free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Bandara Raden Adjeng Soeranti: Menyusuri Jejak Putri Mangkunegara V di Bumi Blitar

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

16 - Dec - 2024, 15:44

Placeholder
Bandara Raden Adjeng Soeranti bersama suaminya, Bupati Blitar R.A.A Warsadiningrat, dan anak-anak mereka dalam potret bersejarah keluarga. (Foto: Ist)

JATIMTIMES - Kisah tentang Bandara Raden Adjeng Soeranti mengungkap jejak panjang hubungan Kabupaten Blitar dengan Kadipaten Mangkunegaran, salah satu kerajaan pecahan Mataram Islam yang mewarnai sejarah Jawa Tengah. Narasi ini bukan hanya menggali kehidupan sosok Soeranti sebagai figur sentral, melainkan juga menelusuri keterkaitan genealogis, politik, dan kultural antara Blitar dan Mangkunegaran.

Awal Kehidupan Raden Adjeng Soeranti: Dari Puro Mangkunegaran Menuju Blitar

Raden Adjeng Soeranti, yang lahir dengan nama Raden Adjeng Soetrinah pada 7 April 1891 di Puro Mangkunegaran, adalah anak ke-18 dari Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara V dengan garwa ampil Bandara Raden Soemaningsih. Meski lahir sebagai anak bungsu dari puluhan saudara, Raden Adjeng Soeranti menonjol karena kecerdasannya dan kepribadian ceria yang memikat hati keluarganya.

Baca Juga : Pasar Sepi, Retribusi Pasar Tradisional di Kabupaten Blitar Jauh dari Target

Sejak kecil, ia menunjukkan bakat dan minat seni yang tinggi. Aktivitas menyongket—merajut benang jala menjadi karya indah seperti taplak meja dan sarung bantal—menjadi salah satu keahliannya. Soeranti juga dikenal sebagai sosok yang pandai memasak dan sering membuat aneka roti kering yang dipuji oleh keluarga di lingkungan Puro Mangkunegaran. Kesantunan dan kecerdasannya mencerminkan nilai-nilai luhur yang diwarisi dari Mangkunegaran, tempat seni dan budaya begitu dijunjung tinggi.

Namun, takdir mempertemukannya dengan sebuah babak baru dalam hidupnya. Pada usia lima tahun, ia harus kehilangan ayahandanya, KGPAA Mangkunegara V, yang wafat tragis setelah terjatuh saat berkuda di Hutan Kethu, Wonogiri, pada 2 Oktober 1896. Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga Mangkunegaran, tetapi juga menjadi penanda akhir satu era kepemimpinan yang berpengaruh dalam sejarah Jawa.

Pernikahan dan Perjalanan Menuju Blitar

Setelah beranjak dewasa, Raden Adjeng Soeranti menikah dengan Raden Adipati Arya Warsadiningrat, seorang Bupati Blitar yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Mangkunegaran. R.A.A Warsadiningrat adalah putra dari Bupati Blitar kedua, K.P.H Warsokusumo, dan Raden Ayu Nataningroem—keturunan langsung KPH Nataningrat dari KGPAA Mangkunegara II. Hubungan genealogis ini memperkuat keterkaitan antara Blitar dan Mangkunegaran, memperlihatkan bagaimana ikatan politik dan budaya terus dipelihara lintas generasi.

Setelah pernikahan ini, Raden Adjeng Soeranti mendapat gelar Bandara Raden Ayu Warsadiningrat. Gelar ini mencerminkan posisi strategisnya sebagai sosok penting dalam lingkup kepemimpinan Blitar. Kehidupan mereka dikaruniai sepuluh anak, yakni Raden Ayu Soenyata, Raden Mas Soekarno, Raden Mas Sarono, Raden Adjeng Saryati, Raden Mas Sayogya, Raden Mas Soegondo, Raden Adjeng Sarwimurti, Raden Adjeng Muktini, Raden Mas Saputra, dan Raden Adjeng Warmarti. Anak-anak ini melanjutkan jejak keluarga dengan berbagai peran strategis di lingkungan Jawa Timur dan sekitarnya.

Mangkunegara V: Pemimpin Reformis dan Penuh Tragika

Untuk memahami posisi Bandara Raden Adjeng Soeranti, penting menelusuri sosok ayahandanya, KGPAA Mangkunegara V. Terlahir sebagai Gusti Raden Mas Sunita pada 29 Rejeb 1783 (1855 M), Mangkunegara V adalah putra kedua dari KGPAA Mangkunegara IV dengan permaisuri Kanjeng Bendara Raden Ayu (KBRAy) Dunuk. Beliau diangkat sebagai putra mahkota pada 19 Mei 1869 dengan gelar Pangeran Arya Prabu Prangwadana.

Pada 5 September 1881, dalam usia 27 tahun, GRM Sunita resmi menggantikan ayahnya sebagai KGPAA Mangkunegara V. Kepemimpinannya berlangsung dalam periode penuh tantangan, namun dikenal sebagai masa reformasi internal yang mencakup penguatan ekonomi dan pendidikan di Kadipaten Mangkunegaran. Keputusan Mangkunegara V untuk tidak menikah lagi setelah wafatnya permaisuri Raden Adjeng Koesmardinah menandai sisi melankolis kepemimpinannya.

Tragedi terbesar datang pada 2 Oktober 1896. Saat berkuda di Hutan Kethu, Wonogiri, KGPAA Mangkunegara V mengalami kecelakaan fatal. Beliau wafat dalam usia 43 tahun dan dimakamkan di Astana Girilayu, sebuah makam keramat di lereng Gunung Lawu, di sisi permaisurinya. Dari 25 anak yang ditinggalkan, salah satunya adalah Bandara Raden Adjeng Soeranti.

Blitar: Simbol Kekuatan dan Persatuan Budaya

Pernikahan Bandara Raden Adjeng Soeranti dengan R.A.A Warsadiningrat bukan sekadar penyatuan dua keluarga bangsawan, melainkan simbol persatuan antara Blitar dan Mangkunegaran. Kabupaten Blitar, yang pada masa itu menjadi salah satu wilayah penting di Jawa Timur, menjadi saksi bagaimana pengaruh budaya Mangkunegaran menyebar melalui sosok Soeranti.

Dalam perannya sebagai istri Bupati Blitar, Bandara Raden Ayu Soeranti membawa tradisi dan keahlian dari Mangkunegaran, seperti kesenian, keterampilan tangan, serta kebiasaan memasak. Aktivitasnya di kalangan masyarakat Blitar turut memperkaya kebudayaan lokal dan menciptakan sinergi kultural yang bertahan hingga kini.

Baca Juga : SMK N 3 Boyolangu Raih Prestasi Juara 1 Sekolah Moderasi Beragama Tingkat Provinsi hingga Kejuaraan Tingkat Nasional

Bandara Raden Adjeng Soeranti tidak hanya dikenal sebagai sosok ibu yang bijaksana dan berbudaya, tetapi juga sebagai simbol keanggunan bangsawan Jawa yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat. Pengaruhnya terlihat dari berbagai tradisi keluarga yang masih hidup di Blitar, di mana anak cucunya melanjutkan nilai-nilai luhur yang diwariskannya.

Kehidupan Bandara Raden Adjeng Soeranti di Blitar merefleksikan harmoni antara kebangsawanan dan kerakyatan. Meskipun berasal dari lingkungan Puro Mangkunegaran yang sarat protokol dan hierarki, Soeranti tampil sebagai sosok yang sederhana, dekat dengan masyarakat, dan mampu membawa semangat kebersamaan yang menjadi ciri khas kepemimpinan di Blitar.

Warisan dan Refleksi Sejarah

Kisah Bandara Raden Adjeng Soeranti adalah pengingat bahwa sejarah bukan hanya tentang peristiwa, tetapi juga tentang manusia dan nilai-nilai yang mereka wariskan. Perpindahan Soeranti dari Puro Mangkunegaran ke Blitar menunjukkan bagaimana keluarga bangsawan Jawa memiliki peran penting dalam membentuk identitas budaya di berbagai wilayah.

Penulis berpendapat bahwa sejarah harus ditulis dengan menggali lapisan-lapisan narasi yang tersembunyi di balik nama, tanggal, dan tempat. Kisah Soeranti bukan sekadar kisah seorang putri bangsawan yang menikah dengan seorang Bupati, melainkan refleksi dari dinamika politik, budaya, dan kemanusiaan Jawa di era akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Sebagai penutup, sosok Bandara Raden Adjeng Soeranti dan hubungannya dengan Blitar adalah representasi dari jaringan sosial-budaya yang kompleks dan menarik antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jejaknya tak hanya hidup dalam catatan sejarah, tetapi juga dalam memori kolektif yang terus menginspirasi generasi berikutnya. Blitar, dengan segala kedalamannya, menjadi ruang di mana kisah-kisah besar seperti ini menemukan tempatnya untuk terus diceritakan dan dihargai.


Topik

Serba Serbi bandara raden adjeng soeranti kabupaten blitar mataram islam



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya