JATIMTIMES - Pada Minggu Pahing, 1 Desember 2024, Keraton Yogyakarta akan memperingati hari bersejarah bagi berdirinya Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat yang ke-278. Tanggal ini bertepatan dengan 29 Jumadilawal tahun Alip 1958 dalam Kalender Jawa, menandai hari yang menjadi saksi perjalanan panjang Kraton Yogyakarta sejak awal berdirinya pada 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa.
Perayaan ini bukan hanya pengingat berdirinya kraton, tetapi juga upaya melestarikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan identitas yang diwariskan oleh para leluhur sejak masa Pangeran Mangkubumi.
Baca Juga : Sengketa Batas Desa Gunung Putri-Gunung Malang, Komisi I DPRD Situbondo Fasilitasi Mediasi Kedua Belah Pihak
Awal Mula Lahirnya Ngayogyakarta Hadiningrat
Kisah berdirinya Keraton Yogyakarta berawal dari Pangeran Mangkubumi, sosok saudara Susuhunan Pakubuwana II yang memutuskan untuk meninggalkan Kraton Surakarta. Keputusan ini diambil setelah perselisihan panjang dengan kompeni Belanda yang ikut campur dalam urusan internal Kraton Surakarta, bahkan mengejeknya. Merasa terusik dengan campur tangan kolonial dan demi menjaga kehormatan, Pangeran Mangkubumi meninggalkan kraton dan memulai perjuangannya di luar lingkup Surakarta.
Setelah meninggalkan Surakarta, Pangeran Mangkubumi berangkat menuju Sukowati, sebuah tanah yang dijanjikan oleh Sunan Pakubuwono II sebagai tanda penghargaan jika Pangeran berhasil mengamankan Kraton Kartasura dari ancaman pemberontak. Di Sukowati inilah Pangeran Mangkubumi memulai perjuangan melawan VOC dan kekuasaan kolonial yang semakin menindas.
Perjuangan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil ketika pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani. Perjanjian ini, yang difasilitasi oleh Gubernur VOC wilayah utara, Nichollas Hartigh, menandai awal baru bagi Nagari Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi kemudian dinobatkan sebagai raja pertama Yogyakarta oleh Gubernur Prasman, dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat."
Sejarah Berdirinya Nagari Yogyakarta
Perjanjian Giyanti menjadi titik penting bagi wilayah Mataram yang saat itu ibukotanya berada di Surakarta. Dalam perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Surakarta tetap berada di bawah pimpinan Susuhunan Pakubuwana III, sementara Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Sultan Hamengkubuwana I memimpin Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai entitas baru.
Tidak lama setelah Perjanjian Giyanti, pada tanggal 15 Februari 1755, terjadi pertemuan di Lebak, Jatisari, antara Sultan Yogyakarta dengan Sunan Surakarta. Pertemuan ini menghasilkan Perjanjian Jatisari, yang membahas tentang pembentukan identitas budaya bagi masing-masing kerajaan. Sultan Hamengkubuwana I memilih untuk tetap menjaga tradisi lama budaya Mataram, sementara Sunan Pakubuwana III bersepakat untuk memodifikasi dan mengembangkan budaya baru di Surakarta.
Perbedaan dalam penataan budaya ini meliputi berbagai aspek, seperti tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, hingga tari-tarian. Perjanjian Jatisari inilah yang menjadi fondasi bagi perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta, yang hingga kini terus dijaga dan dipertahankan oleh masing-masing kraton.
Penobatan Sultan dan Proklamasi Ngayogyakarta Hadiningrat
Setelah selesai urusan pembagian kekuasaan antara dua kerajaan tersebut, pada 13 Maret 1755 atau bertepatan dengan Kamis Pon 29 Jumadilawal 1680 Tahun Jawa, Pangeran Mangkubumi secara resmi mengumumkan bahwa daerah kekuasaannya kini dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Beliau pun diresmikan dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Satunggal ing Ngayogyakarta Hadiningrat." Gelar ini tidak hanya menunjukkan kedudukan beliau sebagai raja, tetapi juga sebagai pemimpin agama dan pelindung rakyat.
Pembangunan Kraton sebagai Pusat Kebudayaan dan Spiritualitas
Setelah dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta, pada tanggal 9 Oktober 1755, Sultan Hamengkubuwana I memerintahkan pembangunan istananya di Desa Pacethokan, di antara hutan Beringin yang terletak di antara dua sungai besar, yaitu Sungai Code dan Sungai Winongo. Lokasi ini dipilih dengan seksama, dengan mempertimbangkan unsur spiritual dan keamanan.
Pembangunan kraton berlangsung hampir satu tahun. Selama proses ini, Sultan beserta keluarga dan pengikutnya tinggal sementara di Pesanggrahan Ambar Ketawang. Akhirnya, pada tanggal 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwana I bersama rombongan resmi memasuki Kraton Yogyakarta. Peristiwa ini tercatat dalam penanggalan Jawa dengan sengkalan memet: "Dwi Naga Rasa Tunggal" dan "Dwi Naga Rasa Wani," yang memiliki makna filosofis mendalam, mencerminkan kesatuan tekad serta keberanian dalam memimpin dan menjaga negeri.
Tradisi Pengetan yang Dipertahankan
Sejak berdirinya, Kraton Yogyakarta senantiasa memperingati hari jadi pada setiap 29 Jumadilawal, yang dikenal sebagai "Pengetan Hadeging Nagari." Pengetan ini bukan sekadar seremonial belaka, melainkan juga upaya meneguhkan kembali identitas dan warisan budaya Jawa. Upacara ini diiringi dengan berbagai kegiatan tradisional seperti kirab pusaka, ritual keagamaan, dan pementasan seni budaya yang melibatkan berbagai elemen masyarakat Yogyakarta.
Pada tahun ini, peringatan ke-278 berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat diadakan dengan penuh khidmat, menampilkan acara-acara yang mencerminkan kebanggaan akan warisan leluhur. Keraton mengadakan prosesi kirab pusaka, di mana pusaka-pusaka peninggalan para raja dibawa berkeliling sebagai simbol keberlanjutan kekuasaan dan tanggung jawab dalam menjaga budaya dan moral bangsa.
Makna dan Relevansi Sejarah bagi Generasi Kini
Sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta bukan hanya kisah masa lalu, tetapi juga pedoman yang terus relevan bagi generasi masa kini. Kisah Pangeran Mangkubumi yang berani mengambil sikap melawan ketidakadilan dan campur tangan asing menjadi inspirasi bagi masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan kemandirian, baik dalam kebudayaan maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap elemen dalam peringatan ini memiliki nilai-nilai filosofis yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keselarasan, kejujuran, dan tanggung jawab. Perjanjian Jatisari, misalnya, mengajarkan pentingnya perbedaan dalam keharmonisan, di mana dua kerajaan yang berasal dari akar budaya yang sama dapat mengembangkan identitas masing-masing tanpa harus kehilangan esensi dari kebudayaan Mataram yang luhur.
Baca Juga : Trembesi Roboh Timpa 5 Kendaraan Bermotor di Tulungagung
Acara ini biasanya diawali dengan prosesi kirab pusaka, di mana benda-benda bersejarah dan sakral dari Kraton Yogyakarta diarak sebagai simbol keberlanjutan sejarah dan kejayaan kerajaan. Pusaka-pusaka tersebut diarak di sekitar alun-alun, mengingatkan masyarakat akan perjuangan panjang leluhur dalam menjaga kehormatan dan kedaulatan tanah air.
Selain kirab pusaka, digelar pula pertunjukan wayang kulit yang menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, serta pementasan tarian tradisional yang pernah menjadi hiburan dalam istana kerajaan. Tak ketinggalan, gamelan sebagai alat musik khas Jawa mengiringi setiap prosesi, menambah kekhusyukan dan keagungan suasana perayaan. Upacara-upacara ini diadakan untuk memperkuat identitas budaya masyarakat Jawa dan memperkenalkan generasi muda pada nilai-nilai tradisional yang harus dijaga dan dilestarikan.
Makna Peringatan ke-278 Tahun Kraton Yogyakarta
Peringatan ke-278 berdirinya Kraton Yogyakarta Hadiningrat ini bukan hanya sebuah seremoni tahunan, tetapi juga bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah berjuang mempertahankan martabat dan kemuliaan kerajaan di masa lalu. Pada kesempatan ini, para abdi dalem, keluarga keraton, dan masyarakat Yogyakarta bersatu untuk memanjatkan doa bersama, memohon keselamatan dan berkah bagi tanah Ngayogyakarta.
Perjalanan panjang Kraton Yogyakarta menunjukkan bahwa nilai-nilai leluhur dan budaya yang diwariskan oleh Sultan Hamengku Buwono I masih terpelihara hingga kini. Semangat kemandirian dan keberanian yang diwariskan oleh beliau telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Yogyakarta. Nilai-nilai ini pula yang diharapkan mampu menjadi teladan bagi generasi masa kini dalam menjaga kearifan lokal dan budaya Nusantara di tengah arus globalisasi yang semakin deras.
Kraton Yogyakarta di Masa Kini: Simbol Kebudayaan yang Berkelanjutan
Seiring perkembangan zaman, Kraton Yogyakarta terus beradaptasi dengan dunia modern, namun tanpa meninggalkan akar budaya yang telah diwariskan oleh pendahulu mereka. Sebagai contoh, Kraton Yogyakarta kini menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang penting di Indonesia, menawarkan pengalaman yang edukatif dan mendalam tentang sejarah dan tradisi Jawa kepada wisatawan domestik maupun mancanegara.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta, nilai-nilai kraton masih tercermin dalam etika sosial dan cara berinteraksi. Misalnya, tradisi untuk saling menghormati dan hidup selaras dengan alam yang diajarkan oleh Kraton tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Tradisi ini memberi kontribusi pada reputasi Yogyakarta sebagai kota yang damai, ramah, dan kaya akan budaya.
Menghidupkan Warisan, Melanjutkan Perjuangan
Pengetan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ke-278 adalah momentum bagi masyarakat Yogyakarta dan seluruh Indonesia untuk merenungi kembali nilai-nilai perjuangan, keteguhan hati, dan kebesaran jiwa yang diwariskan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Dalam semangat ini, Yogyakarta berusaha mempertahankan identitas budayanya, bukan sekadar sebagai warisan masa lalu, namun sebagai pedoman untuk masa depan yang lebih baik.
Dengan mengenang sejarah, menghidupkan budaya, dan melestarikan nilai-nilai luhur, Kraton Yogyakarta tetap menjadi simbol kejayaan dan kemandirian bangsa Indonesia. Maka, peringatan berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat bukan hanya milik masyarakat Yogyakarta, tetapi juga merupakan bagian dari sejarah dan identitas bangsa Indonesia yang patut dijaga dan dihormati oleh semua pihak.