JATIMTIMES - Di sepanjang sejarah, tradisi berburu bukan sekadar aktivitas rekreasi bagi raja-raja Kasultanan Mataram, tetapi juga mencerminkan budaya, kekuasaan, dan hubungan mereka dengan alam.
Kegiatan ini mengakar dari kebiasaan leluhur yang sudah berlangsung sejak era Majapahit hingga menjadi tradisi tersendiri pada masa Mataram Islam. Perburuan menjadi simbol harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas—serta sering kali memiliki fungsi diplomatik di baliknya.
Kandang Menjangan dan Tradisi Berburu
Baca Juga : Kenalkan Olahraga Gateball di Kota Batu, 24 Klub Berkompetisi Rebut Piala Pj Wali Kota
Jika kita berkendara di jalur Jogja–Solo, sebelum tiba di Kartasura, kita akan melewati sebuah kawasan yang kini menjadi Markas Kopassus. Namun, jauh sebelum dikenal sebagai tempat latihan militer, kawasan ini bernama Kandang Menjangan. Pada masa lalu, ini adalah hutan suaka yang dikelilingi pagar kayu jati milik Kasunanan Surakarta. Di dalamnya, berbagai satwa liar seperti rusa, kerbau, banteng, dan kuda hidup bebas, dipelihara untuk perburuan oleh raja.
Susuhunan Kasunanan Surakarta kerap mengadakan acara berburu di Kandang Menjangan. Tidak sekadar hiburan, kegiatan ini menjadi ajang unjuk kemampuan, kebersamaan, dan juga pelarian dari rutinitas pemerintahan. Selain itu, Kandang Menjangan mencerminkan pola pikir konservasi masa lalu, di mana satwa liar dilindungi di kawasan khusus namun tetap memenuhi fungsi rekreasi bangsawan.
Jejak Krapyak di Mataram
Tradisi berburu juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan raja-raja Kasultanan Mataram. Sebelum ibu kota dipindahkan ke Kartasura dan kemudian ke Surakarta, berbagai kawasan hutan lebat di sekitar Keraton Plered dan Keraton Kerto dijadikan tempat berburu. Salah satu kawasan yang terkenal adalah Krapyak Pringamba, terletak di kaki bukit Giriloyo, dekat muara Sungai Opak.
Lokasinya yang strategis dekat makam leluhur dinasti seperti Sultan Agung dan Panembahan Senopati menjadikan kegiatan berburu sering kali digabung dengan acara ziarah.
Sejarawan Belanda, E. Rijklof van Goens, pernah menggambarkan suasana berburu di sekitar muara Sungai Opak pada masa pemerintahan Amangkurat I. Ia mencatat, “Padang perburuan yang luas tak terkira, dikelilingi pagar kayu jati, berisi ribuan rusa, kerbau, banteng, dan kuda.” Tempat ini bahkan disebut sebagai Jagersparadijs atau "Surga bagi Para Pemburu."
Sunan Sedo Krapyak: Meninggal dalam Perburuan
Tradisi berburu ini juga meninggalkan jejak tragis dalam sejarah Mataram. Panembahan Hanyakrawati, atau Raden Mas Jolang, Raja kedua Mataram (1601–1613), meninggal saat berburu di kawasan Krapyak. Ia diterjang seekor banteng hingga wafat, dan kemudian dikenang sebagai Sunan Sedo Krapyak (Raja yang meninggal di Krapyak). Kejadian ini mengukuhkan perburuan sebagai bagian integral dari kehidupan kerajaan, meskipun penuh risiko.
Perburuan Amangkurat IV: Antara Hiburan dan Diplomasi
Tradisi berburu tak hanya sebatas hobi, tetapi juga menjadi alat diplomasi, seperti yang terlihat dalam perjalanan Raden Mas Suryaputra (Amangkurat IV) pada September 1724. Ditemani oleh ratusan prajurit, punggawa, pelayan, serta serdadu VOC di bawah komando Letnan Hendrik Coster, rombongan ini melintasi desa-desa dari Kartasura menuju pantai selatan, sembari menyelenggarakan berbagai acara berburu.
Kegiatan berburu ini bukan sekadar rekreasi. Saat berburu di Krapyak Pringamba, Amangkurat IV menunjukkan keahliannya di hadapan para pejabat VOC. Hewan-hewan seperti rusa, banteng, dan sapi liar dihalau menuju para pemburu yang duduk berjajar di atas tandu di punggung kerbau. Hasil buruan hari itu mencapai ratusan ekor, mencerminkan kemakmuran dan kemampuan kerajaan dalam mengelola alam.
Baca Juga : Jika Terpilih, Wahyu Hidayat Janji Akan Kembali Gelar Malang Tempo Dulu
Selain berburu, Sunan Jawi juga menyelenggarakan permainan tradisional seperti Sodoran, yang dimainkan oleh para punggawa. Pertunjukan ini menghadirkan momen komedi ketika peserta yang tidak terampil jatuh dari kuda, membuat Amangkurat IV tertawa terbahak-bahak. Hiburan ini mempererat hubungan antara raja, rakyat, dan pejabat asing yang hadir.
Makna Spiritual dan Simbolik
Berburu tidak hanya menjadi hiburan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual. Raja-raja Mataram sering memanfaatkan kesempatan ini untuk menyepi, bersemedi di gua-gua dekat pantai selatan, memohon petunjuk kepada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan. Perjalanan ziarah ke makam leluhur sering kali dilanjutkan dengan kegiatan berburu sebagai simbol penghormatan terhadap tradisi leluhur.
Amangkurat IV, misalnya, menghabiskan beberapa hari di pantai selatan untuk bersemedi, sebelum kembali ke pesanggrahan untuk menyaksikan latihan prajurit melawan seekor banteng liar. Aktivitas ini mencerminkan keseimbangan antara spiritualitas, kekuatan militer, dan hiburan raja.
Kepanikan di Arena Sodoran
Salah satu momen paling menarik dalam perjalanan berburu Amangkurat IV terjadi saat pertandingan Sodoran yang melibatkan prajurit terlatih. Di tengah pertandingan, sang raja memerintahkan ratusan ekor babi liar dilepas ke arena, menciptakan kepanikan luar biasa.
Penonton berebut memanjat pohon untuk menghindari amukan babi, sementara kuda-kuda berlarian tanpa kendali. Adegan ini menunjukkan sisi jenaka dari tradisi kerajaan yang sarat makna simbolis.
Warisan Tradisi Berburu
Meskipun tradisi berburu raja-raja Mataram kini tinggal kenangan, jejaknya tetap hidup dalam berbagai cerita rakyat, dokumen sejarah, dan catatan asing seperti laporan Letnan Coster. Perburuan menjadi gambaran kekuatan dan kekayaan budaya Kasultanan Mataram, yang tidak hanya mengelola alam dengan bijak, tetapi juga menjadikannya sebagai sarana rekreasi, spiritualitas, dan diplomasi.
Kisah-kisah seperti perjalanan Amangkurat IV dan Sunan Sedo Krapyak mengingatkan kita akan kompleksitas kehidupan para raja Jawa di masa lalu. Di balik kemegahan tradisi ini, tersimpan pesan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan kekuasaan. Tradisi berburu menjadi bukti nyata bagaimana para raja Jawa menjalani kehidupan yang penuh warna, harmoni, dan kebijaksanaan, sekaligus menjaga warisan budaya untuk generasi mendatang.