free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Hasan Ali dan San Ali Anshar: Dua Tokoh Palsu yang Menyebarkan Ajaran Sesat atas Nama Syekh Siti Jenar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

29 - Dec - 2024, 15:54

Placeholder
Ilustrasi: Hasan Ali (kiri) dan San Ali Anshar (kanan) adalah dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, namun menyebarkan ajaran yang menyimpang. Di tengah adalah ilustrasi Syekh Siti Jenar yang asli, seorang ulama besar abad ke-15 dengan ajaran tasawuf yang mendalam. (Foto: Dibuat dengan AI/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah tasawuf Jawa, nama Syekh Siti Jenar kerap menjadi subjek perdebatan tajam. Ia adalah figur kontroversial yang ajarannya diwarnai dengan polemik dan sering dianggap menyimpang oleh Wali Songo, ulama yang memegang otoritas keagamaan di Kesultanan Demak. 

Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa sebagian besar tuduhan tersebut justru berasal dari tindakan dua tokoh lain yang memanfaatkan nama Syekh Siti Jenar untuk menyebarkan ajaran mereka sendiri: Hasan Ali dan San Ali Anshar.

Akar Masalah: Identitas Ganda Syekh Siti Jenar

Baca Juga : Naura Ghibrani Sandang Putri Garudeya 2024, Ini Pesan Dirut Perumda Jasa Yasa

Berbagai naskah sejarah menyebutkan bahwa Wali Songo sempat menjatuhkan hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar. Namun, setelah investigasi mendalam, ditemukan fakta mengejutkan: sebagian besar ajaran yang dianggap menyimpang berasal dari dua individu yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar. Hasan Ali dan San Ali Anshar adalah tokoh di balik ajaran sesat ini, yang menyesatkan masyarakat dan merusak citra Syekh Siti Jenar sebagai seorang wali yang sebenarnya.

Hasan Ali dihukum mati di Cirebon oleh Sunan Gunung Jati. Sedangkan San Ali Anshar dieksekusi di wilayah Demak oleh Sunan Kalijaga. Kisah keduanya adalah peringatan akan bahaya manipulasi keagamaan dalam sejarah Islam di Jawa.

Hasan Ali: Dari Kebatinan ke Penyimpangan

Hasan Ali, atau Raden Anggaraksa, adalah sosok kompleks yang berasal dari keluarga bangsawan Cirebon. Ayahnya, Rsi Bungsu, merupakan cucu Prabu Surawisesa dari Kerajaan Galuh Pakuan. Meski memiliki latar belakang Hindu-Buddha yang kuat, Raden Anggaraksa memilih masuk Islam, sebuah keputusan yang ditentang keras oleh ayahnya.

Dalam pelarian ke Giri Amparan Jati, ia berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, yang memberinya nama Hasan Ali. Namun, alih-alih mendalami tauhid, Hasan Ali semakin tertarik pada mistik dan ilmu sihir. Ia bahkan mendirikan pedukuhan Lemah Abang di Cirebon, meniru nama lokasi asli Syekh Siti Jenar. Dengan mengaku sebagai Syekh Lemah Abang, ia mulai menyebarkan ajaran yang menggabungkan elemen tasawuf, animisme lokal, dan sihir.

Ajaran Hasan Ali mengutamakan kekuatan “aku” manusia sebagai manifestasi Ilahi, bertentangan dengan prinsip Syekh Siti Jenar yang menekankan penghapusan ego untuk mencapai Tuhan. Ritual-ritualnya, seperti doa Sindung Kraton, menggunakan zikir dan pernapasan untuk memanipulasi kekuatan spiritual demi keuntungan duniawi.

San Ali Anshar: Penyimpangan Berbalut Agama

Berbeda dengan Hasan Ali, San Ali Anshar lebih dikenal karena praktik zikir berjemaah yang melibatkan laki-laki dan perempuan dalam suasana yang emosional dan tidak terkendali. Praktik ini melibatkan pengucapan mantra secara berulang hingga peserta mengalami ekstase spiritual. Ironisnya, ajaran ini kerap disertai dengan tindakan yang melanggar norma agama, seperti ritual campur baur di halaman masjid.

San Ali Anshar memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat awam untuk menyebarkan ajarannya, yang ia klaim berasal dari Syekh Siti Jenar. Namun, Wali Songo segera bertindak, menghukum mati San Ali di Demak sebagai peringatan bagi siapa pun yang berani mencemarkan nama Islam.

Perbedaan Fundamental: Syekh Siti Jenar vs. Dua Tokoh Palsu

Untuk memahami kedalaman ajaran Syekh Siti Jenar, penting membedakannya secara tajam dari penyimpangan yang diajarkan oleh Hasan Ali dan San Ali Anshar. Pada intinya, Syekh Siti Jenar menempatkan “Aku Sejati” sebagai konsep transendental, sebuah penafian ego manusia demi menyatu dengan ketunggalan ilahi. Sebaliknya, Hasan Ali memperkuat ego sebagai refleksi keberadaan Tuhan, menciptakan interpretasi yang membelokkan inti spiritualitas menuju pengagungan diri.

Dalam praktik ritual, Syekh Siti Jenar menekankan zikir sebagai perjalanan batin yang introspektif, sebuah dialog sunyi antara manusia dan Sang Pencipta. Berbeda dengan itu, San Ali Anshar mengubah zikir menjadi ekspresi emosional berjemaah yang sering9 melanggar norma spiritualitas, menjadikannya alat untuk menyalurkan ekstase berlebihan yang jauh dari inti penghayatan ilahi.

Yang paling mencolok adalah tujuan spiritual mereka. Syekh Siti Jenar berdiri teguh pada pencapaian tauhid sejati, penyatuan diri dengan Allah yang hakiki. Sebaliknya, ajaran Hasan Ali dan San Ali Anshar kerap menyalahgunakan spiritualitas sebagai jalan pintas untuk ambisi duniawi, merendahkan pengalaman religius menjadi alat untuk kekuasaan dan kepentingan pribadi. Dalam kontras ini, Syekh Siti Jenar muncul sebagai mercusuar keikhlasan dan keberanian intelektual, sementara para penyimpang ini mewakili bahaya egoisme yang menyamar dalam selubung religius.

Penyelamatan Nama Syekh Siti Jenar oleh Wali Songo

Kesadaran akan bahaya ajaran palsu ini mendorong Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati, untuk bertindak tegas. Mereka membersihkan nama Syekh Siti Jenar dari tuduhan sesat dengan menjelaskan perbedaan antara ajarannya dan ajaran palsu yang disebarkan oleh Hasan Ali dan San Ali Anshar.

Keputusan untuk mengeksekusi kedua tokoh tersebut tidak hanya didasarkan pada penyimpangan ajaran mereka, tetapi juga kerusakan sosial yang mereka timbulkan. Ritual-ritual mereka telah menciptakan kekacauan di masyarakat, mulai dari konflik internal hingga penghancuran nilai-nilai keagamaan.

Baca Juga : Kyai Mojo dan Janji Diponegoro: Mewujudkan Pemerintahan Islam di Tanah Jawa

Syekh Siti Jenar: Tokoh Sufi yang Meninggal dengan Cara Wajar, Bukan Mati oleh Wali Songo

Syekh Siti Jenar adalah sosok yang kerap terjebak dalam mitos dan fitnah yang mengelilinginya, terutama setelah eksekusi mati terhadap dua orang yang mengaku dirinya, yaitu San Ali Anshar dan Hasan Ali. Keduanya menyebarkan ajaran yang mengandung unsur mistik dan duniawi, jauh dari prinsip tasawuf yang sejati. Dengan membawa nama besar Syekh Siti Jenar, mereka memikat pengikut melalui ajaran sesat yang justru berakhir dengan hukuman mati dari Wali Songo. 

Namun, di balik semua narasi yang berkembang, Syekh Siti Jenar sendiri tidak mati dalam eksekusi atau karena pengaruh Wali Songo. Setelah dua tokoh palsu ini dihukum mati, Syekh Siti Jenar memilih untuk mengasingkan diri, menjauh dari hiruk-pikuk politik dan fitnah yang mengancam nama baiknya.

Pengasingan tersebut bukanlah suatu bentuk kekalahan atau kekeliruan, tetapi langkah bijaksana untuk menjaga kestabilan agama dan politik Jawa pada masa itu. Di Kemlaten, sebuah hutan bambu di selatan Lemah Abang, Cirebon, Syekh Siti Jenar terus melanjutkan dakwahnya dengan cara yang lebih tersembunyi. Di sana, ia ditemani oleh murid-murid setianya, seperti Ki Ageng Pengging, Nyi Mas Shofa, dan Ki Waruanggang, yang memilih untuk hidup dalam kedamaian rohani, jauh dari intrik duniawi. 

Dalam kehidupan sunyi itu, Syekh Siti Jenar mencapai maqam spiritual yang sangat tinggi. Dia lebih dekat dengan Tuhan daripada dirinya sendiri. Cerita tentang majdzub, yakni seseorang yang berada dalam keadaan spiritual melebur bersama Ilahi, menjadi bagian dari narasi kehidupannya.

Puncak dari perjalanan hidupnya yang penuh kontroversi ini adalah wafatnya yang terjadi di sekitar tahun 1530 M di Kemlaten. Tidak ada eksekusi, tidak ada pertempuran, hanya sebuah kematian yang alami. Jenazahnya diperlakukan dengan penghormatan layaknya seorang Muslim yang taat, dan makamnya di Kemlaten, yang dikenal dengan nama "Suwung," hingga kini menjadi simbol kedekatan dengan Yang Maha Kuasa. Meskipun banyak versi tentang bagaimana Syekh Siti Jenar meninggal, salah satu yang paling dihargai adalah keyakinan bahwa ia meninggal dalam keadaan moksa, melepaskan diri dari dunia fana dan kembali kepada Tuhan.

Sejarah sering ditulis oleh mereka yang berkuasa, dan kisah Syekh Siti Jenar adalah contoh nyata bagaimana narasi dapat dibelokkan demi kepentingan politik. Tuduhan sesat yang dilontarkan terhadapnya lebih didorong oleh kepentingan pihak-pihak yang merasa terancam dengan ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Siti Jenar, yang berfokus pada pemurnian diri dan penyatuan dengan Tuhan. Ajaran tentang manunggaling kawula gusti, yang kerap disalahartikan, sejatinya adalah inti dari pemahaman makrifat Islam yang lebih dalam. Ajaran ini tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, melainkan menjadi jalan spiritual menuju pencerahan yang hakiki.

Kini, dengan semakin banyaknya kajian sejarah yang berbasis pada sumber-sumber otentik, kita mulai menyadari bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang sufi besar yang ajarannya masih hidup dalam tradisi spiritual Jawa. Kehidupannya yang penuh dengan kesederhanaan dan pengasingan, serta wafatnya yang alami, menunjukkan betapa besar pengorbanannya untuk menjaga kemurnian ajaran tasawuf di tengah perubahan politik dan agama. Sejarah yang sempat terdistorsi kini kembali dipulihkan, dan Syekh Siti Jenar mendapatkan tempat yang layak sebagai seorang tokoh sufi yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencari kedekatan dengan Tuhan, jauh dari politik dan ambisi duniawi.

Warisan yang Perlu Dipahami

Meskipun Syekh Siti Jenar tetap menjadi sosok kontroversial, penting untuk memisahkan ajaran aslinya dari distorsi yang dilakukan oleh individu seperti Hasan Ali dan San Ali Anshar. Sejarah ini mengajarkan pentingnya otoritas keagamaan dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan mencegah penyimpangan yang dapat merusak tatanan sosial.

Dalam konteks ini, peran Wali Songo tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga penjaga integritas agama dan masyarakat. Mereka menunjukkan bahwa tindakan tegas terkadang diperlukan untuk melindungi umat dari bahaya manipulasi spiritual.

Sebuah Refleksi Kritis

Kisah Hasan Ali dan San Ali Anshar adalah pengingat bahwa manipulasi agama bukanlah fenomena baru. Mereka menggunakan nama besar Syekh Siti Jenar untuk menyebarkan ajaran mereka sendiri, menciptakan kebingungan di masyarakat. Hukuman mati yang mereka terima bukan sekadar hukuman, tetapi peringatan akan bahaya penyimpangan ajaran agama.

Sejarah ini menuntut kita untuk terus kritis dalam memahami ajaran spiritual, memastikan bahwa keyakinan kita tidak terdistorsi oleh mereka yang mencari keuntungan pribadi. Seperti yang ditunjukkan oleh Wali Songo, kebenaran harus dijaga, bahkan di tengah tantangan yang paling sulit.


Topik

Serba Serbi Syekh Siti Jenar Wali Songo ajaran menyimpang Kerajaan Demak



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy