JATIMTIMES - Pada tahun 2024, Kota Yogyakarta merayakan usianya yang ke-268 tahun. Kota ini lahir dari perjalanan panjang sejarah, yang ditandai dengan pendirian pada tahun 1756 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I setelah Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini tidak hanya membelah Mataram Islam menjadi dua, tetapi juga membentuk Kesultanan Yogyakarta yang kemudian menjadi pusat kebudayaan Jawa.
Pada tanggal 7 Oktober, Yogyakarta memperingati ulang tahunnya dengan penuh kebanggaan, mengingat setiap Sultan yang pernah memimpin. Salah satu sosok penting dalam sejarah kerajaan ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono VI, pemimpin yang menghadapi tantangan besar dan memberikan warisan berharga bagi keraton dan rakyat Yogyakarta.
Baca Juga : Baim Wong Gugat Cerai Paula Verhoeven, Buya Yahya Ungkap Cara Berpisah yang Baik dalam Islam
Sri Sultan Hamengkubuwono VI dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1821 dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo, putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono IV dan permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Sejak kecil, GRM Mustojo telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Ketika berusia 18 tahun, pada tahun 1839, ia berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi, mengikuti jejak leluhurnya yang termasyhur.
Pada tahun 1839 pula, ia memperoleh pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda, sebagai tanda pengakuan atas posisinya yang penting di dalam kerajaan. Namun, di balik pemberian pangkat tersebut, tersirat kepentingan Belanda untuk mempertahankan pengaruhnya di Kesultanan Yogyakarta. Karier militernya berkembang pesat, dan pada tahun 1847 ia memperoleh kenaikan pangkat menjadi Kolonel, memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin terdepan di Yogyakarta.
Setelah kematian kakaknya, Sri Sultan Hamengkubuwono V, yang wafat tanpa meninggalkan putra pewaris, Pangeran Adipati Mangkubumi diangkat sebagai Sultan. Penobatan beliau sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VI terjadi pada tanggal 5 Juli 1855. Penobatan ini menandai dimulainya pemerintahan yang penuh dinamika di bawah sosok pemimpin yang dikenal kuat dalam berstrategi dan diplomasi.
Menginjak usia 27 tahun, Sultan menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Kencono, putri dari Susuhunan Paku Buwono VIII dari Surakarta. Pernikahan ini memiliki makna penting bagi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dua kerajaan yang kerap bersaing sejak terjadinya Perjanjian Giyanti. Dengan ikatan pernikahan tersebut, hubungan kedua kerajaan ini mulai menunjukkan perbaikan. Selain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono VI juga memperluas jalinan diplomasi dengan menikahi seorang putri dari Kerajaan Brunei, memperkuat hubungan antar kerajaan di Nusantara.
Sebagai pemimpin, Sri Sultan Hamengkubuwono VI dikenal meneruskan pola pemerintahan yang cenderung pasif, melanjutkan strategi yang diterapkan oleh kakaknya. Sebelum naik tahta, Sultan Hamengkubuwono VI kerap menunjukkan sikap keras menentang kebijakan kakaknya, terutama terhadap pengaruh Belanda di keraton. Namun, setelah menjadi Sultan, sikapnya berubah menjadi lebih kompromis, yang di kemudian hari menuai kritik dari beberapa pihak di dalam keraton.
Salah satu penasehat utama Sultan dalam pemerintahan adalah Patih Danurejo V, yang dikenal ahli dalam diplomasi dan manuver politik. Keberhasilan Sultan dalam mempertahankan stabilitas kerajaan sebagian besar disebabkan oleh dukungan cerdik dari Danurejo V. Namun, masa pemerintahannya tidak lepas dari tantangan besar, baik dari dalam keraton maupun dari kekuatan eksternal.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VI, Kesultanan Yogyakarta mengalami salah satu bencana alam paling dahsyat dalam sejarahnya. Gempa bumi berkekuatan 6,8 SR mengguncang Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Bencana ini mengakibatkan kerusakan yang sangat parah di berbagai penjuru wilayah, termasuk keraton yang menjadi pusat pemerintahan. Meskipun mengalami dampak yang begitu besar, Sultan berhasil memimpin proses pemulihan dengan bijak, membangun kembali apa yang telah hancur.
Gempa Bumi 1867 di Yogyakarta: Sejarah Kelam dan Kebijakan Sultan dalam Pemulihan
Pada tanggal 10 Juni 1867, Yogyakarta diguncang gempa bumi berkekuatan 6,8 Skala Richter yang menorehkan sejarah kelam di wilayah tersebut. Gempa yang terjadi pada pukul 05.20 pagi ini menghancurkan berbagai bangunan bersejarah dan rumah-rumah penduduk, meninggalkan jejak kehancuran yang mendalam di kota dan sekitarnya. Salah satu bangunan yang paling terdampak adalah Taman Sari, kompleks istana air Kesultanan Yogyakarta. Masjid Agung Yogyakarta dan beberapa bagian Keraton Yogyakarta juga mengalami kerusakan berat.
Selain kerusakan bangunan, gempa bumi tersebut menelan ratusan korban jiwa, meskipun jumlah pasti sulit diketahui. Gempa juga memicu tanah longsor di pegunungan sekitar, memperparah kerusakan di berbagai wilayah. Bencana ini tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan terhadap bencana alam, mengingat Yogyakarta berada di jalur tektonik yang aktif.
Pasca gempa, Sultan Hamengkubuwono VI mengambil serangkaian langkah untuk memulihkan Yogyakarta dan meningkatkan ketahanan kota terhadap gempa di masa depan. Kebijakan pertama yang dilakukan adalah rekonstruksi infrastruktur yang rusak parah, termasuk Keraton, Masjid Agung, dan bangunan penting lainnya. Bangunan-bangunan ini diperkuat dengan teknik konstruksi yang lebih tahan terhadap guncangan gempa.
Selain itu, Sultan juga memprioritaskan perbaikan bangunan bersejarah, seperti Taman Sari dan Keraton, untuk menjaga kelestarian warisan budaya Yogyakarta. Meski tidak semua bagian dapat dipulihkan sepenuhnya, upaya restorasi dilakukan untuk menjaga identitas dan sejarah kota. Sultan juga memperkenalkan pendekatan mitigasi bencana, walau pada masa itu konsep modern mitigasi belum dikenal. Namun, kesadaran akan pentingnya struktur bangunan yang kuat mulai muncul sebagai pelajaran dari bencana ini.
Sultan juga berperan aktif dalam memberikan bantuan sosial kepada warga yang terdampak. Bantuan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal sementara disalurkan untuk memastikan pemulihan sosial berjalan dengan baik. Peran ini penting dalam meminimalisir dampak jangka panjang dari gempa.
Baca Juga : Pemkot Surabaya Gelar Simulasi Bencana di Siola, Fokus Gempa dan Kebakaran
Kebijakan Sultan Hamengkubuwono VI setelah gempa bumi 1867 mencerminkan kepemimpinan yang sigap, dengan fokus pada rekonstruksi, pemulihan sosial, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan ancaman gempa bumi. Melalui upaya tersebut, Yogyakarta kembali bangkit dan lebih siap menghadapi potensi bencana di masa depan.
Selain memimpin pemerintahan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI juga dikenal sebagai seorang pelindung dan pengembang kebudayaan Jawa. Pada masa pemerintahannya, ia menciptakan dua tarian klasik yang hingga kini masih dilestarikan di keraton Yogyakarta. Tari Bedhaya Babar Layar dan Srimpi Endra Wasesa adalah dua di antara karya seni tari yang diciptakan pada masa pemerintahannya. Kedua tari ini menggambarkan keindahan, ketelitian, dan kedalaman makna yang menjadi ciri khas seni tari keraton.
Selain seni tari, Sultan juga meninggalkan peninggalan penting dalam bentuk kereta kerajaan. Ia memesan kereta Kyai Wimono Putro, yang kemudian digunakan dalam upacara pelantikan putra mahkota. Kereta ini menjadi simbol kebesaran dan legitimasi kerajaan. Sementara itu, kereta kebesaran Sultan sendiri, yang digunakan hingga kini dalam berbagai upacara penting, adalah Kyai Kanjeng Garudho Yakso, sebuah mahakarya yang menjadi lambang keagungan keraton.
Sri Sultan Hamengkubuwono VI dikenal memiliki kehidupan keluarga yang besar dan kompleks. Ia memiliki dua permaisuri dan delapan selir, dari pernikahan-pernikahan ini, Sultan dikaruniai 23 putra dan putri. Permaisuri pertama, GKR Kencono, adalah putri dari Susuhunan Paku Buwono VIII, sementara permaisuri kedua, GKR Sultan, adalah putri dari Ki Ageng Prawirarejasa. Kedua permaisuri ini memiliki peran penting dalam kehidupan Sultan, baik sebagai pasangan hidup maupun dalam mendukung kebijakan politik yang Sultan terapkan di keraton.
Putra sulung Sultan dari permaisuri GKR Sultan, Gusti Raden Mas Murteja, kelak dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Murteja mewarisi takhta dari ayahnya dan melanjutkan tradisi pemerintahan keluarga Hamengkubuwono. Selain itu, beberapa putra Sultan lainnya juga memegang posisi penting di kerajaan, seperti Bendara Pangeran Harya Purbaya, Gusti Pangeran Harya Surya Mataram, dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, yang kelak menjadi kakek dari Sultan Hamengkubuwono IX dari pihak ibu.
Akhir Hidup dan Warisan
Pada tanggal 20 Juli 1877, Sultan Hamengkubuwono VI meninggal dunia dalam usia 56 tahun. Kematian Sultan membawa duka mendalam bagi rakyat Yogyakarta yang menghormatinya sebagai pemimpin yang bijak dan penuh kasih sayang. Sultan dimakamkan di Astana Besiyaran, di pemakaman kerajaan Pajimatan Imogiri, tempat peristirahatan terakhir bagi para sultan Yogyakarta.
Warisan Sultan Hamengkubuwono VI tidak hanya berupa fisik, seperti kereta kerajaan atau tarian yang ia ciptakan, tetapi juga dalam bentuk kebijakan dan tradisi yang tetap bertahan hingga saat ini. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang mampu menghadapi berbagai tantangan dengan kepala dingin, serta melanjutkan diplomasi dan hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di sekitar Yogyakarta. Pola pemerintahan pasif, yang semula menuai kritik, ternyata justru membantu mempertahankan stabilitas kerajaan dalam masa yang penuh tekanan, baik dari pihak internal maupun eksternal.
Kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana VI adalah salah satu periode penting dalam sejarah Yogyakarta. Dalam masa pemerintahannya, Sultan menghadapi bencana alam, tantangan politik, dan dinamika internal di keraton. Namun, melalui diplomasi yang cerdik, bantuan dari Patih Danurejo V, serta warisan kebudayaan yang beliau tinggalkan, Sultan Hamengkubuwana VI tetap dikenang sebagai pemimpin yang bijaksana dan visioner.
Seiring bertambahnya usia Kota Yogyakarta pada tahun 2024, kita diingatkan kembali akan peran penting setiap Sultan dalam membangun dan mempertahankan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang penuh wibawa. Sri Sultan Hamengkubuwono VI adalah salah satu sosok yang berperan besar dalam perjalanan panjang kota ini, meninggalkan jejak yang mendalam baik dalam sejarah maupun kebudayaan.