JATIMTIMES - Layanan Buy Now, Pay Later atau yang lebih dikenal dengan paylater kini menjadi salah satu fitur favorit dalam transaksi digital masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Dengan sekali klik, pengguna bisa langsung membeli barang atau jasa tanpa perlu membayar saat itu juga, dan cukup melunasinya beberapa minggu atau bulan ke depan. Kemudahan ini semakin menarik karena biasanya disertai promo menarik seperti diskon, cicilan 0 persen, hingga cashback.
Namun, di balik kemudahan dan kenyamanan itu, paylater menyimpan risiko besar jika tidak digunakan secara bijak. Pengguna bisa terjebak dalam jeratan utang yang sulit dibayar. Fenomena gali lubang tutup lubang pun tak terhindarkan, di mana seseorang harus berutang lagi untuk menutupi utang sebelumnya.
Baca Juga : Kasus Penahanan Ijazah, Disnakertrans Jatim Panggil Karyawan dan Eks HRD Sentoso Seal
Oleh karena itu, sangat penting memahami cara bijak menggunakan layanan ini agar fungsinya tetap positif dan tidak menjadi sumber masalah keuangan di masa depan.
OJK: Utang Paylater Sudah Capai Rp30 Triliun
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total utang masyarakat dari layanan paylater telah menembus angka fantastis, yakni lebih dari Rp30 triliun. Melihat lonjakan ini, OJK kini memperketat syarat penggunaan layanan tersebut.
Dalam kebijakan baru, pengguna paylater harus berusia minimal 18 tahun dan memiliki penghasilan tetap minimal Rp3 juta per bulan. Kebijakan ini bertujuan agar pengguna paylater adalah mereka yang secara finansial sudah memiliki kemampuan membayar dan bukan hanya mengikuti gaya hidup konsumtif.
“Ini bentuk perlindungan agar masyarakat tidak terjerat utang konsumtif yang tidak perlu,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Keuangan OJK, Friderica Widyasari Dewi, dikutip CNNIndonesia, Senin (21/4/2025).
Paylater Tak Masalah, Asal Digunakan dengan Bijak
Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE), Andi Nugroho, menekankan bahwa paylater bukanlah musuh yang harus dihindari total. Ia justru menyarankan agar masyarakat melihat layanan ini sebagai alat bantu keuangan, dengan catatan, digunakan secara bijak.
"Gunakan paylater hanya untuk kebutuhan mendesak, bukan karena lapar mata atau ingin gaya-gayaan," ujarnya.
Ia menyebutkan contoh situasi yang bisa membenarkan penggunaan paylater, misalnya ketika handphone rusak dan harus segera diganti karena digunakan untuk bekerja, atau saat ada keperluan mendadak seperti orang tua sakit dan perlu pulang kampung.
Baca Juga : Sekolah Sampai Entek: Dosen Perempuan Unisba Blitar Menyalakan Obor Kartini di Tengah Stereotip
Bisa untuk Modal Usaha, Tapi Jangan Asal
Tak sedikit pelaku usaha kecil yang mulai memanfaatkan paylater sebagai alternatif modal kerja. Perencana Keuangan dari OneShield Consulting, Agustina Fitria, menjelaskan bahwa ini sah-sah saja selama pengguna menghitung kemampuan membayar.
"Misalnya, beli bahan baku kue dengan paylater, nanti hasil jualannya bisa untuk melunasi. Tapi harus diperhitungkan benar-benar, jangan asal," katanya.
Ia menambahkan, paylater cocok untuk kebutuhan modal jangka pendek karena tenornya biasanya 30 hari hingga 3 bulan. Bila waktu pengembalian tidak tepat, bisa menimbulkan beban bunga atau denda.
Pastikan Cicilan Sesuai Kemampuan
Salah satu kesalahan umum pengguna paylater adalah tidak mengecek kemampuan membayar sebelum mengajukan cicilan. Andi menegaskan, total cicilan bulanan dari semua kewajiban, termasuk paylater, sebaiknya tidak melebihi 30 persen dari penghasilan bulanan.
"Kalau gaji Rp5 juta, cicilan maksimal Rp1,5 juta. Lebih dari itu, bisa mengganggu kebutuhan pokok," ucapnya.
Agustina menambahkan, konsumen juga harus mengecek jatuh tempo dan bunga dari layanan yang digunakan. “Seringkali orang hanya tergiur tulisan ‘bunga 0%’, padahal ada biaya lain seperti denda keterlambatan atau biaya administrasi yang tersembunyi,” ujarnya.
Terjerat Paylater? Segera Lakukan Penataan
Bagi yang sudah telanjur terjebak dalam jerat paylater, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan audit keuangan pribadi. Cek berapa total utang dan dari mana saja sumbernya.
"Setelah tahu utangnya dari mana saja dan jumlahnya, baru bisa ditentukan skema pembayaran. Kalau perlu, potong pengeluaran yang tidak penting," kata Andi.
Ia menyarankan pengguna menghubungi penyedia layanan untuk melakukan restrukturisasi. "Jangan takut untuk negosiasi. Beberapa fintech terbuka untuk perpanjangan tenor atau pengurangan bunga," ujarnya.
Generasi Z Jadi Target dan Korban
Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Airlangga, Bayu Arie Fianto, mengatakan bahwa generasi muda, terutama Gen Z, menjadi kelompok paling aktif menggunakan paylater. Mereka mudah tergoda oleh iklan, promo, dan keinginan tampil gaya di media sosial.
“Anak muda biasanya lebih impulsif dalam berbelanja, dan sayangnya literasi keuangan mereka belum cukup,” kata Bayu, dilansir dari laman resmi Unair, Senin (21/4/2025).
Ia juga menyarankan agar paylater dipakai hanya saat benar-benar terdesak dan dibarengi dengan kesadaran finansial yang matang. "Kalau terus-terusan membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan, bisa jadi paylater malah jadi bom waktu,” tambahnya.
Risiko Paylater: Bukan Cuma Utang
Dampak dari penggunaan paylater tak hanya berupa beban finansial. Bayu menyebutkan bahwa ada tiga risiko utama: gagal bayar, beban bunga tinggi, dan penyalahgunaan data pribadi.
"Data pribadi yang dikumpulkan fintech bisa disalahgunakan jika perusahaan tersebut tidak punya sistem keamanan yang kuat," katanya.
Bayu juga menyoroti risiko sistemik bagi industri keuangan. Jika terlalu banyak pengguna gagal bayar, maka bisa mengguncang stabilitas lembaga penyedia layanan itu sendiri.
Fenomena Doom Spending yang Mengkhawatirkan
Psikolog Universitas 17 Agustus Surabaya, Riza Wahyuni, menyoroti fenomena doom spending, kondisi di mana seseorang berbelanja sebagai pelampiasan dari kecemasan atau stres. Ia mengatakan bahwa fenomena ini marak di kalangan remaja dan dewasa muda, terutama sejak pandemi.
“Mereka mencari pelarian lewat belanja, apalagi sekarang ada paylater, jadi terasa ‘gratis’ padahal utangnya menumpuk,” ujarnya.
Menurut Riza, media sosial berperan besar dalam mendorong gaya hidup konsumtif ini. Banyak anak muda yang ingin tampil ‘kekinian’ meskipun harus berutang.
Dampak Jangka Panjang: Kredit Macet hingga Masalah Psikologis
Riza mengungkapkan bahwa penggunaan paylater tanpa kendali bisa berujung pada masalah serius, seperti gagal mengajukan KPR, kesulitan membangun aset, hingga gangguan mental.
"Banyak anak muda yang punya penghasilan bagus, tapi ditolak bank karena catatan kredit mereka jelek akibat telat bayar paylater,” jelasnya.
Selain itu, beban utang yang terus menumpuk juga bisa memicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi. "Orang jadi tidak tenang karena dikejar-kejar tagihan. Ini bisa menurunkan produktivitas kerja dan relasi sosial,” tambahnya.
Solusi: Literasi Keuangan dan Kontrol Diri
Solusi utama untuk menghadapi bahaya paylater adalah literasi keuangan. Menurut Riza, pendidikan finansial harus mulai diberikan sejak usia remaja agar masyarakat terbiasa membuat anggaran, menabung, dan berinvestasi, bukan hanya konsumsi.
"Belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan itu penting. Kalau tidak, berapa pun gajinya pasti habis," ujarnya.
Selain itu, ia juga menyarankan untuk belajar mengontrol dorongan belanja. Bila perlu, matikan notifikasi promo dari e-commerce dan batasi penggunaan media sosial yang memicu keinginan konsumtif.
Paylater: Gunakan dengan Cerdas atau Jangan Sama Sekali
Pada akhirnya, paylater bisa menjadi alat bantu keuangan yang efektif jika digunakan dengan perencanaan yang matang. Namun jika disalahgunakan, paylater bisa menjadi sumber masalah yang sulit diatasi.
Jadi jangan tergoda promo dan diskon semata. Tegaskan pada diri sendiri, “Apakah saya benar-benar butuh ini? Apakah saya bisa membayarnya tepat waktu?”
Bijaklah dalam berbelanja. Jangan sampai paylater mengubah hidup jadi later pay yang tak kunjung selesai. Semoga informasi ini bermanfaat.