JATIMTIMES – Keputusan hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Blitar, M Iqbal Hutabarat, yang menolak gugatan praperadilan Glady Tri Handono, tersangka kasus korupsi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) senilai Rp 1,4 miliar, menuai kritik tajam dari pihak kuasa hukum.
Keputusan tersebut dianggap janggal lantaran menggunakan dasar hukum yang belum berlaku saat status tersangka ditetapkan.
Baca Juga : Kasus DBD di Blitar Awal Tahun Tinggi, PSN Jadi Kunci Pencegahan
Dalam sidang putusan yang berlangsung di PN Blitar, Senin (13/1/2025), hakim Iqbal menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SE-MA) No. 2 Tahun 2024 yang ditetapkan pada 17 Desember 2024 sebagai salah satu dasar pertimbangan.
Padahal, status tersangka Glady Tri Handono ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri Blitar pada 9 Desember 2024, jauh sebelum SE-MA tersebut berlaku.
"Ini jelas melanggar asas non-retroaktif, di mana sebuah aturan hukum tidak boleh berlaku surut," tegas Hendi Priono, juru bicara tim kuasa hukum Glady, Selasa (14/1/2025).
Hendi menambahkan, seharusnya hakim merujuk pada SE-MA No. 4 Tahun 2016 yang berlaku saat status tersangka ditetapkan.
Hendi juga mempertanyakan validitas bukti kerugian negara yang digunakan dalam persidangan. Bukti T-18, berupa laporan perbandingan volume pekerjaan, disusun oleh seorang ahli teknik, bukan akuntan publik bersertifikasi.
"Bukti ini hanya berupa analisis konstruksi dan RAB, tanpa menetapkan kerugian negara secara nyata," ujarnya.
Dalam SE-MA No. 2 Tahun 2024 disebutkan bahwa kerugian negara harus ditentukan oleh akuntan publik yang bersertifikasi, namun hakim justru mengandalkan pendapat tenaga ahli bidang teknik.
"Ini semakin memperkuat alasan kami untuk melaporkan keputusan ini ke Komisi Yudisial (KY)," tambah Hendi.
Saat dikonfirmasi, hakim Iqbal mengaku keputusan tersebut sudah melalui kajian mendalam. Ia beralasan bahwa tanggal gugatan praperadilan yang didaftarkan pada 19 Desember 2024, menjadi dasar penggunaan SE-MA No. 2 Tahun 2024.
"Syarat formil dalam proses penyelidikan hingga penyidikan sudah terpenuhi. Jika ada syarat formil yang tidak dipenuhi, tentu putusannya akan berbeda," kata Iqbal usai sidang.
Namun, kuasa hukum Glady menilai alasan tersebut tidak relevan. "Tindakan ini berpotensi menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum," pungkas Hendi.
Baca Juga : Pemkot Surabaya Desak Kemenkomdigi Blokir Aplikasi Koin Jagat
Kasus Korupsi IPAL Bernilai Fantastis
Kasus ini bermula dari dugaan korupsi proyek IPAL senilai Rp 1,4 miliar pada 2022, dengan potensi kerugian negara sekitar Rp 500 juta. Glady Tri Handono, yang menjabat sebagai pelaksana proyek, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Blitar pada 9 Desember 2024.
Gugatan praperadilan diajukan oleh Glady pada 19 Desember 2024, dengan alasan penetapan status tersangka tidak sah karena tidak sesuai prosedur.
Meski gugatan ditolak, tim kuasa hukum Glady berencana mengkaji putusan tersebut lebih lanjut dan mempertimbangkan pelaporan ke KY.
"Kami akan memastikan langkah ini diambil sesuai prosedur hukum demi keadilan," ungkap Hendi.
Kasus ini menjadi perhatian publik, mengingat besarnya nilai proyek yang terlibat dan dugaan pelanggaran prosedural dalam proses hukum. Sementara itu, pihak Kejaksaan Negeri Blitar mengaku siap menghadapi proses hukum lanjutan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Glady.
Kasus ini menyoroti pentingnya kejelasan dasar hukum dalam setiap proses peradilan. Penggunaan aturan yang belum berlaku saat penetapan tersangka dinilai sebagai bentuk penyimpangan. Jika tidak segera diselesaikan dengan transparansi, kasus ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Pihak KY diharapkan segera menindaklanjuti laporan yang akan diajukan, guna memastikan independensi dan profesionalisme para hakim tetap terjaga. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bahwa asas keadilan harus menjadi prioritas utama dalam sistem peradilan Indonesia.