JATIMTIMES- Perang Jawa (1825–1830) bukan sekadar kisah heroik melawan penjajah, tetapi juga panggung bagi sebuah visi besar: mendirikan pemerintahan Islam di tanah Jawa. Di balik perjuangan monumental ini, dua sosok menonjol, Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo, membawa harapan besar bagi umat Islam. Persatuan keduanya tak hanya didasarkan pada ikatan darah, tetapi juga cita-cita untuk mengangkat syariat Islam sebagai dasar pemerintahan.
Kyai Mojo: Ulama di Persimpangan Sejarah
Baca Juga : 7 Pengobatan untuk Asam Urat Secara Efektif yang Wajib Kamu Coba, Terbukti Berhasil!
Melansir berbagai sumbe, Kyai Mojo, atau Muslim Mochammad Khalifah, lahir pada 1792 di Desa Mojo, Pajang. Sebagai anak dari Kyai Baderan, seorang ulama besar berdarah ningrat, Kyai Mojo tumbuh dalam lingkungan religius yang kental.
Ibunya, R.A. Mursilah, adalah saudara Sultan Hamengkubuwana III, menghubungkan Kyai Mojo dengan darah kerajaan Yogyakarta. Namun, ia lebih memilih jalan dakwah ketimbang kehidupan istana.
Pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah haji, Kyai Mojo mengelola pesantren dan menjadi tokoh penting dalam gerakan anti-pemurtadan. Dengan kecerdasan dan spiritualitasnya, ia menarik perhatian Pangeran Diponegoro, yang saat itu sedang mempersiapkan perang melawan Belanda.
Pertemuan Dua Visi
Pangeran Diponegoro adalah pemimpin karismatik yang geram terhadap campur tangan Belanda dalam urusan internal keraton. Meskipun berdarah biru, Diponegoro tumbuh di luar istana, menyerap nilai-nilai religius dan kebangsaan. Visi perjuangannya bukan hanya mengusir penjajah, tetapi juga mendirikan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam.
Kyai Mojo melihat kesempatan untuk merealisasikan cita-citanya melalui dukungan Diponegoro. Pada 20 Juli 1825, saat Perang Jawa dimulai, Kyai Mojo bergabung sejak hari pertama di Goa Selarong, menjadi penasihat spiritual sekaligus panglima perang kepercayaan Diponegoro.
Diplomasi dan Strategi Perang
Peran Kyai Mojo tak terbatas pada spiritualitas. Ia menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dengan tegas, ia menyampaikan tuntutan yang mencerminkan keinginan umat Islam untuk bebas dari kendali penjajah. Namun, tuntutan tersebut dinilai terlalu berat oleh pihak Belanda, sehingga perundingan berakhir tanpa kesepakatan.
Di medan perang, Kyai Mojo merancang strategi gerilya yang efektif. Ia memobilisasi ulama, kiai desa, dan tokoh agama lainnya, menciptakan jaringan yang kuat untuk mendukung perjuangan. Strategi ini memperkuat semangat pasukan Diponegoro, meskipun menghadapi kekuatan militer Belanda yang jauh lebih unggul.
Perselisihan: Antara Syariat dan Politik
Namun, pada tahun 1828, hubungan antara Kyai Mojo dan Diponegoro mulai merenggang. Pangeran Diponegoro mengadopsi pendekatan yang dianggap Kyai Mojo menyimpang dari ajaran Islam. Diponegoro mulai menggunakan simbolisme budaya Jawa, seperti konsep Ratu Adil, untuk menarik simpati rakyat. Ia mengklaim dirinya sebagai Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra, Khalifah Rasulullah di tanah Jawa.
Bagi Kyai Mojo, pendekatan ini bertentangan dengan janji awal untuk mendirikan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Diponegoro, menurutnya, mulai menonjolkan atribut kerajaan dan perilaku yang menyerupai raja. Ketegangan ini memuncak ketika Kyai Mojo mempertanyakan legitimasi klaim spiritual Diponegoro.
Penangkapan dan Akhir Perjuangan
Baca Juga : Kepala BNN Jatim: Santri Harus Berperan Aktif dalam Memerangi Narkoba
Perselisihan ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh Belanda. Pada tahun 1829, Kyai Mojo dan 63 pengikutnya ditangkap oleh pasukan Belanda. Penangkapan ini menjadi pukulan berat bagi perjuangan Diponegoro, yang kehilangan salah satu tokoh kunci.
Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, Sulawesi Utara, di mana ia melanjutkan dakwah hingga akhir hayatnya pada 1849. Meskipun terpisah oleh perbedaan visi, peran Kyai Mojo dalam perjuangan Diponegoro tetap menjadi catatan penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
Warisan Perjuangan
Perang Jawa berakhir pada 1830 dengan penangkapan Pangeran Diponegoro. Namun, warisan perjuangan ini tetap hidup. Visi Kyai Mojo tentang pemerintahan berbasis syariat Islam menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam di masa mendatang.
Melalui kisah Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro, kita belajar tentang kompleksitas perjuangan kemerdekaan yang tidak hanya melibatkan senjata, tetapi juga ideologi dan keyakinan. Di tengah perbedaan, keduanya tetap menjadi simbol persatuan dan keberanian umat Islam dalam menghadapi penjajah.
Perjuangan ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga integritas visi dan misi dalam setiap langkah perjuangan. Sebuah pelajaran berharga dari sejarah yang terus relevan hingga kini.