JATIMTIMES - Di tengah luasnya Samudra Pasifik, terdapat tumpukan sampah raksasa yang dikenal sebagai Great Pacific Garbage Patch (GPGP). Kawasan ini bukanlah pulau sungguhan, melainkan akumulasi sampah plastik yang terperangkap dalam pusaran arus laut.
GPGP pertama kali ditemukan pada tahun 1997 dan terletak di antara California dan Hawaii. Luasnya diperkirakan mencapai 1,6 juta km², lebih besar dari gabungan wilayah Spanyol, Prancis, dan Jerman. Sampah-sampah ini berasal dari berbagai sumber, seperti sungai, kapal, serta kota-kota pesisir, yang kemudian terbawa arus hingga berkumpul di tengah laut.
Menurut penelitian yang dikutip dari Geographical, GPGP sebenarnya terdiri dari dua zona utama yang dihubungkan oleh Zona Konvergensi Subtropis Pasifik Utara. Gerakan arus laut yang melingkar menyebabkan sampah terus terakumulasi dan semakin sulit untuk dibersihkan.
Para ilmuwan juga menemukan bahwa jumlah serpihan plastik di GPGP meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. "Dalam kurun waktu tujuh tahun, kepadatan plastik naik dari 2,9 kg per km² menjadi 14,2 kg per km²," ungkap para peneliti, dikutip Geographical, Selasa (25/3/2025).
Tak hanya itu, jumlah serpihan plastik kecil juga melonjak drastis, dari satu juta partikel per km² pada 2015 menjadi lebih dari sepuluh juta partikel per km² pada 2022.
Keberadaan GPGP menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan laut. Setiap tahun, sekitar satu juta burung laut dan 100 ribu mamalia laut mati akibat menelan plastik atau terjerat sampah.
"Mikroplastik yang terurai di lautan bisa masuk ke rantai makanan, mencemari ikan, dan berpotensi membahayakan manusia yang mengonsumsinya," jelas ilmuwan lingkungan dari Ocean Cleanup, Matthias Egger.
Selain itu, mikroplastik juga berdampak pada siklus karbon laut. Zooplankton, organisme kecil yang berperan dalam menyerap karbon, sering kali mengira serpihan plastik sebagai makanan. Hal ini menghambat kemampuannya dalam menyerap karbon, yang pada akhirnya dapat memengaruhi keseimbangan iklim global.
Tak hanya itu, plastik yang mengambang di laut dapat menjadi tempat menempel bagi organisme laut asing. Spesies ini kemudian terbawa arus ke ekosistem lain dan bisa mengganggu keseimbangan biodiversitas di wilayah tersebut. "Sejarah menunjukkan bahwa spesies invasif bisa berdampak besar pada ekosistem lokal," tambah Egger.
Meskipun berbagai negara telah berupaya mengurangi polusi plastik, jumlah sampah di GPGP tetap meningkat. Para ilmuwan percaya bahwa bukan hanya plastik baru yang menjadi penyebab utama, tetapi juga plastik tua yang terus terurai menjadi fragmen lebih kecil.
Laurent Lebreton, penulis utama studi terbaru tentang GPGP, menekankan perlunya tindakan segera. "Temuan kami seharusnya menjadi peringatan bagi para pembuat kebijakan. Intervensi global yang kuat dan terkoordinasi sangat dibutuhkan," ujarnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam menangani GPGP adalah bahwa sebagian besar sampah ini tidak terlihat dengan mata telanjang. Sampah-sampah ini tersebar di permukaan laut dalam bentuk partikel kecil, sehingga sulit dideteksi meskipun seseorang berlayar melewati wilayah tersebut.
Organisasi The Ocean Cleanup, yang berbasis di Belanda, telah berupaya membersihkan lautan dari plastik sejak 2013. Mereka mengembangkan teknologi jaring berbentuk U yang mampu mengumpulkan sampah plastik di permukaan laut. Sampah yang terkumpul kemudian diekstraksi, dimuat ke kapal, dan didaur ulang.
Namun, proyek ini menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal koordinasi di tengah lautan luas. Selain membutuhkan teknologi yang efisien, pembersihan juga harus memperhatikan dampaknya terhadap ekosistem laut.
Triliunan potongan plastik kini mengapung di lautan dunia, dengan lebih dari satu juta metrik ton plastik bocor ke laut setiap tahunnya. Jika tidak segera ditangani, GPGP akan terus berkembang, membawa dampak buruk bagi ekosistem laut dan kehidupan manusia di masa depan.
Polusi plastik di lautan bukanlah masalah yang bisa diabaikan. Para ahli mendesak adanya kebijakan global yang lebih ketat dalam mengendalikan limbah plastik serta meningkatkan upaya daur ulang.
"Masyarakat dunia harus bekerja sama untuk mengurangi konsumsi plastik sekali pakai, meningkatkan teknologi daur ulang, dan mencegah lebih banyak plastik masuk ke lautan," kata Lebreton.
Jika dibiarkan, GPGP bukan hanya akan menjadi ancaman bagi ekosistem laut, tetapi juga bagi kesehatan manusia dan keberlanjutan planet ini.