JATIMTIMES - Sejarah Islamisasi di Nusantara, khususnya di tanah Jawa, sarat dengan narasi peperangan yang berkelindan dengan penyebaran agama. Salah satu episode penting dalam transisi kekuasaan dari Hindu-Buddha ke Islam adalah peran Wali Songo dalam ekspansi Kesultanan Demak. Di antara mereka, Sunan Kudus, atau Raden Ja’far Shadiq, dikenal sebagai pemimpin pasukan santri yang mengguncang hegemoni Majapahit.
Serangan terhadap Majapahit bukan sekadar perang fisik, tetapi juga perang ideologi, di mana barisan santri membawa semangat Islam untuk menumbangkan supremasi politik kerajaan yang telah berabad-abad berakar. Historiografi Jawa, seperti Serat Kandaning Ringgit Purwa dan Babad Tanah Jawi, merekam peristiwa ini dengan detail yang kaya akan unsur mistis, strategi perang, serta konflik internal dalam tubuh Majapahit sendiri.
Baca Juga : Uskup Surabaya Romo Didik Akui Dekat dan Sempat Pelajari Islam di Lingkungan Nahdlatul Ulama
Sunan Ngudung dan Awal Perang Santri
Perang antara Demak dan Majapahit dimulai pada masa Sunan Ngudung, ayahanda Raden Ja’far Shadiq. Sunan Ngudung adalah panglima pertama pasukan Demak yang berusaha menggulingkan kekuasaan Majapahit. Ia memimpin serangan besar melawan pasukan Majapahit yang dipimpin penguasa Pengging, Andayaningrat.
Namun, dalam salah satu pertempuran, Sunan Ngudung gugur di medan laga. Jubah Antakusuma yang dikenakannya, yang diyakini memiliki tuah sakti, ternyata tidak mampu menahan serangan lawan. Jenazahnya kemudian dibawa pulang ke Demak dan dimakamkan dengan penghormatan sebagai syuhada perang suci.
Sepeninggal Sunan Ngudung, komando pasukan santri jatuh ke tangan putranya, Raden Ja’far Shadiq, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus. Dengan membawa amanat ayahandanya, Sunan Kudus melanjutkan perjuangan untuk menaklukkan Majapahit, kali ini dengan strategi perang yang lebih matang serta dukungan spiritual dari para wali.
Menurut Babad Tanah Jawi, Naskah Drajat, tokoh Usman Haji disebut sebagai putra Raja Pandhita, yaitu Ali Murtadho, yang merupakan kakak dari Sunan Ampel. Sunan Ampel menempatkan Usman Haji di Jipang Panolan sebagai imam, tepatnya di Dusun Ngudung. Ia kemudian menjalani pertapaan di Gunung Jambangan selama tiga bulan sepuluh hari, hingga akhirnya mencapai derajat wali dan dikenal sebagai Sunan Ngudung. Dalam perjalanan hidupnya, Usman Haji menikahi Dewi Sri, putri Tumenggung Wilatikta, dan dari pernikahan itu lahirlah Dewi Sujinah dan Amir Haji. Selain itu, ia juga menikahi Siti Syarifah, cucu Sunan Ampel, dan memiliki seorang putra bernama Amir Hasan. Dari keturunannya inilah kemudian lahir sosok yang dikenal sebagai Sunan Kudus.
Sumber lain, seperti Naskah Wali Sana Babadipun Parawali, mengisahkan bahwa Ali Murtadho, yang juga disebut sebagai Raja Pandhita Agung, diangkat menjadi imam di Gresik oleh penguasa Surabaya yang telah memeluk Islam, Arya Lembu Sora. Raden Ali Murtadho, yang juga dikenal sebagai Raden Santri, menikah dengan Dyah Retna Maninjung, putri Arya Teja, penguasa Tuban. Dari pernikahan ini, lahir Usman Haji, yang kelak dikenal sebagai Sunan Ngudung. Sementara itu, menurut Babad Cerbon, Raja Pandhita atau Ali Murtadho juga dinikahkan oleh Raja Majapahit dengan putri Arya Ringin dari Madura, dan dari pernikahan tersebut lahir tiga anak, yaitu Khalifah Haji Usman (Usman Haji), Lebe Tuban, dan seorang putri.
Usman Haji, yang juga disebut sebagai Sunan Ngudung, memiliki hubungan erat dengan keluarga Sunan Ampel, karena ia menikahi sepupunya sendiri, Nyai Gedeng Malaka, yang merupakan putri Sunan Ampel. Berdasarkan berbagai catatan historiografi, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Cerbon, dan Wali Sana Babadipun Parawali, serta catatan silsilah Sunan Kudus, dapat disimpulkan bahwa Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq adalah cucu buyut dari Syaikh Ibrahim as-Samarkandi, ulama besar yang dimakamkan di Gisikharjo, Palang, Tuban. Sunan Kudus merupakan keturunan langsung dari Sunan Ngudung, yang diangkat sebagai imam Masjid Agung Demak dengan gelar Penghulu, sebagaimana disebut dalam Hikayat Hasanuddin. Sunan Kudus sendiri kemudian dikenal sebagai imam kelima di Masjid Agung Demak, melanjutkan peran ayahandanya dalam jaringan ulama dan kepemimpinan Islam di Nusantara.
Pusaka dan Dukungan Wali Songo dalam Perang
Perang antara santri Demak melawan sisa kekuatan Majapahit, tidak hanya melibatkan kekuatan fisik, tetapi juga sarat dengan simbolisme spiritual. Sunan Kudus menerima berbagai pusaka sakti yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Di antaranya adalah Pusaka Ki Suradadi dari Sunan Giri, yang konon mampu menggetarkan hati musuh. Selain itu, terdapat Badhong, sebuah golok bertuah dari Sunan Gunung Jati yang diyakini memiliki kekuatan mistis. Yang paling luar biasa adalah Peti Pusaka dari Arya Damar, yang apabila dibuka dikatakan dapat menimbulkan badai, hujan lebat, serta memunculkan pasukan gaib.
Pusaka-pusaka ini bukan sekadar perlengkapan perang, melainkan juga simbol keabsahan perjuangan Demak melawan Majapahit. Dalam historiografi Jawa, kekuatan spiritual dan keajaiban seringkali menjadi elemen yang tak terpisahkan dari legitimasi sebuah peperangan.
Serangan pertama dan kedua terhadap Majapahit belum memberikan hasil yang signifikan. Baru pada serangan ketiga, di bawah komando Sunan Kudus, pasukan santri berhasil menggoyahkan pertahanan Majapahit.
Dalam pertempuran ini, Adipati Terung, salah satu panglima Majapahit, menjadi tokoh kunci. Adipati Terung awalnya diharapkan menjadi benteng pertahanan terakhir Majapahit, tetapi ketika ia mengetahui bahwa lawannya adalah Raden Ja’far Shadiq—yang tidak lain adalah menantunya sendiri—ia memilih untuk menarik diri ke barisan belakang.
Kehadiran pasukan santri yang dipimpin Sunan Kudus dan didukung pusaka-pusaka sakti menciptakan ketakutan di kalangan pasukan Majapahit. Saat peti pusaka dari Palembang dibuka, hujan badai menyelimuti medan perang, diikuti oleh kemunculan pasukan gaib yang membuat pasukan Majapahit tercerai-berai.
Akhirnya, pasukan Demak berhasil merangsek ke dalam jantung pertahanan Majapahit. Perlawanan terakhir dilakukan oleh para senopati kerajaan, tetapi mereka tidak mampu menahan gempuran pasukan santri yang bertempur dengan semangat jihad. Dalam beberapa hari, Majapahit jatuh ke tangan Demak, mengakhiri era kejayaan Hindu-Buddha di tanah Jawa.
Pasca Kejatuhan Majapahit: Perubahan Geopolitik Jawa
Setelah kemenangan besar ini, Sunan Kudus membawa pusaka-pusaka Majapahit ke Demak. Sebelum akhirnya diserahkan kepada Sultan Demak, pusaka-pusaka ini terlebih dahulu ditempatkan di Giri Kedhaton selama empat puluh hari sebagai bentuk penyucian.
Adipati Terung, yang memilih untuk tidak bertempur, akhirnya dibawa ke Demak dan menjadi bagian dari pemerintahan baru. Sementara itu, anaknya, Arya Terung, memimpin pasukan Demak untuk menyerang sisa kekuatan Majapahit yang bertahan di Sengguruh (Malang Selatan). Pasukan Demak berhasil mengusir sisa-sisa pasukan Majapahit, yang akhirnya melarikan diri ke wilayah Pasuruan dan Tengger.
Baca Juga : Rekomendasi Bahan Hijab Adem dan Gampang Diatur, Cocok untuk Lebaran
Dua wilayah strategis, Sengguruh dan Blitar, kemudian dijadikan wilayah bawahan Demak. Arya Terung diangkat sebagai adipati Sengguruh, sementara adiknya, Arya Balitar, diangkat sebagai Adipati Blitar. Dengan demikian, Demak tidak hanya berhasil menghancurkan Majapahit, tetapi juga memperluas pengaruhnya ke wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu-Buddha.
Berdasarkan silsilah, Sunan Kudus merupakan menantu Raden Kusen, Adipati Terung, yang sekaligus adalah saudara Raden Patah, Sultan Demak pertama. Dengan demikian, Sunan Kudus memiliki ikatan kekerabatan dengan Adipati Sengguruh dan Arya Balitar (Adipati Balitar/Blitar), yang merupakan putra-putra Raden Kusen. Hubungan keluarga ini menunjukkan keterkaitan erat antara Sunan Kudus dengan elite penguasa Demak serta wilayah-wilayah strategis di Jawa pada masa itu, termasuk Terung, Sengguruh, dan Blitar. Selain memperkuat posisi politiknya, hubungan ini juga mencerminkan peran penting Sunan Kudus dalam jaringan keagamaan Kesultanan Demak, khususnya dalam penyebaran Islam dan penguatan legitimasi kekuasaan berbasis keislaman di berbagai daerah.
Dari pernikahannya dengan putri Adipati Terung, Sunan Kudus dikaruniai tujuh anak, yaitu Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Karimun, Panembahan Kali, Ratu Pradabinabar yang menikah dengan Pangeran Pancawati, serta Panembahan Joko yang wafat dalam usia muda.
Kontroversi: Sunan Kudus dan Eksekusi Ki Ageng Pengging
Kemenangan Demak atas Majapahit tidak serta-merta mengakhiri konflik internal di Jawa. Salah satu peristiwa paling kontroversial dalam historiografi Islam di Jawa adalah eksekusi Ki Ageng Pengging, seorang bangsawan yang dianggap membangkang terhadap otoritas Demak. Selain itu, Ki Ageng Pengging juga dikenal sebagai murid kesayangan Syekh Siti Jenar.
Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, Sunan Kudus diperintahkan oleh Sultan Demak untuk menumpas pemberontakan Ki Ageng Pengging. Pertemuan mereka diwarnai perdebatan filosofis mengenai ajaran Islam, di mana Ki Ageng Pengging menolak anggapan bahwa ia menyimpang dari ajaran agama.
Dalam narasi ini, Sunan Kudus akhirnya mengeksekusi Ki Ageng Pengging dengan menggoreskan keris ke sikunya. Namun, Ki Ageng Pengging sendiri dikisahkan memilih kematiannya sebagai bentuk realisasi ajaran tasawuf yang dianutnya, yakni "mati dalam hidup, hidup dalam mati".
Babad Tanah Jawi dan Babad Pengging juga mencatat peristiwa ini, meskipun dengan variasi cerita yang berbeda. Menariknya, historiografi kolonial, seperti yang ditulis oleh Th.G.Th. Pigeaud dalam Literature of Java (1967-1980), lebih menekankan pada peran politik Demak dalam memadamkan potensi ancaman dari tokoh-tokoh Islam yang tidak sejalan dengan kebijakan kesultanan.
Sunan Kudus: Dakwah, Militer, dan Politik
Peran Sunan Kudus dalam ekspansi Islam di Jawa tidak hanya terbatas pada dakwah, tetapi juga melibatkan strategi militer dan politik tingkat tinggi. Keberhasilannya dalam memimpin pasukan santri dalam perang melawan Majapahit menandai berakhirnya supremasi Hindu-Buddha dan awal dari dominasi politik Islam di tanah Jawa.
Namun, kemenangan Demak bukanlah akhir dari konflik. Perlawanan sisa-sisa kekuatan Majapahit di daerah Pasuruan dan Tengger, serta pergolakan internal di tubuh Islam sendiri, menunjukkan bahwa transisi dari era Majapahit ke era Demak bukanlah proses yang sederhana.
Historiografi Jawa yang kaya dengan elemen mistik, kepahlawanan, dan simbolisme keagamaan memberikan perspektif yang unik dalam memahami perang ini. Antara fakta sejarah dan mitos, kisah Sunan Kudus menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang Islam di Nusantara.