free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Jejak Sejarah Rumah Eyang Ndoro Tedjo: Napak Tilas Kiprah Wedana Pertama Srengat

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

06 - Jan - 2025, 07:30

Placeholder
Rumah Ndoro Tedjo: Saksi Bisu Perubahan Zaman di Srengat. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Minggu sore, 5 Januari 2025, pewarta JatimTIMES menyusuri jejak masa lalu dengan mengunjungi sebuah rumah bersejarah di Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Rumah ini adalah peninggalan Raden Sutedjo, atau yang dikenal sebagai Ndoro Tedjo, wedana pertama Srengat setelah kabupaten ini diturunkan statusnya menjadi kawedanan pada 1834 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sosok Ndoro Tedjo dikenang sebagai pemimpin cerdas dan strategis yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan kolonial dan kebutuhan masyarakat lokal.

Srengat di Bawah Bayang Sejarah

Sebelum menjadi bagian dari Kabupaten Blitar, Srengat adalah kabupaten mandiri di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Sejarah panjangnya dimulai dari era Adipati Nila Suwarna pada abad ke-16, yang mempertahankan wilayah ini dari tekanan Kesultanan Demak. 

Baca Juga : Beredar Rumor Shin Tae-yong Dipecat dari Pelatih Timnas Indonesia, Benarkah? 

Srengat kemudian menjadi saksi dinamika kekuasaan Mataram Islam hingga pengaruh kolonial Belanda pada abad ke-19. Pada 1834, melalui kebijakan administrasi Hindia Belanda, Srengat dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Blitar, dan Ndoro Tedjo ditunjuk sebagai wedana pertamanya.

Ndoro Tedjo tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga dikenal karena perannya melindungi bekas pasukan Pangeran Diponegoro yang bermukim di Srengat. Dikenal berasal dari Ponorogo dan keturunan Pangeran Sambernyawa pendiri Kadipaten Mangkunegaran, beliau membawa warisan kepemimpinan yang mengakar dalam tradisi Jawa, sekaligus mampu beradaptasi dengan tuntutan kolonial.

Menyusuri Jejak di Rumah Sejarah

Rumah Eyang Ndoro Tedjo, meski kini hanya menyisakan bale utama, tetap memancarkan aura masa lalu. Halaman tanah yang luas, pagar tanaman alami, dan nuansa tradisional Jawa yang masih terjaga seolah membawa pengunjung kembali ke dekade abad ke-19.

“Saya itu di sini mantu. Suami saya, yang keturunan langsung Eyang Ndoro Tedjo, sudah meninggal. Baru saja seribu harinya,” ujar Farida, penghuni rumah saat ini. 

Farida dengan ramah mengundang kami masuk, menunjukkan beberapa peninggalan yang masih tersisa. “Bivet dan meja ini masih asli dari masa Eyang,” katanya sambil menunjuk perabot antik yang terawat baik.

Namun, peninggalan yang paling menarik perhatian adalah sebuah artefak sejarah: jas, udeng, dan keris kecil milik Ndoro Tedjo. Dengan hati-hati, Farida mengeluarkannya dari tas besar yang ia simpan di kamar. 

“Ini dulu pernah mau diminta oleh orang pemda, tapi keluarga tidak mau memberikannya. Ini wasiat keluarga, buat kenang kenangan dan saya yang merawatnya sekarang,” ungkap Farida.

Jas yang dipamerkan adalah saksi bisu perjalanan Ndoro Tedjo sebagai pejabat kolonial dan tokoh lokal yang disegani. Keris kecil yang menyertainya, menurut Farida, adalah simbol kepemimpinan dan keberanian.

Srengat: Dari Kabupaten ke Kawedanan

Transformasi Srengat dari kabupaten menjadi kawedanan adalah bagian dari strategi politik Belanda pasca-Perang Diponegoro. Belanda, melalui Perjanjian Sepreh pada 1830, mengakhiri kekuasaan langsung Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta di wilayah Mancanegara Wetan, termasuk Srengat. 

Pada masa itu, Kabupaten Srengat dikenal sebagai wilayah yang tegas menolak hasil Perjanjian Sepreh, menunjukkan sikap perlawanan dengan tidak mau tunduk atau masuk ke dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda.

Penurunan status ini berdampak besar pada struktur pemerintahan lokal. Ndoro Tedjo, sebagai wedana pertama, menghadapi tantangan berat dalam menjaga stabilitas wilayah yang kaya akan sejarah perlawanan. Di satu sisi, ia harus mematuhi kebijakan kolonial, sementara di sisi lain, ia berusaha melindungi masyarakat lokal, termasuk kelompok-kelompok yang terpinggirkan setelah perang.

Djajengkoesoemo: Pengganti yang Tak Kalah Populer

Ndoro Tejo menjabat sebagai Wedana Srengat hingga usia senja, meninggalkan jejak kepemimpinan yang dihormati oleh masyarakat setempat. Pada tahun 1887, posisinya digantikan oleh Raden Mas Tumenggung Djajengkoesoemo, seorang tokoh yang tidak kalah populer dan memiliki peran penting dalam sejarah Srengat serta wilayah sekitarnya. 

Sebagai pemimpin yang berasal dari garis keturunan bangsawan terkemuka, Djajengkoesoemo membawa pengaruh yang kuat dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah, menjadikannya sosok yang dihormati dan dikenang.

Raden Mas Tumenggung Djajengkoesoemo lahir dari keluarga ningrat yang terpandang. Ayahnya, Raden Mas Tumenggung Djajaningrat, merupakan Bupati Ngrowo kelima, sedangkan kakeknya, Kiai Tondowidjojo, menjabat sebagai Bupati Ngrowo kedua. Keluarga ini memiliki hubungan erat dengan berbagai tokoh penting lainnya, termasuk Raden Ronggo Prawirodirdjo I, Bupati Wedana Madiun keempatbelas, yang dikenal sebagai panglima perang Giyanti dan tangan kanan Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta. Selain itu, hubungan keluarganya dengan Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta memperkuat posisinya dalam jaringan kekuasaan yang luas.

Kepemimpinan Djajengkoesoemo telah tampak sejak usia muda. Kisah keberaniannya melawan anak-anak Belanda hanya dengan satu tendangan menjadi cerminan keberanian yang sudah tertanam sejak kecil, meskipun sering membuat ayahnya geram. 

Baca Juga : Berlaku Mulai Hari ini, Begini Simulasi Perhitungan Opsen Pajak dan Besarannya

Karirnya dimulai pada tahun 1844 sebagai Wedono di Kadipaten Ngrowo. Di sini, ia mulai menunjukkan keahliannya dalam mengelola wilayah dan membangun infrastruktur. Setelah itu, ia berpindah ke Srengat dan kemudian ke Nganjuk, di mana namanya semakin dikenal sebagai pemimpin yang efektif, peduli, dan inovatif.

Salah satu proyek penting yang dirampungkan Djajengkoesoemo adalah pembangunan Bendungan Pakel, rumah Kawedanan di Kalidawir, dan Bendungan Kali Lo, yang dibiayai dari dana pribadinya. Sikapnya yang tegas namun berhati hangat membuatnya dihormati oleh masyarakat. Ia bahkan sering terlibat langsung dalam proyek-proyek pembangunan, seperti saat melihat pembangunan Jembatan Ngujang dan langsung mengambil peran aktif di dalamnya.

Pada tahun 1880, Djajengkoesoemo memainkan peran penting dalam pengelolaan hutan Demuk. Dengan dukungan Belanda, ia memimpin proyek pembukaan hutan tersebut dan pada tahun 1894 mendapatkan izin untuk membagi wilayahnya menjadi beberapa bagian untuk dikelola lebih lanjut. Meskipun ia wafat beberapa tahun setelah proyek ini, tanah tersebut tetap menjadi miliknya dan diwariskan kepada keturunannya.

Raden Mas Tumenggung Djajengkoesoemo wafat di Desa Demuk, Kecamatan Pucanglaban, dan dimakamkan di sana. Makamnya kini dianggap sebagai tempat yang keramat dan menjadi saksi bisu warisan kepemimpinan serta kontribusinya bagi masyarakat. Aset-aset yang ia tinggalkan, termasuk tanah dan proyek-proyek pembangunan, dilanjutkan oleh putranya, Raden Mas Margono Purbokoesoemo. Hingga kini, nama Djajengkoesoemo tetap dihormati sebagai pemimpin yang berjasa besar dalam sejarah Srengat dan Tulungagung.

Warisan yang Tersisa

Meski rumah utama Eyang Ndoro Tedjo kini hanya tinggal kenangan, artefak-artefak seperti jas dan keris kecilnya menjadi simbol penting dari masa lalu. “Rumah ini dulu pernah sering didatangi orang-orang yang tertarik dengan sejarah. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang Eyang Ndoro Tedjo dan perannya di masa lalu,” ujar Farida.

Namun, tantangan pelestarian tetap ada. Dengan kondisi bangunan yang mulai rapuh dan terbatasnya dukungan pemerintah, menjaga warisan ini menjadi tugas berat bagi keluarga. 

Harapan besar disematkan kepada pemerintah daerah agar tanggap dan berperan aktif dalam melestarikan rumah Eyang Ndoro Tedjo sebagai bagian dari situs sejarah yang berharga. Rumah tersebut bukan sekadar bangunan tua, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan panjang Srengat dalam melawan dominasi kolonial dan menjaga identitasnya. Pelestarian ini tidak hanya penting untuk menghormati jasa-jasa Ndoro Tedjo, tetapi juga untuk memberikan edukasi sejarah kepada generasi mendatang, sehingga nilai-nilai perjuangan tetap hidup di tengah masyarakat.

Mengenang Perjalanan Kabupaten Srengat

Menelusuri jejak Srengat adalah menelusuri dinamika politik dan budaya Jawa. Dari masa Adipati Nila Suwarna yang mempertahankan kekuasaan Hindu-Buddha, hingga era Mertodiningrat II yang menentang Belanda, Srengat adalah saksi bisu pergulatan kekuasaan di Jawa Timur.

Transformasi Srengat menjadi bagian dari Kabupaten Blitar menandai akhir era mandiri kabupaten ini, tetapi semangat para pemimpinnya tetap hidup melalui cerita-cerita yang diwariskan. Ndoro Tedjo, dengan jas dan keris kecilnya, menjadi simbol peralihan zaman—dari kekuasaan tradisional ke kolonial.

Rumah bersejarah Eyang Ndoro Tedjo bukan hanya bangunan fisik, melainkan cerminan perjuangan dan adaptasi masyarakat Jawa menghadapi perubahan zaman. Saat kita melangkah di halamannya, kita tidak hanya menapak tanah, tetapi juga menyusuri jejak sejarah yang kaya akan cerita kepemimpinan, perlawanan, dan kebijakan bijak seorang wedana pertama Srengat.

 

 


Topik

Serba Serbi ndoro tedjo wedana srengat kabupaten blitar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana