JATIMTIMES - Bagi banyak perempuan, lipstik telah menjadi salah satu barang wajib ada di tas. Siapa sangka, penjualan produk kosmetik yang satu ini disebut-sebut mampu memprediksi resesi ekonomi sebuah negara.
Nah belakangan ini, fenomena lipstick effect menjadi perbincangan. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, orang cenderung beralih pada pembelian barang-barang kecil yang bisa memberikan kepuasan sesaat.
Baca Juga : Pak Gimin Semangat, Strategi Kota Blitar Menuju Nol Stunting
Lantas bagaimana fenomena ini terjadi? Simak uraian lengkapnya berikut ini.
Aps Itu Lipstick Effect?
Melansir Investopedia (3/12/2024), teori lipstick effect pertama dikemukakan oleh Juliet Schor dalam bukunya yang berjudul ‘The Overspent American’, yang diterbitkan pertama kali pada 1998.
Sementara Mailchimp mendefinisikan lipstick effect adalah teori ritel di mana konsumen dengan keuangan yang minim cenderung akan membeli barang-barang mewah dengan harga yang lebih terjangkau ketika kondisi penurunan ekonomi.
Teori ini berangkat dari konklusi penjualan lipstik yang meningkat meskipun perekonomian tengah berada pada masa resesi. Namun, teori lipstick effect ini juga dapat diaplikasikan pada barang-barang mewah terjangkau lainnya.
Lipstick effect juga dapat dijelaskan dari sisi psikologis. Ketika keuangan individu tidak cukup atau tengah menurun, alih-alih berhenti konsumtif secara total, individu masih mau membeli barang-barang tersier yang sebenarnya tidak terlalu urgent dan penting sifatnya.
Barang-barang tersier pilihan konsumen ini masih dapat dibeli dengan dana yang terbatas. Misalnya kopi, rokok, tiket bioskop, lipstik, barang kosmetik lainnya, produk skincare, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk kesenangan sesaat dan sederhana di kala kondisi keuangan tengah sulit.
Baca Juga : Komisi IV DPR RI Programkan One Day One Fish, Riyono: Bisa Tekan Stunting
Oleh sebab itu, meskipun kondisi perekonomian secara keseluruhan disebut-sebut tengah sulit dan menurun, Anda akan tetap melihat konsumen memenuhi di kedai kopi, mengantre membeli iPhone terbaru, dan sebagainya.
Karena itulah, daya beli yang membuat antrean pembelian barang-barang tersier dan peningkatan penjualan barang-barang non-primer lainnya (make up, pakaian, gadget, makanan dan minuman yang sedang hits, dan lain-lain) tidak dapat digunakan untuk mengklaim bahwa ‘perekonomian baik-baik saja.’
Kondisi itu bisa jadi merupakan bentuk implementasi lipstick effect, yakni ketika orang dalam kondisi bokek sekalipun masih ingin menikmati hidup dengan kesenangan sesaat, yakni dengan membeli barang-barang tersier dengan harga yang lebih terjangkau.
Investopedia juga menyimpulkan bahwa lipstick effect adalah salah satu alasan yang membuat penjualan restoran cepat saji dan tiket bioskop tidak terpengaruh oleh penurunan daya beli dan resesi ekonomi.
“Konsumen dengan uang yang sedikit ingin membeli sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari kondisi keuangannya. Mereka tidak bisa berlibur ke Bermuda, tapi mereka akan menyesuaikan budget dan berpuas diri dengan hang out murah,” tulisnya.