JATIMTIMES - Mendaki gunung bukan hanya soal menaklukkan puncak atau menikmati keindahan alam, tetapi juga tentang memahami tradisi, mitos, dan kepercayaan yang melekat pada perjalanan itu sendiri. Salah satu mitos yang cukup dikenal di kalangan pendaki adalah larangan mendaki dengan jumlah rombongan ganjil.
Kepercayaan ini tidak hanya berkembang di satu wilayah, tetapi tersebar luas di berbagai gunung di Indonesia, seperti Gunung Lawu, Gunung Slamet, dan Gunung Semeru. Lantas, apa yang sebenarnya mendasari larangan ini, dan adakah alasan logis di baliknya?
Mengutip dari Quora, masyarakat Jawa meyakini bahwa angka ganjil memiliki nilai magis. Ada yang percaya bahwa pendakian dengan jumlah ganjil dapat mengundang kejadian aneh atau musibah.
Sebagian cerita bahkan menyebutkan bahwa rombongan dengan jumlah ganjil akan "digenapkan" oleh entitas gaib, atau salah satu anggota justru akan tersesat. Meski terdengar mistis, kepercayaan ini tetap diyakini oleh sebagian pendaki hingga kini.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang logis, mendaki dengan jumlah ganjil sebenarnya memiliki keuntungan. Misalnya, dalam situasi mendesak yang membutuhkan pengambilan keputusan, jumlah ganjil memudahkan proses voting tanpa risiko suara imbang. Di sisi lain, ada pula yang beranggapan bahwa angka ganjil tidak memiliki pengaruh apa pun dan sama saja dengan angka genap.
Keunikan mitos ini juga terlihat pada Gunung Lawu yang dikenal sebagai salah satu gunung penuh misteri di Tanah Jawa. Gunung ini memiliki tiga puncak sakral, yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan Hargo Dumilah. Puncak Hargo Dalem dipercaya sebagai tempat menghilangnya Prabu Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit, sementara Hargo Dumiling dikaitkan dengan hilangnya abdi setianya, Ki Sabdopalon. Puncak Hargo Dumilah sendiri diyakini menjadi tempat meditasi bagi penganut kejawen.
Sardi, pemilik warung di sekitar pos pendakian Cemoro Kandang, memperingatkan para pendaki untuk menaati larangan ini. Menurutnya, rombongan yang ingin mendaki Gunung Lawu sebaiknya berjumlah genap untuk menghindari kesialan.
“Jangan naik puncak jika jumlah pendakinya ganjil, takutnya nanti akan tertimpa kesialan. Satu hal lagi yang harus diingat, jika tiba-tiba ada kabut dingin dibarengi suara gemuruh, jangan nekat naik. Turun saja atau berbaring tertelungkup di tanah," jelas Sardi, masih dikutip Quora.
Meskipun mitos ini belum tentu benar, mendaki gunung tetap membutuhkan persiapan matang, termasuk menjaga keselamatan diri dan anggota rombongan. Entah percaya atau tidak, menghormati kepercayaan setempat adalah salah satu cara menjaga harmoni saat berada di alam.