free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Profil

Soe Hok Gie dan Prabowo: Persahabatan dalam Bayang-Bayang Perjuangan dan Perbedaan Pandangan

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

26 - Oct - 2024, 10:01

Placeholder
So Hok Gie dan Prabowo Subianto: Dua pemuda dalam persimpangan idealisme. (Foto: Ist)

JATIMTIMES- Ketika membicarakan Soe Hok Gie, tak banyak yang tahu sosok aktivis ini punya keterkaitan dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Terlebih, Gie adalah besar pemuda yang lantang bersuara melawan ketidakadilan semasa hidupnya. 

Gie juga menjadi ikon generasi muda di era 1960-an yang menentang kekuasaan Orde Lama dengan keberanian dan idealismenya. Namun, sedikit yang tahu bahwa Soe Hok Gie pernah menjalin persahabatan dengan seorang anak muda yang kemudian akan menjadi figur penting dalam politik Indonesia, Prabowo Subianto.

Awal Mula Persahabatan

Baca Juga : Universitas PGRI Kanjuruhan Malang Kukuhkan 470 Wisudawan, Bertabur Prestasi dan Membanggakan

Kisah pertemuan Soe Hok Gie dan Prabowo Subianto bermula pada awal tahun 1960-an, ketika Gie terlibat dalam Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI), sebuah gerakan bawah tanah yang dipimpin oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo. 

GPI yang dibentuk pada 1961 oleh para aktivis Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu memiliki agenda khusus dalam meruntuhkan Orde Lama yang dipimpin Soekarno. Markas gerakan ini selalu berpindah-pindah, dikenal dengan nama Mobile Headquarter (MHQ), dan mengandalkan jaringan biro-biro yang tersebar, salah satunya adalah Biro Operasi (BO) Case Officer (CO).

Soe Hok Gie, yang pada saat itu merupakan mahasiswa sejarah Universitas Indonesia, aktif di unit CO 5, sebuah divisi dalam GPI yang bertugas untuk menyusup ke kelompok cendekiawan dan mahasiswa. Keterlibatan Gie dalam jaringan ini tidak hanya menunjukkan komitmennya pada perubahan politik Indonesia, tetapi juga membawanya dalam lingkaran keluarga Sumitro. Kedekatan ini membawa Gie dan Prabowo dalam lingkup persahabatan yang erat.

Meski sembilan tahun lebih muda, Prabowo menjadi teman diskusi bagi Gie, dan seringkali keduanya berbicara panjang lebar mengenai situasi politik, filsafat, dan idealisme. Prabowo, yang saat itu baru kembali dari Eropa setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri, mulai memahami dan terinspirasi oleh semangat perjuangan Gie yang tanpa kompromi. Bagi Gie, Prabowo adalah seorang anak muda yang cerdas, namun dalam banyak hal masih naif dan jauh dari realitas keras yang dihadapi masyarakat Indonesia sehari-hari.

Bercermin pada Perbedaan

Persahabatan ini juga diwarnai oleh perbedaan pandangan. Salah satu contoh adalah saat Prabowo ingin mengajak Gie untuk bergabung dalam proyek sukarelawan pembangunan, sebuah inisiatif yang tampaknya kurang realistis di mata Gie. Gie menyatakan skeptisismenya, merasa bahwa proyek itu terlalu idealis dan belum cukup siap dalam hal perencanaan dan pelaksanaan. "Prabowo cerdas, tapi ia masih sangat muda dan naif," ungkap Gie dalam catatan hariannya. Sebagai seorang yang sering bersinggungan dengan realitas pahit kehidupan rakyat Indonesia, Gie tahu bahwa idealisme tanpa pemahaman mendalam akan tantangan di lapangan hanya akan menjadi angan-angan yang rapuh.

Kedekatan mereka, meski tulus, mulai teruji oleh kenyataan berbeda yang dihadapi masing-masing. Gie yang lahir dan besar di tengah gejolak politik, memahami betul bahwa perlawanan dan perubahan sosial di Indonesia menuntut lebih dari sekadar semangat sukarelawan. Sementara itu, Prabowo dengan latar belakang keluarganya yang berada di kalangan elite, tampak lebih banyak bercita-cita tanpa benar-benar mengerti realitas politik dan sosial tanah air.

