JATIMTIMES - Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Malang 2024 tidak memenuhi target yang ditentukan. Rendahnya partisipasi masyarakat pada coblosan di Pilkada Kota Malang ini disinyalir akibat kejenuhan masyarakat terhadap politik.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang, Muhammad Toyyib, kejenuhan politik itu terjadi paska Pemilihan Umum (Pemilu) pada Februari 2024 lalu. Hingga berimbas pada rendahnya partisipasi masyarakat pada Pilkada kali ini.
Baca Juga : Banjir Parah Rendam Wates dan Binangun Blitar, Puluhan Rumah dan Fasilitas Umum Terdampak
Toyyib mengatakan, dalam Pilkada 2024 kali ini, tingkat partisipasi masyarakat ditarget mencapai 83 persen. Sedangkan pada Pemilu Februari 2024 lalu, tingkat partisipasi masyarakat pun hanya mencapai 82 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
"Kalau saya lihat di lapangan kemarin, masyarakat yang datang untuk menggunakan hak suaranya itu sekitar 60-70 persen, tapi itu bagus sudah," ujar Toyyib.
Toyyib menjelaskan, masyarakat yang baru saja mengikuti Pemilu pada Februari lalu, disinyalir merasa lelah dengan proses politik. Terutama dengan serangkaian proses Pilkada yang sebagian tahapannya beririsan dan beruntun.
Selain itu, dinamika politik yang berlangsung cukup sengit menjelang Pilkada juga kemungkinan menjadi salah satu faktornya. Hingga berimbas pada antusias warga untuk menyalurkan hak suaranya.
"Di sisi lain, bisa jadi proses kampanye yang dilakukan peserta Pilkada ini kurang maksimal. Tapi saya pikir kalau sosialisasi, kami selalu melakukan sosialisasi baik itu turun langsung ke sekolah, tidak ada hari kosong untuk sosialisasi," terangnya.
Namun demikian, dirinya menilai angka 60-70 persen masih terbilang cukup baik dan wajar dalam konteks demokrasi. Menurutnya, partisipasi pemilih di Indonesia, bahkan masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya.
Baca Juga : Wali Kota Eri Sebut Ada 200 Titik Banjir di Surabaya jadi Prioritas Penanganan
"Justru tingkat partisipasi di Indonesia dalam pemilu itu dianggap tinggi oleh negara maju seperti di Amerika, kemudian negara-negara di Eropa," jelasnya.
Toyyib pada sistem demokrasi, hak untuk memilih atau tidak memilih merupakan hak bagi setiap individu. Untuk itu, meskipun banyak yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya, hal tersebut tetap menjadi bagian dari proses demokrasi yang harus dihargai.
"Dalam demokrasi, melawan bumbung kosong dan kalah, itu pun wajar, bagian dari demokrasi juga," pungkas Toyyib.