JATIMTIMES - Tragedi Paiton yang terjadi pada 8 Oktober 2003 masih tercatat sebagai salah satu kecelakaan darat paling mematikan dalam sejarah transportasi Indonesia. Kecelakaan tersebut merenggut 54 nyawa, mayoritas adalah siswa-siswi SMK Yapemda Sleman, Yogyakarta, yang baru saja menyelesaikan perjalanan wisata dari Bali.
Hari ini, 21 tahun setelah kejadian itu. Peristiwa memilukan tersebut tetap menjadi pengingat tentang pentingnya keselamatan transportasi, khususnya di sektor angkutan bus.
Baca Juga : Laka Bus Rombongan Guru SMAN Kedungwaru di Tol Krian, Inilah Identitas 16 Korban
Kisah tragis ini bermula ketika rombongan yang terdiri dari tiga bus sedang dalam perjalanan pulang menuju Yogyakarta. Bus-bus ini membawa ratusan siswa kelas dua SMK Yayasan Pembina Generasi Muda (Yapemda) setelah perjalanan study tour dari Bali.
Suasana riang gembira menyelimuti para peserta acara tersebut. Mereka menumpang tiga bus armada AO Transport yang melaju beriringan tak lama usai adzan Isya berkumandang, Rabu malam, 8 Oktober 2003 lalu.
Ketiga bus diberi nomor 1, 2 dan 3 untuk menandai rombongan. Selama perjalanan, bus nomor 3 berkali kali "apes", mulai dari kaca pecah, tersangkut kabel listrik dan lain lain yang menghambat perjalanan.
Sementara bus 1 dan 2 berjalan tanpa gangguan sama sekali, dan bahkan sesekali berhenti untuk menunggu bus ke-3. Siapa sangka, malam itu keceriaan mereka sepulang study tour itu akan berubah menjadi jeritan maut dan duka bagi seluruh orang.
Tragedi itu bermula saat bus melewati sebuah tanjakan di tikungan Jalan Raya Surabaya-Banyuwangi, kawasan Banyu Blugur, Situbondo, Jawa Timur.
Sebuah truk kontainer tiba-tiba saja memotong jalur dan tidak mengindahkan marka jalan pembatas. Sementara di sisi berlawanan, ketiga bus rombongan siswa Yapemda juga tengah menyalip kendaraan di depannya.
Bus 1 dan 3 berhasil menyalip masuk kembali ke jalur. Sedangkan bus 2 justru yang bernasib nahas, karena tidak berhasil menyalip dan langsung ditabrak truk kontainer.
Belum berakhir sampai di sana, tiba tiba saja truk jenis colt diesel dari arah belakang juga menghantam bagian belakang bus nahas tersebut. Seketika Bus itu pun terjepit oleh kedua truk. Tak berselang lama usai ditabrak, api tiba-tiba berkobar di bagian depan bus.
Kobaran ini dipicu oleh tangki bahan bakar truk bernomor polisi L 8493 F yang pecah dan terpercik api sekering listrik bus. Sebagian lagi menyebut api tersulut akibat gesekan antar badan truk dan bus sehingga menghasilkan percikan api yang kemudian menyebar.
Baca Juga : Kronologi Acara Fun Bike Bertajuk HUT Kota Yogyakarta, Ternyata Penipuan Hingga Seret Seorang ASN
Kobaran api kian membesar karena tanki bahan bakar truk bocor. Saat kebakaran terjadi, para siswa di dalam bus saat itu masih sadar dan selamat. Mereka panik berlarian ke arah belakang bus yang belum dilalap api sambil berteriak meminta tolong.
Sementara itu api kian membesar dan mulai membakar bagian depan bus dan merambat ke belakang. Siswa dan guru pendamping berangsur mundur menghindari api di hadapan mereka.
Mereka mencoba keluar dari satu satunya akses yang tersisa, yakni pintu belakang bus. Namun, pintu itu ternyata tak bisa terbuka lantaran macet akibat ringset tertabrak truk dari arah belakang.
Siswa di dalam terus berteriak meminta pertolongan. Kondisi mereka terus terhimpit api yang kian mendekat dan membakar satu persatu kursi dan tas yang mereka kenakan.
Asesori di dalam bus seperti karpet, busa pengisi kursi dan benda benda mudah terbakar lainnya membuat api semakin membesar.
Para siswa dan guru yang panik terus meminta tolong dan memukul mukul kaca bus dari dalam. Sayangnya, lokasi kecelakaan saat itu terbilang sepi. Rumah rumah warga pun paling dekat jaraknya sekitar 500 meter dari lokasi kejadian.
Selain itu, kala itu tak ada alat pemecah kaca jendela yang tersedia di dalam bus, sehingga mereka tidak bisa keluar melalui kaca bus yang cukup tebal.
Akhirnya hal yang paling ditakutkan itu terjadi. Mereka terpanggang di dalam bus tersebut hidup-hidup. Jeritan mereka yang melengking perlahan redup dan terdiam satu persatu. Seluruh badan bus terbakar bersama para penumpangnya di dalamnya.
Kebakaran berlangsung cepat dan hebat dikarenakan keberadaan barang-barang mudah terbakar di dalam bus dan bensin yang bocor akibat tabrakan.