Gie dan Pendakian Terakhirnya

Sebagai seorang pecinta alam, Soe Hok Gie kerap kali melarikan diri dari hiruk-pikuk politik dengan mendaki gunung. Bersama kawan-kawannya di Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia), ia merasakan kedamaian yang berbeda di alam bebas. Di sanalah Gie menemukan kebebasan dari rutinitas yang melelahkan di Jakarta, dari tulisan-tulisannya yang sarat kritik, dan dari keterikatan emosional yang kuat dengan tanah airnya.

Pendakian terakhir Gie ke Gunung Semeru pada Desember 1969 menjadi momen yang sangat emosional bagi Prabowo. Prabowo meminjamkan sepatu gunungnya kepada Gie untuk pendakian itu. Sayangnya, Gie tidak pernah kembali dari pendakian tersebut. Ia meninggal setelah menghirup gas beracun di kawah Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Kepergian Gie bukan hanya kehilangan bagi Prabowo, tetapi juga bagi generasi muda yang menjadikannya simbol perlawanan dan idealisme.

Kenangan dalam Catatan Harian

Baca Juga : Puncak Festival Gandrung Sewu: 1.350 Penari Siap Tampilkan Pentas Kolosal di Pantai Marina Boom Banyuwangi

Dalam catatan hariannya, Gie menulis, “Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas, tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah.” Catatan ini menjadi refleksi betapa Gie menyayangi Prabowo, namun di sisi lain merasa bahwa sahabatnya ini masih belum sepenuhnya memahami dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan kepahitan.

Pandangan ini menyiratkan perasaan campur aduk dalam diri Gie terhadap Prabowo. Meski melihat potensi besar pada sosok Prabowo, Gie tahu bahwa Prabowo memerlukan waktu untuk benar-benar memahami arti perjuangan yang sesungguhnya. Ia ingin Prabowo belajar dari realitas yang keras di negeri ini, sesuatu yang tidak bisa ia temui di lingkungan elite atau dari buku-buku idealisme belaka.

Warisan Gie dan Pemikiran yang Abadi

Kematian Soe Hok Gie meninggalkan lubang besar di hati banyak orang, terutama bagi mereka yang sejalan dalam perjuangan perlawanan terhadap penindasan. Pemikirannya yang tertuang dalam Catatan Seorang Demonstran pada akhirnya diterbitkan pada tahun 1983 dan menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk tetap kritis terhadap ketidakadilan.

Buku ini memuat pandangan Gie yang tanpa kompromi terhadap penguasa yang represif dan sistem sosial yang timpang. Dalam catatan hariannya, ia berani mempertanyakan, mengkritik, dan bahkan menantang gagasan-gagasan yang dianggapnya merugikan rakyat kecil. Semangat inilah yang menjadikannya panutan bagi banyak aktivis dan mahasiswa hingga saat ini.

Di sisi lain, Prabowo, yang kemudian melanjutkan perjalanan hidupnya dalam bidang militer dan politik, turut membawa jejak kenangan akan Gie. Pengalaman masa muda bersama Gie, barangkali, turut membentuk sudut pandang Prabowo dalam mengartikan perjuangan dan tantangan hidup. Meski jalan hidupnya berbeda dengan Gie, bayang-bayang persahabatan mereka tetap ada dalam perjalanan panjang Prabowo sebagai sosok publik di Indonesia.

Hubungan antara Soe Hok Gie dan Prabowo Subianto adalah sebuah kisah tentang persahabatan, idealisme, dan perbedaan pandangan yang tajam. Meskipun mereka memiliki latar belakang dan jalan hidup yang berbeda, kedua tokoh ini menunjukkan bahwa persahabatan sejati tidak harus berarti kesamaan pemikiran. Soe Hok Gie, dengan segala idealismenya, akan selalu dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, sementara Prabowo, meski sempat ragu, tetap membawa kenangan tentang Gie dalam kehidupannya.

Hubungan mereka mengajarkan kita bahwa meskipun realitas bisa memisahkan orang, kenangan dan pengalaman yang telah dibangun bersama tetap abadi.

*disarikan dari berbagai sumber


Topik

Profil Soe Hok Gie Prabowo persahabatan



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri