JATIMTIMES - Kesultanan Demak menjadi kekuatan politik pertama berbasis Islam di Jawa setelah runtuhnya Majapahit. Namun, warisan Raden Patah sebagai pendiri Demak tidak serta-merta membawa stabilitas. Justru, perebutan kekuasaan mewarnai takhta kesultanan sejak generasi kedua.
Sultan Trenggana, yang naik takhta pada 1521 M setelah kematian Pangeran Sabrang Lor (Adipati Yunus), adalah sosok ambisius. Namun, cara Trenggana memperoleh kekuasaan bukanlah sesuatu yang diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak, terutama rakyat Pengging dan para adipati yang merasa dirugikan oleh strateginya.
Baca Juga : Sempat Viral Dikunjungi Ribuan Wisatan, Kini Taman Kelinci Pujon Tinggal Kenangan
Menurut beberapa sumber historiografi Jawa, Trenggana tidak berhak atas takhta. Pangeran Suronyoto, atau Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, yang merupakan kakak laki-lakinya, seharusnya menggantikan Adipati Yunus. Namun, takdirnya berakhir tragis. Ia tidak mati secara wajar, melainkan dibunuh oleh orang-orang suruhan Trenggana. Setelah dibunuh, mayatnya dibuang ke sungai—sebuah taktik untuk menghilangkan jejak kejahatan yang kemudian menciptakan julukan "Sekar Seda Ing Lepen" (bunga yang gugur di sungai).
Dengan cara yang penuh darah, Trenggana naik takhta sebagai Sultan Demak ketiga. Namun, kekuasaannya diwarnai oleh ketidakpuasan dan pemberontakan, terutama dari daerah-daerah yang masih memiliki hubungan erat dengan Majapahit dan mereka yang menolak model pemerintahan Demak yang semakin teokratis.
Perlawanan Ki Ageng Pengging
Pengging adalah salah satu daerah yang secara historis memiliki akar kuat dalam tradisi kejawen dan hubungan politik dengan Majapahit. Di bawah kepemimpinan Ki Ageng Pengging (Raden Kebo Kenongo), wilayah ini menjadi pusat perlawanan terhadap dominasi Demak.
Ki Ageng Pengging, putra Adipati Andayaningrat, dikenal sebagai tokoh yang memiliki pengaruh besar, baik secara politik maupun spiritual. Ia adalah murid Syaikh Siti Jenar, seorang tokoh sufi yang ajarannya dianggap menyimpang oleh Wali Songo dan penguasa Demak. Dengan latar belakang ini, Ki Ageng Pengging tidak serta-merta tunduk kepada Sultan Trenggana.
Sultan Trenggana melihat keberadaan Ki Ageng Pengging sebagai ancaman. Pertama, karena Ki Ageng memiliki legitimasi kuat di mata rakyatnya. Kedua, karena ia adalah penganut pemikiran Syaikh Siti Jenar, yang menekankan kebebasan spiritual dan menolak konsep kekuasaan teokratis yang mulai diterapkan di Demak.
Untuk menghadapi perlawanan ini, Trenggana mengirim Sunan Kudus dengan pasukan lengkap untuk menumpas Pengging. Perlawanan berlangsung sengit, tetapi akhirnya Ki Ageng Pengging dikalahkan dan dibunuh oleh Sunan Kudus. Kematiannya bukan hanya simbol kehancuran politik Pengging, tetapi juga representasi konflik ideologis antara ajaran Siti Jenar dan kekuasaan Demak yang didukung oleh para wali yang lebih pragmatis.
Di tengah kuatnya pengaruh Kesultanan Demak sebagai pusat kekuasaan Islam di Jawa, muncul tokoh-tokoh yang mengambil sikap berbeda terhadap dominasi politik dan keagamaan yang dibangun oleh para wali dan penguasa Demak. Salah satunya adalah Ki Ageng Pengging, seorang bangsawan yang memiliki pemikiran spiritual mendalam dan memilih jalannya sendiri dalam memahami hubungan antara manusia dan Tuhan. Sebagai putra Andayaningrat dan cucu Sri Prabu Kertawijaya (Brawijaya V), ia meninggalkan lingkaran kekuasaan dan memilih hidup sebagai santri dan petani.
Penolakan Ki Ageng Pengging untuk menghadap Sultan Demak bukan sekadar tindakan politik, melainkan sebuah bentuk perlawanan ideologis. Dalam pandangannya, otoritas duniawi tidak dapat mengatur kehidupan batin seseorang. Ia lebih percaya pada ajaran gurunya, Syekh Siti Jenar, yang menekankan hakikat ketuhanan secara langsung tanpa perantara kekuasaan.
Ketika Sultan Demak memanggilnya untuk menghadap, Ki Ageng Pengging dengan tegas menolak. Baginya, seorang manusia hanya tunduk pada kehendak Ilahi, bukan pada seorang raja yang kekuasaannya bersandar pada aturan duniawi. Sikap ini bukan hanya menantang otoritas Demak sebagai kesultanan Islam, tetapi juga menyinggung legitimasi para wali yang berperan dalam pemerintahan.
Dalam beberapa naskah, Ki Ageng Pengging dikisahkan menyatakan bahwa bumi dan langit adalah milik semua makhluk, bukan hak mutlak seorang sultan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan sejati bukan terletak pada tahta, melainkan pada kesadaran spiritual yang membebaskan manusia dari keterikatan duniawi. Pernyataan ini membuatnya semakin dipandang sebagai ancaman oleh penguasa Demak.
Namun, penolakannya tidak hanya menyangkut persoalan politik. Ki Ageng Pengging juga mengkritik cara para wali menyebarkan Islam yang, menurutnya, lebih berorientasi pada struktur kekuasaan daripada pengalaman spiritual murni. Ia menolak konsep bahwa seorang sultan bisa menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin politik, karena baginya, jalan menuju Tuhan adalah hak pribadi yang tidak dapat diatur oleh institusi mana pun.
Sikapnya ini akhirnya berujung pada konflik dengan Demak. Kesultanan, yang saat itu berada dalam ketidakstabilan setelah kematian Raden Patah, melihatnya sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Ki Ageng Pengging pun dituduh melakukan makar dan dihukum mati. Padahal, sejatinya ia sudah tidak tertarik lagi pada kekuasaan. Hari-harinya dihabiskan dalam kehidupan sederhana: mengaji bersama rakyat jelata dan bertani.
Sikap Ki Ageng Pengging dalam menolak menghadap Sultan Demak mencerminkan ketegangan antara agama sebagai institusi dan agama sebagai pengalaman pribadi. Ia menegaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan tidak boleh dikendalikan oleh kekuasaan duniawi. Perjuangannya, meskipun berakhir dengan kematian, tetap menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi politik dalam ranah keagamaan di Jawa.
Peran Sunan Kudus dalam Eksekusi Syekh Siti Jenar
Dalam berbagai narasi tradisional, eksekusi terhadap tokoh-tokoh yang dianggap membangkang terhadap Demak sering dikaitkan dengan peran Sunan Kudus. Ia adalah salah satu wali yang paling loyal terhadap Kesultanan Demak dan memiliki hubungan dekat dengan Sultan Trenggana.
Menurut berbagai sumber, Sultan Trenggana dan para ulama di lingkaran istananya tidak hanya memandang Ki Ageng Pengging sebagai ancaman politik, tetapi juga sebagai bagian dari gerakan spiritual yang membahayakan tatanan kekuasaan. Syekh Siti Jenar, yang ajarannya lebih bersifat esoteris dan menekankan kesatuan antara manusia dengan Tuhan, dianggap bertentangan dengan konsep Islam yang diusung oleh Wali Songo.
Ketika ajaran Syekh Siti Jenar semakin populer, Sultan Trenggana bersama para wali yang menentangnya mengambil langkah tegas. Syekh Siti Jenar dikabarkan dihukum mati, dan mitos tentang jasadnya yang berubah menjadi anjing kudisan disebarluaskan sebagai bagian dari propaganda untuk meruntuhkan kredibilitas ajarannya.
Namun, penelitian terbaru mengungkap bahwa yang sebenarnya dihukum mati bukanlah Syekh Siti Jenar, melainkan dua tokoh yang mengaku sebagai dirinya, yaitu Hasan Ali dan San Ali Anshar. Sementara itu, Syekh Siti Jenar diketahui wafat secara wajar sekitar tahun 1530 di Kemlaten, Cirebon.
Baca Juga : Jangan Asal, Ini Adab Terima Tamu saat Lebaran
Hasan Ali dieksekusi oleh Sunan Gunung Jati di Cirebon, sedangkan San Ali Anshar dihukum mati oleh Sunan Kalijaga di Demak. Hukuman ini dijatuhkan oleh Wali Songo setelah keduanya terbukti menyebarkan ajaran sesat dan mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, sehingga menyesatkan umat dari ajaran agama yang benar.
Fenomena kolaborasi antara ulama dan penguasa bukanlah hal baru dalam sejarah Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai tokoh yang lebih moderat, melihat kecenderungan ini dengan pandangan kritis.
Sunan Kalijaga menyampaikan kritiknya dalam bentuk simbolis, sebagaimana yang sering ia lakukan melalui seni dan budaya. Dalam pewayangan, ia menciptakan karakter Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna untuk menggambarkan para ulama yang terlalu dekat dengan kekuasaan dan mengorbankan nilai-nilai kebenaran demi kepentingan politik.
Yamadipati dalam pewayangan digambarkan sebagai sosok yang menggunakan dalil agama untuk menjustifikasi tindakan represif terhadap lawan-lawan politiknya. Sementara itu, Pendeta Durna adalah simbol ulama munafik yang menyesuaikan ajarannya dengan kehendak penguasa, meskipun harus menyesatkan umat demi kepentingan pribadi dan politik.
Dengan cara ini, Sunan Kalijaga merekam sejarah kelam Demak tanpa harus menentang secara langsung. Ia menggunakan seni sebagai alat kritik sosial, sesuatu yang terus bertahan dalam budaya Jawa hingga hari ini.
Kematian Sultan Trenggana dan Akhir Dominasi Demak
Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak selama lebih dari dua dekade, memperluas pengaruhnya hingga ke Jawa Timur dan Bali. Namun, di balik ekspansi tersebut, pemerintahannya diwarnai oleh konflik internal yang semakin meruncing.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggana meninggal dalam ekspedisi militer ke Panarukan, wilayah Blambangan di ujung timur Jawa. Kematian ini menjadi titik awal perpecahan internal di Demak. Penggantinya, Sunan Prawoto, tidak mampu menjaga stabilitas kerajaan, yang akhirnya mengalami kemunduran drastis hingga kekuasaannya direbut oleh Kesultanan Pajang di bawah kepemimpinan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya).
Menariknya, Jaka Tingkir merupakan putra Ki Ageng Pengging sekaligus menantu Sultan Trenggana. Ia menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Trenggana, dan memiliki beberapa keturunan, salah satunya adalah Pangeran Benawa, yang kelak menjadi kakek Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Dalam lembaran sejarah Nusantara, Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya dikenang sebagai tokoh yang menjembatani transisi kekuasaan dari Kesultanan Demak ke Pajang. Ia bukan hanya seorang pemimpin yang tangguh dalam medan perang, tetapi juga seorang bangsawan yang melalui perjalanan spiritual panjang sebelum akhirnya meraih tampuk kekuasaan. Sebagai menantu Sultan Trenggana, Jaka Tingkir memiliki hubungan erat dengan dinasti Demak dan kelak menjadi leluhur bagi para raja di tanah Jawa.
Dilahirkan dengan nama Mas Karebet, Jaka Tingkir adalah putra Ki Ageng Kebo Kenanga dan Rara Alit, cucu dari Pangeran Gugur, keturunan Prabu Brawijaya V. Sejak kecil, hidupnya penuh cobaan. Ayahnya tewas dalam serangan Demak ke Pengging, sedangkan ibunya wafat tak lama setelahnya. Ia kemudian diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, yang kelak menjadi sosok ibu angkatnya. Nama Jaka Tingkir mulai dikenal ketika ia meniti karier sebagai prajurit di Kesultanan Demak, hingga akhirnya menjadi Lurah Wiratamtama dan pengawal pribadi Sultan Trenggana.
Nasib membawanya semakin dekat dengan pusat kekuasaan. Berkat keberanian dan kesetiannya, Jaka Tingkir dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana dari istri yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Pernikahan ini memperkuat posisinya dalam lingkaran elit Demak, sekaligus menegaskan bahwa ia telah menjadi bagian dari dinasti penguasa. Setelah pernikahan, ia dianugerahi wilayah kekuasaan sebagai Adipati Pajang, sebuah langkah awal menuju takdir besarnya sebagai pendiri Kesultanan Pajang.
Seiring waktu, Demak mengalami gejolak politik yang berujung pada melemahnya pemerintahan pasca wafatnya Sultan Trenggana. Dalam kondisi ketidakstabilan tersebut, Jaka Tingkir muncul sebagai pemimpin yang didukung oleh para ulama dan bangsawan. Pada tahun 1458, ia dinobatkan sebagai Sultan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya oleh Panembahan Giri Prapen dan Sunan Kalijaga. Dengan penobatan ini, Pajang menjadi penerus kekuasaan Demak dan cikal bakal kerajaan-kerajaan Mataram Islam.
Sebagai sultan, Hadiwijaya memerintah selama 32 tahun. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Cempaka, ia memiliki keturunan yang kelak menjadi figur penting dalam sejarah Jawa, di antaranya Pangeran Benawa, Pangeran Sindusena, serta Ratu Mas Jepara yang menikah dengan Arya Pangiri, putra Panembahan Prawata. Salah satu garis keturunannya, melalui Kanjeng Ratu Mas Hadi, berlanjut hingga melahirkan Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa terbesar Mataram Islam.
Setelah wafat, Sultan Hadiwijaya dimakamkan di Pasareyan Butuh, Sragen, bersama putranya, Adipati Benawa. Warisannya tidak hanya dalam bentuk kekuasaan politik, tetapi juga dalam jejak genealogis yang menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa. Dari Pajang, trahnya menyebar hingga ke Mataram, dan akhirnya menjadi leluhur bagi dinasti Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang bertahan hingga kini.