Lokasi kejadian mengenaskan ini berada tak jauh dari Pintu PLTU Paiton. Sejak saat itu, kejadian tersebut dinamakan "Tragedi Paiton". Bahkan perangkat desa setempat mengimbau setiap pengendara yang melintas di kawasan Tragedi Paiton agar mengklakson, berdoa dan berselawat.
Sejak kejadian itu, jalan tersebut diklaim angker hingga warga setempat juga menggelar rokat atau selamatan. Tujuannya, mendoakan para korban dan menghilangkan bala.
Jumlah korban yang meninggal pada kejadian ini 54 orang, terdiri dari 51 siswa dan siswi, dua guru dan satu pemandu wisata.
Sementara korban luka hanya satu, yaitu Budi yang merupakan kernet bus dengan luka bakar cukup parah, namun ia berhasil memecah kaca pintu depan sebelum api menyebar. Sementara Arwan, supir bus tersebut selamat setelah berhasil meloncat dari bus sesaat setelah tabrakan terjadi.
Evakuasi para korban berlangsung dramatis. Jasad para korban berkumpul di bagian belakang bus dan sebagian lagi bertumpuk di depan pintu belakang tersebut. Tergambar, usaha mereka untuk bisa keluar dari satu satunya jalur itu.
Api yang besar tersebut telah menghanguskan tubuh mereka hingga tidak dapat lagi dikenali. Beberapa diantara korban bahkan tubuhnya tidak lagi utuh dikarenakan telah berubah jadi abu.
Banyaknya jumlah korban dan terbatasnya kapasitas RS Situbondo saat itu yang menjadi lokasi visum identitas korban, membuat jenazah harus diawetkan sehingga tidak membusuk sebelum teridentifikasi.
Petugas rumah sakit terpaksa meletakkan jenazah para siswa tersebut dengan sekat dan dikelilingi balok balok es. Jenazah juga diletakkan di lorong rumah sakit karena keterbatasan ruang jenazah yang ada.
Setelah 40 jenazah dikenali, iring-iringan mobil ambulance dan mobil jenazah yang membawa 54 jasad korban dari Rumah Sakit Umum Daerah Situbondo Jawa Timur ke Yogyakarta. Tepatnya ambulance tersebut menuju Sekolah Menengah Kejuruan Yapemda 1 Brebah Sleman Yogyakarta hingga sampai pukul 04.50 WIB.
Setiap mobil jenazah, ditempeli nomor
dan foto ukuran 10 R milik para korban,
termasuk 14 korban yang belum
diidentifikasi.
Sekretaris Wilayah Daerah (Sekda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saat itu, Bambang S Priyohadi yang mengawal iring-iringan jenazah sejak dari Situbondo, menyerahkan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang ikut menunggu sejak dini hari.
Hadir dalam acara serah terima jenazah itu, Menteri Kesejahteraan Sosial Bachtiar Chamzah. Saat acara serah terima jenazah di lapangan sekitar SMK Yapemda, Sri Sultan membacakan surat bela sungkawa yang dikirim Presiden Megawati, melalui faksimili.
Setelah acara serah terima secara simbolik, warga melakukan salat jenazah. Usai itu, keluarga korban berhamburan menuju mobil ambulans dan mobil jenazah.
Suasana amat memilukan. Lapangan tersebut dipenuhi hujan air mata. Banyak dari keluarga korban yang meratap dengan mengelus-elus foto keluarga mereka yang wafat. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang jatuh pingsan.
Setelah itu, semua jenazah dikirim ke rumah duka masing-masing dan diurus prosesi pemakamannya. Dari 54 korban, semua jenazah diambil oleh keluarganya masing-masing dan tidak ada yang dimakamkan secara massal.
Bercermin dari kejadian ini, pemerintah langsung mewajibkan setiap bus memiliki pintu darurat, jendela darurat dan pemecah kaca dalam kelengkapannya. Hal tersebut demi meminimalisir kejadian serupa terulang kembali dan masih menjadi kelengkapan wajib bus hingga hari ini.
Sopir truk, Kozin dan kernetnya, Imam Syafii. Keduanya dijadikan tersangka peristiwa memilukan tersebut. Mereka diancam Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Kepada polisi, Kozin mengaku tertidur saat kejadian. Sedangkan truk dikemudikan Imam. Karena itu, Kozin mengaku tak tahu menahu asal kejadian itu. Imam juga mengamini keterangan Kozin. Bahkan, dia mengaku baru pertama kali mengemudikan truk di jalan besar.
Polisi juga menetapkan Arwan, sang sopir bus nomor 2 rombongan itu sebagai tersangka karena dinilai tidak maksimal menolong penumpang.
Selain faktor kesalahan manusia, daerah Banyu Blugur memang dikenal sebagai kawasan rawan kecelakaan. Jalan di kawasan ini berbelok-belok dan naik turun. Sedangkan penerangan lampu di kawasan ini minim, sementara di kiri kanannya berupa bukit dan tanaman liar yang minim rumah penuduk.
Peristiwa tragis di Paiton menjadi pelajaran penting bagi keselamatan transportasi di Indonesia. Walaupun sudah 21 tahun berlalu, kenangan tentang tragedi ini tetap hidup, terutama bagi keluarga korban.
Pemerintah, industri transportasi, dan masyarakat diharapkan selalu waspada dan patuh terhadap standar keselamatan agar kejadian serupa tidak terulang. Tragedi ini adalah pengingat bahwa di balik setiap perjalanan, ada nyawa yang harus dilindungi.