JATIMTIMES- Upacara adat Temanten Kucing di Tulungagung adalah tradisi kuno yang dipercaya mampu mendatangkan hujan saat musim kemarau panjang. Ritual unik satu ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur serta upaya spiritual mendekatkan diri pada Tuhan.
Berdasarkan keterangan dari laman Pusakajawatimuran, tradisi Temanten Kucing masih dilestarikan di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Sejarah Temanten Kucing berawal dari seorang tokoh bernama Eyang Sangkrah, seorang demang (kepala desa) yang ada di Desa Pelem pada zaman dahulu.
Baca Juga : Aksi Balap Liar di Karangrejo Tulungagung Kian Marak, Polisi Amankan Satu Pelajar
Eyang Sangkrah dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu kejawen (spiritualitas Jawa). Ia memiliki seekor kucing condromowo, yakni kucing dengan bulu tiga warna yang dianggap memiliki kekuatan istimewa. Kucing condromowo Eyang Sangkrah bukanlah kucing biasa; ia memiliki sepasang mata yang dipercaya membawa keberuntungan.
Menurut legenda, Desa Pelem pernah dilanda kemarau panjang yang membuat warga desa kesulitan mendapatkan air. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Eyang Sangkrah melakukan berbagai ritual untuk memohon hujan, namun hasilnya nihil.
Hingga suatu ketika, Eyang Sangkrah membawa kucing kesayangannya ke Telaga Coban untuk dimandikan. Setelah memandikan kucing tersebut, hujan deras pun turun, menyelamatkan desa dari kekeringan. Kejadian ini kemudian menjadi inspirasi bagi masyarakat Desa Pelem untuk melakukan ritual serupa ketika musim kemarau panjang melanda.
Sebelum era kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1926, saat Desa Pelem dipimpin oleh Demang Sutomejo, desa kembali mengalami kemarau berkepanjangan. Mengikuti jejak Eyang Sangkrah, Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan sepasang kucing di Telaga Coban.
Ajaibnya, setelah menjalankan ritual tersebut, hujan kembali turun. Sejak saat itu, upacara Temanten Kucing menjadi tradisi yang rutin dilakukan oleh masyarakat Desa Pelem sebagai cara untuk memohon turunnya hujan.
Prosesi upacara adat Temanten Kucing dilakukan dengan membawa sepasang kucing, satu ekor kucing jantan dan satu ekor kucing betina yang dipersiapkan sebagai pengantin. Kedua kucing ini diarak dalam keranjang bambu oleh sepasang 'pengantin' manusia yang mengenakan pakaian adat Jawa.
Baca Juga : Kocar-Kacir Dirazia Polisi, Joki Balap Liar di Tulungagung Berhasil Diamankan
Tokoh-tokoh desa serta warga turut mengiringi arak-arakan, membawa kucing menuju Telaga Coban. Di telaga tersebut, kucing jantan dan betina dimandikan dengan air yang telah diberi taburan bunga sebagai simbol pemurnian. Usai dimandikan, kucing-kucing tersebut diarak kembali ke pelaminan, tempat upacara pernikahan simbolis berlangsung.
Sepasang "pengantin" manusia yang membawa kucing duduk di pelaminan bersama kucing-kucing di pangkuan mereka. Doa-doa dipanjatkan oleh sesepuh desa, meminta berkah hujan dari Tuhan. Biasanya, prosesi Temanten Kucing berlangsung singkat, hanya 15 menit saja. Namun, upacara ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Tulungagung.
Setelah upacara pernikahan kucing selesai, acara dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional Tiban dan langen tayub, menambah kemeriahan suasana ritual. Upacara ini bukan hanya simbol untuk memohon hujan, tetapi juga bentuk pelestarian budaya dan tradisi masyarakat Jawa yang kaya akan nilai-nilai spiritual.
Upacara Temanten Kucing yang ada di Tulungagung menjadi salah satu kearifan lokal khas yang masih eksis seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.