free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Gusti Nurul: Putri Mangkunegaran, Pelopor Telekonferensi Pertama di Indonesia

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

10 - Oct - 2024, 10:56

Placeholder
Gusti Nurul saat menari di Belanda, mempersembahkan tarian istimewa untuk pernikahan Putri Juliana pada 1937. (Foto: Istimewa)

JATIMTIMES - Tahun 1936, teknologi yang kita anggap biasa hari ini -seperti video call atau telekonferensi- adalah sesuatu yang hanya bisa dibayangkan dalam dunia fiksi. Namun, tahun itu, seorang gadis muda dari lingkungan keraton di Jawa melakukan sesuatu yang luar biasa. 

Di sebuah ruangan megah, di bawah sinar lampu yang benderang, seorang gadis cantik dengan pakaian adat Jawa menari dengan luwes dan anggun. Tak ada alat musik yang terjajar di ruangan itu, namun tarian gadis tersebut diiringi oleh musik gamelan yang diputar dari Keraton Surakarta. 

Baca Juga : Bela Azizah Salsha, Nikita Mirzani Sebut Rachel Vennya Bipolar

Musiknya datang melalui radio, dengan suara terputus-putus, namun cukup untuk mengiringi tariannya. 

Ini adalah salah satu bentuk paling awal dari telekonferensi meski dengan cara yang sederhana.

Gadis muda itu adalah Gusti Nurul, seorang putri keraton dari Kadipaten Mangkunegaran, Solo. Penampilannya saat itu menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi yang diperkenalkan pada masa kolonial Hindia Belanda, sekaligus menjadi bukti keberanian dan kemampuannya memanfaatkan teknologi untuk menunjukkan kekayaan budaya Jawa kepada dunia.

Menari di Hadapan Ratu Wilhelmina

Pada tahun 1936, seorang gadis muda dari Kadipaten Mangkunegaran, Solo, membuat sejarah dalam dunia seni dan budaya. Gusti Nurul, yang bernama lengkap Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemo Wardhani, tidak hanya dikenal karena kecantikannya sebagai 'Si Kembang Mangkunegaran', tetapi juga karena kemahirannya dalam menari. Pada usia 15 tahun, Gusti Nurul diundang untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina dan para pejabat Belanda dalam sebuah acara pernikahan kerajaan yang megah—pernikahan Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard.

Acara itu menjadi momentum besar dalam perjalanan hidup Gusti Nurul. Bersama rombongan keluarga kerajaan Mangkunegaran, termasuk ayahnya Mangkunegara VII dan ibunya Gusti Kanjeng Ratu Timur, mereka bertolak ke Belanda pada Agustus 1936. Rombongan ini berangkat menggunakan kapal Marnix, yang selama perjalanan menjadi tempat Gusti Nurul melatih tariannya. Mereka tiba di Den Haag pada 1 Desember 1936, beberapa minggu sebelum pernikahan kerajaan Belanda.

Gusti Nurul dijadwalkan untuk menampilkan tarian tradisional Jawa, "Sari Manunggal", sebagai persembahan istimewa dari Mangkunegara VII untuk pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard. Meski awalnya panitia sempat keberatan dengan usulan itu karena persiapan yang dianggap rumit, Mangkunegara VII berhasil meyakinkan mereka tentang pentingnya kehadiran tarian tersebut dalam acara. Akhirnya, penampilan Gusti Nurul masuk dalam agenda utama pernikahan yang digelar pada 6 Januari 1937 di Istana Noordeinde.

Pada hari yang dinantikan, Gusti Nurul tampil memukau. Tarian Sari Manunggal yang dibawakannya diiringi oleh gamelan Kiai Kanyut Mesem, yang dimainkan di Solo dan disiarkan langsung melalui radio Solosche Radio Vereeniging (SRV). Meski sempat ada gangguan dalam kualitas suara gamelan yang dipancarkan melalui gelombang radio, hal ini tidak menyurutkan semangat Gusti Nurul. Ibunya, GKR Timur, yang duduk dekat panggung, membantu dengan memberikan aba-aba untuk memastikan gerakan tari tetap seirama dengan musik. Gusti Nurul, tanpa disadarinya, menjadi bagian dari sejarah teleconference yang sangat awal.

Keindahan gerakan Gusti Nurul, dengan pakaian tradisional Jawa yang anggun, berhasil memukau semua hadirin, termasuk Ratu Wilhelmina. Setelah pertunjukan, Ratu Wilhelmina mendatangi Mangkunegara VII dan GKR Timur dan dengan kagum berkata, "Saya belum pernah melihat tarian begitu indah." Kata-kata itu bukan hanya sekedar pujian, tetapi juga pengakuan atas keindahan budaya Jawa yang dibawa Gusti Nurul ke panggung internasional.

Kehadiran Gusti Nurul di Belanda pun tidak luput dari perhatian media. Surat kabar Belanda ramai memberitakan penampilannya, menggambarkannya sebagai perpaduan sempurna antara keanggunan seni dan eksotisme Timur. Salah satu surat kabar, Nieuwe Roterdamsche Courant, memberikan komentar yang mendalam tentang penampilan Gusti Nurul. "Bagaimana mungkin bisa terjadi bahwa orang-orang Timur ini, yang berabad-abad lamanya telah kehilangan apa-apa, yang bagi kami lebih penting menjadi beradab, bisa mencapai kebudayaan yang begitu tinggi," tulis media tersebut, memuji kecanggihan seni tari Jawa yang dipresentasikan oleh Gusti Nurul.

Penampilan Gusti Nurul di Belanda tidak hanya menjadi sorotan di kalangan bangsawan, tetapi juga membuka mata masyarakat Eropa terhadap keindahan budaya Jawa. Banyak tamu yang hadir dalam acara tersebut kemudian menunjukkan minat untuk mempelajari lebih lanjut tentang kebudayaan Timur setelah menyaksikan tarian Gusti Nurul. Bahkan, beberapa surat kabar Belanda menyebut penampilannya sebagai jendela ke dunia Timur yang belum banyak dikenal oleh masyarakat Eropa pada masa itu.

Tarian Gusti Nurul di Belanda menjadi simbol diplomasi budaya yang melampaui batas-batas geografis. Sebagai putri keraton, ia membawa kebanggaan akan warisan budayanya ke panggung internasional, memperlihatkan bahwa seni dan budaya bisa menjadi alat yang kuat dalam menjalin hubungan antarbangsa.

Penampilan ini juga menandai momen penting dalam sejarah seni tari tradisional Jawa, di mana seorang putri keraton memperkenalkan keindahan tarian Jawa kepada dunia Barat dalam sebuah acara yang sangat prestisius. Bagi Gusti Nurul, peristiwa ini tidak hanya mengukuhkan namanya sebagai seorang penari ulung, tetapi juga sebagai duta budaya yang berani dan percaya diri.

Kehidupan Seorang Putri Keraton

Gusti Raden Ayu Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, yang lebih dikenal sebagai Gusti Nurul, lahir pada 17 September 1921 sebagai putri tunggal dari Mangkunegara VII dan Gusti Raden Ayu Retnaningrum. Sebagai anak tunggal, Gusti Nurul tumbuh dalam lingkungan yang sangat tradisional namun mendapatkan pendidikan modern yang membuatnya menjadi salah satu perempuan bangsawan yang paling berpendidikan dan mandiri pada masanya. Pendidikan ini, bersama dengan latar belakang keraton, menjadikan Gusti Nurul figur yang unik di kalangan bangsawan Jawa.

Di keraton, Gusti Nurul belajar seni tari sejak kecil, dan kemampuannya menari menjadi salah satu identitas utamanya. Namun, yang membuatnya berbeda adalah kecintaannya pada olahraga, terutama berkuda. Pada masa itu, berkuda dianggap kegiatan yang sangat maskulin, apalagi bagi seorang perempuan keraton. Gusti Nurul tidak hanya menguasai keterampilan berkuda, tetapi juga memecahkan tabu sosial dengan tampil berani di berbagai perlombaan dan kompetisi.

Tokoh Mandiri yang Menolak Tradisi

Baca Juga : Sultan Hamengkubuwono VI: Pemimpin Berwibawa di Tengah Gempa Sejarah

Selain kemampuannya dalam kebudayaan dan olahraga, Gusti Nurul dikenal karena prinsip hidupnya yang mandiri. Sebagai seorang putri keraton, ia sempat mendapatkan berbagai lamaran dari tokoh-tokoh penting, termasuk Presiden Soekarno dan Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, Gusti Nurul memilih untuk menolak lamaran-lamaran tersebut. Keputusannya ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena Soekarno adalah pemimpin karismatik dan Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu bangsawan paling berpengaruh di Jawa. Penolakan ini bukan hanya soal ketidaktertarikan, tetapi juga karena Gusti Nurul memiliki prinsip kuat bahwa ia harus menentukan sendiri pasangannya, tanpa dipengaruhi oleh tekanan sosial atau tradisi.

Penolakannya terhadap para tokoh besar ini mencerminkan pemikiran progresif Gusti Nurul sebagai perempuan bangsawan yang hidup di era di mana tradisi sering kali menjadi penghalang bagi kebebasan individu. Ia memilih untuk melangkah keluar dari bayang-bayang tradisi yang kaku dan menentukan nasibnya sendiri.

Kisah Cinta dan Pernikahan

Pada akhirnya, Gusti Nurul menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Suryohadikusumo, seorang perwira militer yang juga memiliki hubungan dengan Keraton Yogyakarta. Pernikahan mereka berlangsung pada tahun 1951, dan meskipun Suryohadikusumo berasal dari latar belakang militer, ia selalu mendukung kegiatan kebudayaan Gusti Nurul. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis, di mana keduanya mampu menyelaraskan antara kehidupan tradisional dan modern.

KRT Suryohadikusumo sendiri adalah sosok yang dikenal luas di kalangan militer, namun ia sangat mendukung Gusti Nurul dalam berbagai aktivitas kebudayaannya. Mereka menjalani kehidupan yang relatif mandiri, jauh dari sorotan publik, meski keduanya merupakan tokoh penting dalam masyarakat Jawa. Ini menunjukkan betapa harmonisnya perpaduan antara tradisi keraton dan kehidupan modern yang dijalani oleh Gusti Nurul dan suaminya.

Warisan dan Pengaruh Gusti Nurul

Gusti Nurul tidak hanya dikenang sebagai penari keraton yang anggun atau seorang atlet perempuan yang tangguh, tetapi juga sebagai simbol kebebasan dan kemerdekaan perempuan. Pilihannya untuk menolak berbagai lamaran dari tokoh besar dan menentukan sendiri jalan hidupnya adalah cermin dari pemikirannya yang maju pada masa itu. Selain itu, keberaniannya dalam menari di hadapan bangsawan Eropa dan menggunakan teknologi teleconference secara tidak langsung telah mengukir namanya dalam sejarah komunikasi dan teknologi di Indonesia.

Meskipun perannya dalam teleconference mungkin tidak diakui secara formal pada saat itu, peristiwa tahun 1936 di mana Gusti Nurul menari dengan iringan musik gamelan yang diputar melalui radio dari Surakarta menjadi salah satu momen penting dalam sejarah teknologi komunikasi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa teknologi bisa digunakan untuk membawa kebudayaan tradisional ke panggung internasional, jauh sebelum dunia mengenal internet atau video conference.

Lebih dari itu, Gusti Nurul adalah figur perempuan yang berani melawan arus, menolak keterbatasan yang sering kali dibebankan oleh status dan tradisi, serta mampu menunjukkan bahwa perempuan pun bisa menentukan jalan hidupnya sendiri, berprestasi, dan bahkan membawa pengaruh besar dalam dunia teknologi dan kebudayaan.

Kisah Gusti Nurul adalah kisah tentang keberanian, kemandirian, dan inovasi. Sebagai seorang putri keraton, ia berhasil keluar dari batasan tradisi yang sering kali menghalangi perempuan untuk mencapai kebebasan pribadi. Dari keberaniannya menari di panggung internasional dengan dukungan teknologi teleconference sederhana, hingga penolakannya terhadap tokoh-tokoh besar yang ingin menikahinya, Gusti Nurul membuktikan bahwa dirinya bukan hanya putri keraton biasa, tetapi seorang pionir dalam berbagai hal—baik dalam dunia budaya, olahraga, maupun teknologi.

Perjalanan hidupnya yang penuh dengan kejutan, dari seorang penari keraton hingga menjadi simbol perempuan progresif di Jawa, memberikan kita banyak pelajaran tentang bagaimana seorang individu dapat menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas. Gusti Nurul adalah tokoh yang layak dikenang, tidak hanya karena prestasinya dalam kebudayaan, tetapi juga karena keberaniannya dalam memperjuangkan haknya sebagai perempuan dan sebagai pelopor dalam dunia teknologi di Indonesia.

 


Topik

Serba Serbi Gusti Nurul Putri Mangkunegaran Keraton Solo menari di Belanda telekonferensi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy