free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Tamparan Selop untuk Sang Pengkhianat: Pangeran Diponegoro, Patih Danurejo IV, dan Krisis Moral Kraton Yogyakarta

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

12 - Dec - 2024, 21:11

Placeholder
Ilustrasi tamparan selop Pangeran Diponegoro kepada Patih Danurejo IV. Peristiwa ini menandai puncak kemarahan Diponegoro terhadap pejabat yang dianggap sebagai kaki tangan kolonial. (Sumber: Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey)

JATIMTIMES- Tahun 1813 menjadi titik balik yang penuh paradoks dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta. Di tengah kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono III, Pangeran Diponegoro, sang pangeran visioner yang disegani, menyerahkan rekomendasinya kepada sang ayah untuk mengangkat Tumenggung Sumodipuro, Bupati Japan di Mojokerto, sebagai Pepatih Dalem.

Dengan gelar Patih Danurejo IV, ia memasuki jantung kekuasaan keraton, sebuah arena yang selama ini dimonopoli oleh keturunan Trah Yudhonegoro.

Baca Juga : Arema FC Tertahan, Gol Bunuh Diri Warnai Laga Sengit Kontra Persis Solo

Namun, tak butuh waktu lama bagi Danurejo IV untuk membelokkan kepercayaan menjadi pengkhianatan. Sosok yang awalnya tampil "lugu" dan merakyat ini justru menjelma sebagai simbol degradasi moral dan korupsi struktural. Babad-babad Jawa mencatatnya sebagai "setan kulambi manungsa"—iblis berbaju manusia—yang menjual martabat kraton demi kepentingan pribadi dan hubungan kolonial. Sebuah kesalahan intuitif yang pada akhirnya memicu kemarahan monumental Pangeran Diponegoro—ditandai oleh tamparan selop yang legendaris.

Rekomendasi Diponegoro: Lahirnya Patih Muda

Pangeran Diponegoro melihat sesuatu yang istimewa pada sosok Sumodipuro. Sebagai Bupati Japan, ia dinilai berhasil membangun kedekatan dengan rakyat. Di usia muda, ia menyentuh perhatian Sultan Hamengkubuwono III berkat kharisma yang kontras dengan para bangsawan lain yang sarat dengan kemewahan. Pangeran Diponegoro memandang ini sebagai tanda kepercayaan baru: memberikan kesempatan bagi "orang luar" untuk menduduki posisi sentral kraton.

Pada 2 Desember 1813, atas rekomendasi Pangeran Diponegoro, Sumodipuro resmi dilantik menjadi Patih Danurejo IV. Namun, penunjukan ini menyimpan kontroversi. Tradisi kraton yang ketat menolak "orang luar", apalagi dari wilayah Brang Wetan, untuk menduduki jabatan penting. Meski demikian, rekomendasi sang pangeran tetap dijalankan.

Setahun kemudian, Sultan Hamengkubuwono III wafat, meninggalkan kekuasaan di tangan Sultan Hamengkubuwono IV yang kala itu masih berusia 10 tahun. Di sinilah segala ironi bermula.

"Setan Kulambi Manungsa": Korupsi, Candu, dan Dekadensi

Alih-alih memperkuat fondasi pemerintahan, Danurejo IV justru membawa kraton ke dalam jurang krisis moral. Jabatan-jabatan penting dijadikan komoditas untuk para kroninya. Pajak dari rakyat diperjualbelikan, dan hukum menjadi tumpul oleh kesewenangan. Laporan-laporan menyebutkan bahwa "kebijakan dijual dengan harga tertentu", merampas hak rakyat kecil yang dipaksa membayar pajak berganda.

Dalam catatan Babad Kedhungkebo, Patih Danurejo IV dikenal sebagai pejabat yang "merampok dari singgasananya." Candu dan zina menjadi pemandangan biasa, bahkan di kalangan elit kraton. Simbol-simbol kebesaran Sultan pun diabaikan. Ia mengenakan atribut-atribut kekuasaan yang hanya diperbolehkan bagi raja, simbol kesombongan seorang penguasa yang lupa diri.

Koalisi Tiga Serangkai: Melawan Arus Islam

Di balik kekuasaannya, Danurejo IV menjalin aliansi strategis dengan dua tokoh berpengaruh: Ratu Ibu (kelak menjadi Ratu Ageng) dan Tumenggung Wironegoro, kepala pengawal Sultan. Ketiganya membentuk blok politik yang berseberangan dengan kalangan santri dan ulama yang diwakili oleh Pangeran Diponegoro.

Untuk memperkokoh akses finansial dan politik, Patih Danurejo IV menjalin hubungan erat dengan Tan Jin Sing, seorang Tionghoa yang diangkat oleh Inggris sebagai pejabat kraton. Lebih jauh lagi, ia merapat ke kekuatan kolonial Belanda—sebuah pengkhianatan terang-terangan terhadap kedaulatan Kasultanan Yogyakarta.

Tamparan Selop di Paseban: Amarah Sang Pangeran

Puncak konflik terjadi pada 1822, ketika Pangeran Diponegoro memanggil Patih Danurejo IV untuk mempertanggungjawabkan penjualan aset-aset kraton kepada kolonial. Dalam sebuah pertemuan resmi di Paseban, di hadapan para pejabat dan sentana kraton, Pangeran Diponegoro menginterogasi sang Patih.

Danurejo IV, yang terkenal licik, mencoba mengelak dengan dalih-dalih yang dibuat-buat. Namun kesabaran Pangeran Diponegoro akhirnya habis. Dalam momen yang tercatat sebagai salah satu insiden paling monumental dalam sejarah Jawa, Pangeran Diponegoro berdiri, melepas selop dari kakinya, lalu menampar wajah Danurejo IV.

Tamparan itu bukan sekadar hukuman fisik, melainkan simbol kemarahan rakyat terhadap penguasa yang korup. Danurejo IV hanya bisa bersimpuh, menyadari bahwa penghinaan tersebut adalah buah dari kejahatan dan pengkhianatannya.

Pesta Anggur dan Penghinaan Kedua

Insiden besar lainnya terjadi dalam sebuah pesta yang diadakan Belanda. Minuman keras seperti anggur dan arak mengalir deras—sebuah tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang dipegang teguh oleh Pangeran Diponegoro. Danurejo IV, yang mengetahui prinsip sang pangeran, sengaja menawarkan segelas wine kepadanya.

Namun, alih-alih meminum anggur itu, Pangeran Diponegoro justru menyiramkan isi gelas ke wajah Danurejo IV. Peristiwa ini memperdalam dendam sang Patih, namun juga sekaligus memperlihatkan jurang nilai antara kedua tokoh tersebut.

Akhir Kekuasaan: Pengasingan ke Mojokerto

Pada 22 Februari 1847, atas tekanan kolonial dan laporan penyalahgunaan wewenang, Danurejo IV resmi diberhentikan. Pemerintah Belanda memberikan "alasan formal" bahwa ia sudah terlalu tua, padahal penggelapan pajak menjadi akar persoalan sebenarnya. Ia diberi gelar Pangeran Kusumoyudo dan dipensiunkan dengan 1.000 gulden.

Sebagai bentuk "pengasingan politik", Danurejo IV dipulangkan ke Mojokerto, tanah asalnya. Belanda berusaha menjauhkan pengaruhnya dari pusat kekuasaan Yogyakarta. Namun, hasrat kekuasaan Danurejo IV tak pernah padam. Ia beberapa kali diketahui kembali ke Yogyakarta, menjalin komunikasi dengan loyalisnya.

Baca Juga : Daftar Lengkap Kenaikan UMP 2025 di Seluruh Provinsi Indonesia

Pada Juli 1847, Residen Surabaya mendapat perintah untuk melarang Danurejo IV meninggalkan Mojokerto, menegaskan bahwa ia dipandang sebagai ancaman potensial bagi stabilitas kraton.

Patih Danurejo III dan IV: "Orang yang Sama tapi Berbeda"

Perdebatan mengenai siapa sebenarnya Patih Danurejo III dan IV hingga kini masih menjadi topik menarik di kalangan Trah Diponegaran dan sejarawan. Secara umum, terdapat dua versi utama yang membahas mengenai siapa pemegang gelar Danurejo III.

Menurut pandangan beberapa kerabat Trah Diponegaran, Patih Danurejo III dan IV adalah “orang yang sama tapi berbeda.” Istilah ini muncul karena dua individu berbeda pernah menyandang gelar Danurejo III.

Berdasarkan sumber dari Kraton Yogyakarta, Patih Danurejo III pada awalnya adalah Tumenggung Sindunegoro, yang juga menjabat sebagai Bupati Banyumas. Sindunegoro diangkat menjadi Patih Danurejo III pada tahun 1811 oleh pihak Kraton. Namun, pengangkatan ini dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin dari pihak Inggris, yang saat itu berkuasa di wilayah Yogyakarta setelah invasi pada 1811.

Dampaknya, pada tahun 1813, Tumenggung Sindunegoro diberhentikan sebagai Patih Danurejo III oleh Kraton di bawah tekanan Inggris. Hal ini terjadi karena Inggris tidak mengakui legalitas pengangkatan Sindunegoro.

Sebagai pengganti, Tumenggung Sumodipuro, Bupati Japan (Mojokerto), diangkat menjadi Patih Dalem tetap dengan gelar yang sama, yakni Danurejo III. Namun, dari segi kronologi, Sumodipuro sebenarnya adalah Patih Danurejo IV.

Pengangkatan Tumenggung Sumodipuro sebagai Patih Dalem dilakukan dengan campur tangan Inggris. Inggris memberikan gelar Danurejo III kepada Sumodipuro karena tidak mengakui keabsahan pengangkatan Tumenggung Sindunegoro. Namun, kondisi ini menciptakan polemik dalam pencatatan sejarah, sebab dalam urutan faktual, Sumodipuro sudah seharusnya menjadi Danurejo IV.

Menariknya, rekomendasi untuk mengangkat Sumodipuro datang dari Pangeran Diponegoro sendiri. Pada masa awal, Sumodipuro dianggap memiliki kapabilitas dan loyalitas yang sesuai dengan harapan Kraton Yogyakarta. Namun, di kemudian hari, Pangeran Diponegoro harus menelan kekecewaan besar karena Sumodipuro justru menunjukkan sikap yang berseberangan dengan perjuangan Diponegoro.

Patut dicatat bahwa Tumenggung Sumodipuro adalah satu-satunya Patih Dalem yang bukan berasal dari Trah Yudhonegoro atau Wangsa Danurejan. Sebelumnya, gelar Danurejo memang identik dengan garis keturunan tersebut. Meskipun demikian, Sumodipuro tetap bergelar Danurejo, sekaligus menjadi simbol kuatnya intervensi Inggris terhadap politik internal Kraton Yogyakarta pada masa itu.

Makam di Tanah Perdikan Majan

Berbeda dengan para Patih Dalem lainnya yang dimakamkan di Yogyakarta, makam Danurejo IV ditemukan di Perdikan Sentana Majan, wilayah Ngrowo (kini Kabupaten Tulungagung). Hal ini menegaskan posisinya sebagai figur yang kontroversial dan "terbuang" dari sejarah resmi Kasultanan.

Danurejo IV meninggal pada 1849. Majan, tanah perdikan yang merdeka sejak abad ke-18, menjadi tempat peristirahatan terakhir sang patih yang pernah menjadi aktor penting dalam pergulatan politik Jawa.

Jejak Kelam Sang Patih

Kisah Patih Danurejo IV adalah sebuah pengingat akan bahaya kekuasaan yang disalahgunakan. Dari rekomendasi yang awalnya lahir dari niat baik Pangeran Diponegoro, muncul sosok yang membawa kraton pada krisis moral dan politik.

Tamparan selop Pangeran Diponegoro bukan sekadar amarah personal, melainkan simbol perlawanan terhadap pengkhianatan, korupsi, dan kolonialisme. Sebuah "tamparan sejarah" yang masih relevan sebagai refleksi bagi generasi penerus bangsa.

 


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Tumenggung Sumodipuro Pangeran Diponegoro Keraton Yogyakarta



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni