JATIMTIMES- Pernahkah kita membayangkan bagaimana seorang tokoh besar seperti KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, menjelajahi dimensi spiritual yang melampaui pandangan umum? Gus Dur, dengan pandangan spiritualnya yang tajam dan keberaniannya melampaui batas tradisi, meninggalkan jejak cerita yang luar biasa dalam ziarahnya ke makam Eyang Gusti Aji di kaki Gunung Lawu.
Sebuah Perjalanan yang Tak Biasa
Baca Juga : Wisata Gunung Bromo Tutup Sementara Akhir Wulan Kapitu, Berikut Jadwalnya!
Melansir berbagai sumber, ziarah ini berawal dari percakapan santai antara Gus Dur dan asisten pribadinya, Ki Sastro al Ngatawi. Saat Gus Dur mengutarakan niat untuk mengunjungi makam yang terkenal sebagai tempat ziarah kaum abangan, Ki Sastro merasa heran.
"Gus, serius mau ajak ziarah ke Gunung Lawu? Itu kan tempatnya kaum abangan," tanya Ki Sastro dengan penuh keheranan. Gus Dur, dengan nada tenang namun tegas, menjawab, "Iya, kita tahlil di sana."
Keteguhan Gus Dur mencerminkan pandangannya yang melampaui sekat-sekat keagamaan konvensional. Baginya, tempat bukanlah penghalang untuk menyampaikan doa dan penghormatan. Dalam perjalanan ke Gunung Lawu, Ki Sastro mulai merasakan bahwa ini bukan ziarah biasa, melainkan perjalanan spiritual yang akan mengubah pandangannya.
Makam yang Menyimpan Misteri
Makam Eyang Gusti Aji yang mereka tuju memiliki reputasi unik. Tempat ini lebih dikenal sebagai pusat spiritual kaum abangan, yang sering kali dianggap berbeda dari Islam arus utama. Namun, Gus Dur melihat lebih dalam, melampaui prasangka, menuju inti spiritualitas yang menyatukan semua tradisi.
Setibanya di makam, Gus Dur memimpin doa dan tahlil. Ritual ini membawa suasana khusyuk yang berbeda, seakan menyatukan berbagai aliran ke dalam harmoni spiritual. Seusai tahlil, juru kunci makam mengundang Gus Dur masuk ke sebuah gedung gelap yang menyimpan berbagai pusaka.
Di dalam kegelapan gedung, Gus Dur memilih sebuah Al-Qur’an dan sehelai selendang. Ketika diminta mengembalikan Al-Qur’an, Gus Dur dengan ikhlas mematuhi, tetapi selendang tersebut diizinkan untuk dibawa pulang. Selendang itu, menurut Gus Dur, memiliki makna simbolis yang hanya bisa dipahami melalui intuisi spiritual.
Wali Quthub yang Tersembunyi
Setelah keluar dari gedung pusaka, Gus Dur membuat pernyataan yang mengejutkan. "Beliau yang dimakamkan di sini adalah Wali Quthub yang menyembunyikan diri," ungkapnya. Dalam tradisi Islam, Wali Quthub adalah tokoh spiritual dengan kedekatan luar biasa kepada Allah, yang sering kali memilih untuk tidak menampakkan diri secara eksplisit.
Pernyataan ini mengubah pandangan Ki Sastro dan juru kunci tentang makam tersebut. Bukan sekadar tempat ziarah kaum abangan, makam Eyang Gusti Aji ternyata menyimpan rahasia spiritual yang jauh lebih mendalam.
Pelajaran dari Perjalanan Spiritual Gus Dur
Kisah ini mengajarkan banyak hal tentang kedalaman spiritualitas Gus Dur. Beliau tidak hanya seorang pemikir besar, tetapi juga seorang pelaku spiritual yang memahami pentingnya menjelajahi berbagai dimensi kehidupan. Dalam pandangannya, keberagaman adalah rahmat, dan setiap tradisi memiliki nilai spiritual yang patut dihormati.
Ziarah ini juga menunjukkan keluasan pandangan Gus Dur. Beliau tidak pernah membatasi dirinya pada satu aliran atau kelompok tertentu. Sebaliknya, beliau selalu membuka diri untuk belajar dan memahami tradisi lain, selama tradisi tersebut membawa kedamaian dan kebaikan.
Dialog dengan Tradisi Lokal
Baca Juga : Gandeng Diskominfo, Kemenag Kota Malang Komitmen Tingkatkan Digitalisasi Layanan
Ziarah ke makam Eyang Gusti Aji adalah bentuk dialog spiritual Gus Dur dengan tradisi lokal. Dalam praktiknya, Gus Dur mengajarkan bahwa toleransi tidak hanya berhenti pada menerima keberagaman, tetapi juga pada memahami dan menghormati tradisi lain.
Ritual yang dilakukan Gus Dur di makam tersebut bukan hanya penghormatan kepada Eyang Gusti Aji, tetapi juga penghormatan kepada tradisi masyarakat sekitar. Dalam perspektif Gus Dur, perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan untuk memperluas pemahaman kita tentang kehidupan.
Pusaka Spiritual yang Abadi
Selendang yang dibawa pulang oleh Gus Dur menjadi simbol dari pengalaman spiritual ini. Selendang itu tidak hanya memiliki nilai materi, tetapi juga makna mendalam sebagai pengingat bahwa spiritualitas sejati melampaui sekat-sekat agama dan budaya.
Melalui pengalaman ini, Gus Dur mengingatkan kita untuk selalu membuka hati dan pikiran. Hidup adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam, dan setiap pertemuan, baik dengan manusia maupun tradisi, adalah kesempatan untuk belajar.
Warisan Gus Dur
Pengalaman spiritual di Gunung Lawu menjadi salah satu warisan Gus Dur yang paling berharga. Beliau tidak hanya dikenang sebagai tokoh nasional, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang mengajarkan nilai-nilai universal.
Melalui kisah ini, kita belajar bahwa spiritualitas tidak pernah statis. Ia adalah perjalanan yang terus berkembang, dan Gus Dur menunjukkan bahwa kita harus berani melangkah ke tempat-tempat baru, memahami tradisi-tradisi yang berbeda, dan melihat keindahan dalam keberagaman.
Ziarah Gus Dur ke makam Eyang Gusti Aji adalah pengingat bahwa hidup ini penuh dengan rahasia spiritual yang hanya bisa kita pahami jika kita membuka diri terhadap kemungkinan yang tak terbatas.