free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Menelusuri Jejak Raden Tumenggung Danureja III: Patih Dalem Yogyakarta di Tanah Perdikan Majan Tulungagung

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

05 - Oct - 2024, 11:53

Placeholder
Makam Raden Tumenggung Danureja III di Sentana Majan, Kabupaten Tulungagung. (Foto kiri: Aunur Rofiq/Jatim TIMES; Foto kanan: Istimewa)

JATIMTIMES - Dalam sejarah Kasultanan Ngayogyakarta, Raden Tumenggung Danureja III adalah sosok yang memiliki peran besar sebagai Pepatih Dalem. Sebagai satu-satunya Patih Dalem Kasultanan yang dimakamkan di luar Yogyakarta, kisah hidupnya penuh warna dan menyimpan berbagai misteri, termasuk jejak-jejaknya yang mengarah ke Desa Majan, Tulungagung

Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri jejak makam Danureja III di Tanah Perdikan Sentånå Majan, serta menggali lebih dalam tentang kehidupan dan pengaruhnya sebagai mantan Bupati Japan di Brang Wetan, Mojokerto.

Baca Juga : Unisba Blitar Latih Pelaku Industri Kreatif Tulungagung Tingkatkan Kompetensi Manajemen Karnaval

Raden Tumenggung Danureja III, yang juga dikenal sebagai Mas Tumenggung Sumodipuro, lahir sekitar tahun 1780. Ia merupakan keturunan Tionghoa dari marga Pei yang berdiam di wilayah Japan, Mojokerto, dan juga berdarah Bali dari keturunan Surapati di ujung timur Jawa. 

Keluarganya memiliki hubungan erat dengan lingkungan istana, terutama melalui ayahnya, Mas Tumenggung Sumadirja, yang menjabat sebagai Patih di kediaman putra mahkota Yogyakarta saat Hamengkubuwono III ditunjuk sebagai putra mahkota pada sekitar tahun 1807-1810. Kedekatan ini semakin diperkuat ketika Danureja III menikahi putri Sultan Hamengkubuwono II, Gusti Kanjeng Ratu Sasi, setelah dirinya diangkat sebagai Patih Dalem.

Pada masa pengangkatan Patih Dalem baru, Sultan Hamengkubuwono III dan putra sulungnya, Pangeran Diponegoro, mempertimbangkan dua kandidat, yaitu Pringgodiningrat dan Mas Tumenggung Sumodipuro. Meskipun Sumodipuro lebih muda dan berasal dari kalangan rakyat biasa, Diponegoro memilihnya karena dianggap memiliki potensi dan kesetiaan. Pada 2 Desember 1813, Sumodipuro resmi diangkat menjadi Danureja III dan menjabat sebagai Patih Dalem hingga 1847.

Japan atau Majakerta merupakan wilayah awal karier Danureja III sebagai bupati sebelum diangkat menjadi Patih Dalem. Japan terletak di Mojokerto, dan setelah Perjanjian Giyanti, wilayah ini menjadi bagian dari Kasultanan Yogyakarta. Pada masa itu, peran Danureja III di Brang Wetan dikenal luas, dan ia dihormati sebagai sosok yang disegani, meskipun masa pemerintahannya juga diwarnai berbagai kontroversi.

Namun, sifat Danureja III berubah drastis saat ia menjabat sebagai Patih di Kasultanan Yogyakarta. Setelah diangkat menjadi Patih Dalem, ia dikenal sebagai sosok yang gemar bersenang-senang dan kehidupan pribadinya dipenuhi berbagai skandal, termasuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Sifat-sifat negatif ini memperburuk hubungannya dengan Pangeran Diponegoro. Meskipun pada awalnya Diponegoro mendukungnya, kebijakan-kebijakan Danureja III yang membebani rakyat, seperti pajak dan sewa tanah yang menguntungkan pemerintah kolonial, membuatnya dicap sebagai "setan berbaju manusia" yang menyengsarakan rakyat.

Pertengkaran Pangeran Diponegoro dan Patih Danureja III: Kisah Perseteruan yang Melegenda

Selama masa jabatannya sebagai Patih Dalem, Danureja III dihadapkan pada berbagai kontroversi dan tantangan. Salah satu isu terbesar yang muncul adalah pengangkatan petugas polisi pedesaan dan pemungut pajak yang disebut "gunung". 

Keputusan untuk mengangkat 40 petugas baru pada tahun 1816 ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat pedesaan, terutama karena para petugas ini digaji dari uang pajak dan bertugas memungut pajak rumah tangga sebanyak dua kali setahun. Kebijakan ini bertentangan dengan rencana Sultan Hamengkubuwono III dan Pangeran Diponegoro, yang justru ingin meringankan beban pajak di pedesaan.

Hubungan Danureja III dengan Diponegoro terus memburuk setelah kematian Sultan Hamengkubuwono III. Diponegoro, yang semakin tidak puas dengan kebijakan-kebijakan Danureja III, kemudian memandangnya sebagai salah satu musuh utama dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda. 

Perang Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro pada tahun 1825-1830 memperparah situasi, dan Danureja III, meskipun tetap mendukung pemerintahan kolonial, tidak mampu lagi mempertahankan dukungannya di kalangan rakyat.

Kisah perseteruan antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danureja III menjadi salah satu bagian menarik dalam sejarah. Hubungan dua sahabat yang telah terjalin sejak kecil itu memanas akibat sebuah insiden yang melibatkan nilai-nilai agama dan prinsip hidup Pangeran Diponegoro. 

Sebagaimana diceritakan dalam Babad Gondokusumo, kejadian ini menggambarkan ketegangan antara dua tokoh berpengaruh pada masa Kasultanan Yogyakarta. Insiden tersebut terjadi dalam sebuah acara tunangan anak Residen Belanda di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro diundang bersama Patih Danureja III, yang merupakan sahabatnya sejak kecil dan pernah menimba ilmu di pondok pesantren yang sama. Namun, acara yang seharusnya berlangsung damai berubah menjadi awal perseteruan mereka.

Patih Danureja III, dalam acara tersebut, meminta seorang pelayan untuk menuangkan anggur merah ke dalam gelas Pangeran Diponegoro. Hal ini tentu saja memicu kemarahan sang pangeran, yang dikenal taat menjalankan ajaran agamanya. Bagi Diponegoro, anggur merah dianggap haram karena memabukkan, dan konsumsi minuman semacam itu dilarang dalam ajaran Islam.

Pangeran Diponegoro yang merasa tersulut oleh tindakan Patih Danureja III segera menunjukkan kemarahannya. Ia geram karena, meskipun sudah tahu bahwa anggur merah itu haram dan dilarang oleh agama, Danureja tetap bersikeras menawarkannya. Diponegoro mencoba menahan diri dengan berdiam dan menjaga amarahnya, namun perasaan yang kian memuncak akhirnya membuatnya tak lagi mampu menahan ledakan emosi.

Tak lama setelah insiden itu, Pangeran Diponegoro yang tak lagi mampu menahan amarah, melempar kursi kayu jati yang berat dan besar ke arah Patih Danureja III. Meski lemparan itu mengenai sang patih, Danureja III tidak terluka sedikit pun karena keduanya sama-sama memiliki kesaktian.

Insiden tersebut tidak menyebabkan cedera fisik pada Patih Danureja III, namun meninggalkan luka batin yang mendalam. Meskipun tidak ada dampak signifikan secara fisik, rasa malu yang dirasakannya sangat besar. Rasa malu ini semakin memperburuk hubungan antara kedua tokoh, menyebabkan kebencian Patih Danureja III terhadap Pangeran Diponegoro kian membesar. Akibatnya, ketegangan politik di antara mereka semakin memanas di kemudian hari.

Kemarahan Pangeran Diponegoro terhadap Patih Danurejo III menjadi salah satu momen penting yang memicu Perang Jawa (1825-1830). Menurut Peter Carey dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, peristiwa ini terjadi saat Diponegoro marah akibat korupsi yang merajalela di lingkungan keraton, terutama menyangkut penyewaan tanah kepada orang Eropa. Arus uang yang melimpah dari sewa tanah semakin memperburuk keadaan, terutama dengan praktik suap yang dipraktikkan oleh pejabat korup seperti Danurejo III.

Pertengkaran antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo III mencapai puncaknya saat Diponegoro menampar wajah Danurejo dengan sandal selop di hadapan banyak orang di keraton. Insiden ini tidak hanya memalukan bagi Danurejo, tetapi juga mempertegas ketegangan internal di Yogyakarta. Diponegoro, yang saat itu berperan sebagai wali Sultan Hamengkubuwono IV yang masih kanak-kanak, merasa bahwa tindakan Danurejo telah merusak tatanan moral dan keadilan di keraton.

Ketegangan ini dipicu oleh penyewaan tanah yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kesejahteraan rakyat. Sultan Hamengkubuwono IV, di bawah pengaruh residen Belanda Nahuys van Burgst, diminta untuk menyewakan lahan kepada orang Eropa. Praktik ini diperluas setelah kedatangan residen Smissaert, yang lebih mengandalkan Danurejo untuk urusan administrasi. Hubungan antara keraton dan rakyat Jawa semakin retak akibat kebijakan ini, di mana para pangeran dan pejabat keraton hidup mewah dari sewa tanah, sementara petani penggarap tanah jatuh miskin.

Baca Juga : Daftar 26 Kereta Api yang Berhenti di Stasiun Jatinegara pada HUT ke-79 TNI

Peristiwa penamparan ini tercatat dalam koran Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1900, yang menyebut bahwa kemarahan Diponegoro terhadap Danurejo dan Smissaert menjadi pemicu utama Perang Jawa. Diponegoro kecewa dengan pengaruh negatif Belanda dan pejabat keraton yang semakin menyimpang dari ajaran moral dan keadilan. Rasa dendam dan ketidakpuasan terhadap penyewaan lahan, ditambah dengan ketidakmampuan residen Belanda untuk membangun komunikasi yang baik dengan keraton, memicu pemberontakan besar.

Pada akhirnya, peristiwa kecil seperti penamparan dengan sandal selop menjadi simbol perlawanan Diponegoro terhadap korupsi dan ketidakadilan, yang memantik semangat perjuangan rakyat Jawa untuk melawan kolonialisme Belanda dalam Perang Jawa.

Akhir Hidup dan Warisan di Majan

Meskipun banyak kontroversi yang mengiringi masa jabatan Danureja III sebagai Patih Dalem, akhir hayatnya justru membawa kita kembali ke Tanah Perdikan Majan, Kabupaten Tulungagung. Majan merupakan salah satu dari tiga perdikan (tanah merdika) yang diberikan kepada Kyai Abu Mansyur, seorang keturunan Amangkurat IV dan santri Kyai Besari dari Pondok Tawangsari, Ponorogo. Tanah Perdikan Majan diberikan sebagai bentuk penghargaan dari Sunan Pakubuwana II dalam Serat Kekancingan yang terbit pada 15 Maulud 1672 Saka atau 27 Maret 1747 Masehi.

Perdikan ini kemudian dipecah menjadi tiga bagian, masing-masing diberikan kepada keturunan Kyai Abu Mansyur. Desa Majan, tempat di mana Danureja III dimakamkan, dikuasakan kepada Raden Kiai Haji Khasan Mimbar, bangsawan sekaligus ulama keturunan Ki Ageng Derpoyudho, panglima perang Kartasura Hadiningrat.

Setelah kematian Danureja III pada tahun 1849, ia dimakamkan di Desa Majan, Tulungagung, di area yang kini disebut Cikalan, Kecamatan Kedungwaru. Makamnya menjadi satu-satunya makam seorang Patih Dalem yang berada di luar wilayah Yogyakarta. Hubungan antara Danureja III dan Tanah Perdikan Majan juga mengaitkan dirinya dengan keturunan Majanjati, sebuah wilayah asal Ki Ageng Derpoyudo, yang merupakan leluhur dari keluarga kerajaan Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono II.

Meskipun banyak yang menganggap Danureja III sebagai sosok kontroversial dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta, makamnya di Tanah Perdikan Majan menjadi simbol keterkaitannya dengan wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam hubungan dengan keraton dan perjuangan para leluhur Majanjati.

Keberadaannya di Majan juga memperlihatkan kaitan antara peran politik, kekuasaan, dan agama di masa lalu, di mana Tanah Perdikan Majan menjadi pusat spiritual dan administratif yang penting, bahkan setelah terpecah dari wilayah Kartasura. Hubungan antara Majanjati dan Ngrawa semakin kuat setelah wilayah ini masuk dalam kekuasaan Kasultanan Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti. Penunjukan Danureja III sebagai Patih Dalem juga memperkuat pengaruh keluarga Majanjati di dalam lingkaran kekuasaan kerajaan.

Raden Tumenggung Danureja III adalah sosok yang menarik dalam sejarah Kasultanan Ngayogyakarta. Meskipun dikenal sebagai Patih Dalem yang kontroversial, jejak hidupnya membawa kita pada sejarah yang lebih luas tentang hubungan antara kekuasaan politik, tanah perdikan, dan agama. 

Makamnya di Desa Majan, Tulungagung, menjadi saksi bisu dari kompleksitas hidup dan pengaruhnya. Sebagai satu-satunya Patih Dalem yang dimakamkan di luar Yogyakarta, Danureja III meninggalkan warisan yang terus diingat dalam konteks sejarah kerajaan dan perjuangan tanah perdikan di Jawa.

Raden KH Khasan Mimbar: Penyebar Islam di Tanah Majan

Selain Patih Danureja III, di makam Sentana Majan juga dimakamkan Raden Kiai Haji Khasan Mimbar, salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di tanah Majan, Tulungagung. Raden KH Khasan Mimbar berasal dari garis keturunan keluarga besar Kasultanan Mataram. Berdasarkan silsilah Perdikan Sentana Majan, beliau adalah putra dari Kyai Ageng Derpoyudo, yang juga merupakan bagian dari dinasti panjang yang berakar pada Panembahan Senopati, Raja pertama Kerajaan Mataram. Keturunan ningrat ini membawa serta misi besar untuk mengislamkan daerah Kadipaten Ngrowo, yang kini dikenal sebagai Tulungagung.

Kedatangan Raden KH Khasan Mimbar ke Ngrowo terjadi pada awal abad ke-17, sebelum Perjanjian Giyanti mengubah tatanan politik di Jawa. Saat itu, wilayah Tulungagung masih dalam tahap perkembangan sebagai pusat pemerintahan di bawah Bupati Ngrowo I, Adipati Kiai Ngabehi Mangundirono. Atas perintah Raja Mataram, Sri Susuhunan Pakubuwono II, Raden KH Khasan Mimbar diberi tugas untuk menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengelola urusan pernikahan dalam tradisi Islam. Dengan tugas mulia ini, beliau menjadi sosok yang dihormati di kalangan masyarakat.

Dalam menjalankan misinya, Raden KH Khasan Mimbar tidak hanya mengandalkan ilmu agama, tetapi juga mendapat dukungan simbolis dari raja berupa sebuah pusaka bernama Kiai Golok. Pusaka ini diberikan langsung oleh Pakubuwono II sebagai bentuk penghormatan dan kepercayaan penuh kepada Raden KH Khasan Mimbar. Golok tersebut bukan sekadar senjata, melainkan simbol kekuatan spiritual dan perlindungan yang menyertai setiap langkahnya dalam menyebarkan ajaran Islam di daerah yang mayoritas penduduknya saat itu masih menganut tradisi Hindu.

Keberhasilan dakwah Raden KH Khasan Mimbar dapat dilihat dari pesatnya perkembangan Islam di Tulungagung. Ia mampu menyebarkan nilai-nilai Islam hingga ke pelosok-pelosok daerah dengan didukung oleh pengaruh Kiai Golok yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Dengan pengaruh ini, masyarakat Tulungagung tidak hanya menerima Islam sebagai agama baru, tetapi juga memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam adat dan budaya lokal, seperti upacara pernikahan dan kehidupan sosial.

Melalui perjuangannya, Raden KH Khasan Mimbar berhasil memisahkan praktik-praktik Hindu dari masyarakat Kadipaten Ngrowo, yang sebelumnya menjadi bagian dari tatanan kehidupan mereka. Dakwah yang dia lakukan tidak hanya berbicara tentang ajaran Islam secara ritual, tetapi juga merombak aspek kehidupan masyarakat agar selaras dengan syariat Islam. Salah satu bentuk transformasi yang menonjol adalah pengelolaan pernikahan berdasarkan syariat Islam, yang saat itu sangat penting bagi tatanan sosial.

Selain itu, kajian terhadap Al-Qur’an menjadi salah satu pilar utama dalam pendidikan masyarakat Ngrowo. Raden KH Khasan Mimbar mendirikan pengajian-pengajian dan pesantren yang menjadi pusat pembelajaran agama Islam bagi penduduk sekitar. Dengan dedikasinya, masyarakat Tulungagung tidak hanya hidup dalam harmoni agama, tetapi juga menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Warisan Raden KH Khasan Mimbar hingga kini masih bisa dirasakan di Tulungagung, khususnya di daerah Majan. Ajarannya yang kuat dan dedikasinya dalam menyebarkan Islam membuat namanya dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa Timur. Makam Raden KH Khasan Mimbar di Sentana Majan menjadi tempat ziarah bagi banyak orang yang ingin menghormati jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Islam di wilayah tersebut.

Melalui kerja kerasnya, Raden KH Khasan Mimbar telah meninggalkan jejak penting dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Berkat upayanya, tradisi dan budaya lokal di Tulungagung dapat disinergikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga terbentuk masyarakat yang lebih religius dan berlandaskan ajaran Al-Qur’an. Hingga hari ini, kontribusi beliau dalam menyebarkan ajaran Islam terus dikenang, dan pusaka Kiai Golok yang digunakannya menjadi simbol dari kekuatan spiritual dan pengabdian kepada agama.


Topik

Serba Serbi raden tumenggung danureja III pangeran diponegoro desa majan tulungagung



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jatim Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana