KPH Hadiwijaya seda Kaliabu, tokoh militer yang gugur saat melawan VOC di daerah Salaman, Kedu. Dari jalur ibunya, GRAy Sakeli, ia adalah cucu dari Mangkunegara II dan cicit dari Pepatih Kraton Surakarta, Raden Adipati Sinduredja. Dengan darah prajurit, politisi, dan birokrat mengalir dalam nadinya, sejak kecil Sudiro ditempa untuk memikul warisan besar.

Didikan awalnya diserahkan kepada Pangeran Sarengat (kelak Mangkunegara III), sepupunya sendiri. Di bawah asuhan intensif ini, Sudiro mempelajari aksara, seni, sastra, dan prinsip-prinsip tata negara selama lima tahun. Pendidikan ini, tidak sekadar pengetahuan tekstual, tetapi pengendapan nilai kebangsawanan, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial yang dalam.

Sudiro memasuki Legiun Mangkunegaran sebagai taruna infanteri di usia 15 tahun—usia yang pada umumnya baru mengenal dunia luar. Tiga tahun berselang, ia sudah menyandang pangkat Kapten, dan terus menanjak hingga menjadi Mayor dan komandan infanteri. Pada titik ini, ia juga mulai menjadi bagian dari lingkar dalam istana, menikah dengan RAy Sami, putri dari KPH Suryomataram yang masih cucu Mangkunegara II, sekaligus dinikahkan lagi dengan BRAy Dunuk, putri sulung Mangkunegara III.

Pernikahan politik ini tidak semata menyatukan darah biru, tetapi juga memperkuat posisi Sudiro sebagai pewaris sah takhta Mangkunegaran.

Setelah wafatnya Mangkunegara III pada 6 Januari 1853, Sudiro diangkat sebagai Pangeran Prangwadana, dengan pangkat Letnan Kolonel. Namun gelar Mangkunegara IV secara resmi diberikan pada 16 Agustus 1857, pada usia 47 tahun. Ia memerintah selama 28 tahun hingga wafatnya pada 2 September 1881.

Sebagai raja, Mangkunegara IV menunjukkan kualitas seorang negarawan-visioner. Ia mengambil kendali penuh atas urusan internal Mangkunegaran, memperluas wilayah hingga Sukawati (Sragen), dan mengukuhkan kadipatennya sebagai “raja ketiga” selain Surakarta dan Yogyakarta. Otonomi bukan hanya slogan; di bawahnya, Mangkunegaran menjelma menjadi entitas yang mampu mengatur rakyat, memelihara keamanan, dan memajukan ekonomi tanpa terlalu tunduk pada tekanan Belanda.

Di bidang ekonomi, ia mendirikan Pabrik Gula Colomadu (1861) dan Tasikmadu (1871), serta membuka perkebunan kopi di Salatiga dan perkebunan teh di Kemuning. Ia memahami bahwa kemandirian politik harus disokong oleh basis ekonomi yang kuat. Dalam perspektif historiografi kritis, pembangunan ini bukan sekadar industrialisasi, melainkan bentuk strategi “ekonomi tandingan” terhadap hegemoni dagang kolonial.

Mangkunegara IV juga dikenang sebagai sastrawan besar Jawa modern. Ia menulis puluhan karya monumental seperti Tripama, Manukarsa, Yogatama, Paraminta, Nayakawara, hingga Pralambang Lara Kenya dan Langen Swara. Karya-karya ini tidak hanya bernilai estetis, tetapi berfungsi sebagai panduan etika, kepemimpinan, dan filsafat hidup priyayi. Sejarawan menyebutnya sebagai pelopor renaisans sastra Jawa pasca keruntuhan literasi pasca-VOC.

Kemitraannya dengan intelektual Eropa seperti Carl Friedrich Winter memperkuat reputasinya sebagai pemimpin berwawasan global namun berakar kuat dalam kebudayaan Jawa. Melalui Soldat Sekul (1855), ia menerjemahkan doktrin militer Eropa ke dalam basa Jawi, menjadikan Mangkunegaran sebagai pusat eksperimen sosial dan militer yang jarang ditemui di wilayah kolonial lain.

Dalam 72 tahun hidupnya, Mangkunegara IV tidak hanya membuktikan bahwa bangsawan Jawa mampu berdikari dalam dunia modern, tetapi juga bahwa kekuasaan bisa dijalankan tanpa kehilangan jati diri budaya. Ia menjembatani spiritualitas Jawa dan rasionalitas Eropa, membuktikan bahwa kemajuan dan kebudayaan bukanlah pilihan yang saling meniadakan.

Di Astana Girilayu, tempat ia disemayamkan, gema langkahnya masih terasa: sebagai pangeran yang menjadikan pena dan senapan sebagai alat perlawanan, bukan penaklukan.

_____________

 

Catatan Redaksi: artikel ini merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber 

Perolehan Medali Porprov Jatim IX 2025

Update: -

No Kota / Kabupaten Emas Perak Perunggu Poin
Total - - - -

Topik

Ruang Sastra jawa modern sekolah serdadu mangkunegara iv carl winter



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri

Ruang Sastra

Artikel terkait di Ruang Sastra

--- Iklan Sponsor ---